Islam dan Pendidikan Seks Berwawasan Kemanusiaan

Islam dan Pendidikan Seks Berwawasan Kemanusiaan

Muka dan wibawa negara Indonesia dipermalukan oleh seorang predator seksual paling dahsyat abad ini. Adalah Reynhard Sinaga, pemuda non-Muslim berusia 36 tahun, asal Indonesia yang divonis bersalah dengan hukuman penjara seumur hidup atas pemerkosaan terhadap 195 laki-laki di London Inggris. Raja pemerkosa di Eropa ini tidak hanya mencoreng wajah Indonesia, tetapi juga menjadi alarm dan sinyal kuat terhadap bahaya LGBT, kelainan seksual yang merupakan penyakit masyarakat klasik maupun modern.

Sedemikian bahayanya perilaku LGBT, sehingga keberadaan penganut LGBT selalu meresahkan warga masyarakat. Salah satu bukti nyata bahaya LGBT adalah kasus ketua Ikatan Gay Tulungagung Jawa Timur (41 tahun) ditangkap polisi dan ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pencabulan terhadap 11 anak di bawah umur. Anak-anak yang menjadi korban pencabulan dan pelecehan seksual itu “diiming-imingi” uang sejumlah Rp. 150.000,- hingga Rp. 250.000,- (https://republika.co.id/berita/q4ecmi377/ketua-ikatan-gay-tulungagung-cabuli-belasan-anak).

Sungguh menjijikkan, biadab, dan ahumanis perilaku kaum LGBT, sehingga sangat wajar perilaku menyimpang ini “mengundang” azab Allah SWT yang  superdahsyat kepada kaum Nabi Luth dengan empat jenis azab sekaligus: suara  yang memekakkan telinga, hujan batu, gempa sangat kuat sehingga membuat semua rumah mereka “jungkir balik; yang di bawah menjadi di atas”; dan likuifaksi (rumah dan semua penghuninya ditelan bumi), sehingga menyisakan laut mati. Sedemikian dahsyatnya bahaya LGBT, sehingga Nabi SAW menegaskan: “Apabila kalian menjumpai orang yang melakukan perbuatan seperti kaum Nabi Luth AS (perilaku LGBT), maka bunuhlah sang pelaku maupun yang mendukung atau mendiamkannya.” (HR at-Turmudzi dan al-Hakim).

Dalam perspektif psikologi, memperkosa sesama jenis merupakan perpaduan antara life instinct sekaligus death instinct. Robert Eipstein dalam The Psychology Today  menyatakan bahwa kita saat ini banyak menghasilkan generasi sampah (trashing teen), karena generasi dewasa cenderung manja, fasilitas hidup serba tercukupi, kemandirian kurang terbentuk,  “pembocahan”  dan masa kanak-kanak diperpanjang. Dalam bahasa agama, generasi milenial terlambat mencapai akil (kematangan dan kedewasaan berpikir), tetapi terlalu cepat menjadi baligh. Akibatnya, karena fase baligh secara fisik datang lebih dini, sementara fase akil mengalami pelambatan, maka nafsu syahwat lebih dominan dipuaskan, tanpa dikendalikan akal sehat.

Sejumlah pertanyaan terkait dengan kasus kelainan  seksual atau homoseksual paling menghebohkan sangat menarik didiskusikan. Pertama, mengapa seorang mahasiswa S3 (Program Doktor) di negara lain memiliki keberanian (kenekatan) luar biasa dan kebiasaan seksual yang aneh tapi nyata? Kedua, apa motif (dorongan) yang menggerakkan sang predator ini berbuat asusila seperti perbuatan kaum Nabi Luth AS?

Ketiga, jika kelainan seksual itu terjadi karena diasumsikan “bekal ajaran agama” yang kurang memadai dan model pendidikan seks yang salah, maka bagaimana Islam memberi solusi persoalan tersebut melalui pendekatan dan model pendidikan seks yang berwawasan kemanusiaan, agar aksi LGBT yang bersifat kebinatangan itu tidak menjadi penyakit menular yang dapat merusak sistem kehidupan keluarga dan masyarakat. Keempat, model parenting dan pergaulan sosial seperti apakah yang menurut Islam dapat menjauhkan diri dari penyakit LGBT berikut dampak negatifnya?

Pendidikan Seks

Pendidikan seks (sex education) dalam Islam bukan semata terkait dengan pengenalan pengetahuan (kognisi) tentang seks: anatomi, fisiologi, dan organ vital manusia. Pendidikan seks yang banyak dijadikan rujukan (referensi) pada umumnya berasal dari Barat yang berititik tolak dari teori dan paradigma sekular, liberal, dan hedonistik. Atas nama liberlisme dan kebebasan personal, pendidikan seks ala Barat tidak menitikberatkan kepada pencegahan pergaulan bebas dan haramnya hubungan seksual di luar nikah, karena hal ini dipandang “bertentangan” dengan hak-hak asasi manusia (HAM). Paradigma pendidikan seks ala Barat yang tidak landasi nilai-nilai moral dan agama (Islam) tentu berdampak sangat negatif: pergaulan bebas, perzinahan (kumpul kebo), pornografi, pornoaksi, homoseksual, LGBT, dan ikutannya seolah menjadi biasa, lumrah, dan tidak boleh dicampuri.

Tentu saja, orientasi dan perilaku seksual menyimpang bukan hanya monopoli masyarakat Barat. Kasus LGBT dan penyimpangan seksual lain bisa terjadi di mana dan kapan saja. Oleh karena itu, penting digarisbawahi bahwa pendidikan seks harus bertitik tolak dari filosofi tentang manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi. Posisi manusia sebagai makhluk Allah paling mulia dan terhormat, dan pemahaman terhadap tujuan pembumian syariat Islam (maqashid asy-syari’ah), yaitu memelihara agama, akal, jiwa, harga diri (kehormatan), keturunan, harta benda, dan lingkungan, menjadi salah satu pilar penyangga tegaknya pendidikan seks berwawsan kemanusiaan.

Oleh karena itu, pendidikan seks dalam Islam memiliki multiorientasi: pengenalan (ta’rif), pembinaan (ri’ayah), penguatan (ta’ziz), dan sekaligus pencegahan (wiqayah). Mengenalkan perbedaan anatomi tubuh lelaki dan perempuan, termasuk organ seksualnya, dengan alat peraga atau audio visual sangatlah mudah. Akan tetapi, pembinaan mental spiritual, pendidikan kesehatan reproduksi,  pemahaman terhadap penyakit berbahaya akibat pergaulan bebas dan hubungan seksual di luar nikah, seperti penyakit kelamin, AIDS, kanker rahim, dan sebagainya tidak selalu mudah, karena menghedaki proses internalisasi, pendewasaan mental  dan pemikiran.

Dalam al-Mawsu’ah al-Muyassarah fi Tarbiyat al-Awlad (2015), Syahatah Muhammad Shaqar berpendapat bahwa pendidikan seks dalam Islam itu sudah dimulai sejak memilih dan meminang calon istri/suami dengan menjadikan baik tidak agama (akhlak)  sebagai pertimbangan utama. Ketika pasangan suami istri sudah terikat dengan akad nikah, maka interaksi suami-istri, termasuk hubungan seksual, harus senantiasa didasarkan pada nilai-nilai Islam. Misalnya saja, sebelum mendatangi dan menggauli istrinya, maka keduanya harus berdoa kepada Allah SWT, agar anak yang lahir terhindar dari godaan setan. Saat  buah hati lahir, Islam sangat menganjurkan salah satu dari kedua orang tuanya mengumandangkan adzan pada telinga bayi. Setelah itu, anak harus diberi nama yang baik sekaligus diaqiqahi, bagi yang mampu. Ketika memasuki usia tertentu sebelum atau menjelang akil baligh, anak lelaki diwajibkan dikhitan, sebagai manifestasi pendidikan seks berwawasan kemanusiaan sekaligus berorientasi kesehatan. Dan ketika mencapai usia akil baligh, anak harus dipisah  kamarnya, tidak boleh tidur sekamar dengan orang tuanya lagi.

Dalam perspektif Islam, pendidikan seks bukan hal tabu atau harus ditutup-tutupi, melainkan harus diperkenalkan dan disosialisasikan kepada anak, remaja, dan bahkan calon pengantin. Menurut al-Mushthafa al-Barjawi, dalam tulisannya, at-Tarbiyah al-Jinsiyyah fi al-Islam: Qawa’id wa Dhawabith  (2009), pendidikan seks merupakan salah satu jenis Pendidikan Islam yang membekali individu (anak, peserta didik, generasi muda) dengan informasi ilmiah, pengalaman yang baik, dan orientasi yang benar mengenai masalah seks, sesuai dengan  perkembangan fisik, fisiologis, mental, emosional, dan sosial, dalam rangka internalisasi ajaran agama, norma-norma sosial, nilai-nilai moral yang berlaku dalam masyarakat, sehingga memungkinkan beradaptasi dengan baik terhadap berbagai kondisi seks dan dapat menghadapi persoalan-persoalan seksual di masa kini dan mendatang dengan penyikapan yang realistik menuju kesehatan jiwa.

Pendidikan seks dalam Islam itu diarahkan kepada pembinaan pemeliharaan fitrah manusia, terutama fitrah instingtif (gharizah) sebagai manusia normal agar tidak terjadi penyimpangan orientasi seksual, penyakit kelamin, kesehatan reproduksi, dan penyakit sosial. Pendidikan seks dalam Islam tidak hanya membentengi peserta didik agar tidak melakukan perbuatan keji: perzinahan, hubungan seksual di luar nikah, tetapi juga memberi penyadaran dan pendewasaan para calon mempelai agar memiliki   kematangan dan kesiapan mental untuk menikah, menjalani kehidupan rumah tangga, dan menjadi orang tua.

Berwawasan Kemanusiaan

Menurut Shahid Athar, dalam  Sex Education: An Islamic Perspective, pendidikan seks diberikan di setiap sekolah Amerika, negeri atau swasta, dari kelas 2 hingga 12. Biaya pendidikan seks pada tahun 1990 yang diproyeksikan mencapai $ 2 miliar per tahun. Guru diminta memberikan aspek teknis seks tanpa memberi tahu siswa tentang nilai-nilai moral atau cara membuat keputusan yang benar. Setelah menggambarkan anatomi dan reproduksi pria dan wanita, penekanan utama adalah pada pencegahan penyakit kelamin dan kehamilan remaja. Dengan meningkatnya AIDS, fokusnya adalah pada 'Seks Aman' yang berarti memiliki kondom tersedia setiap kali seseorang memutuskan untuk melakukan hubungan seks dengan seseorang yang tidak dikenal. Dengan bantuan dolar pajak kami, sekitar 76 sekolah di negara itu telah mulai membagikan kondom dan kontrasepsi gratis kepada mereka yang pergi ke klinik kesehatan sekolah. Segera akan ada mesin penjual otomatis di lorong sekolah di mana 'anak-anak' bisa mendapatkan kondom setiap kali mereka merasa ingin berhubungan seks.

Demikianlah ilustrasi pendidikan seks di Amerika Serikat dengan gersang nilai-nilai agama dan moral, karena lebih mengedepankan kebebasan individu dan HAM, liberalisme, dan sekularisme. Model pendidikan seks ala Amerika tersebut jelas tidak berwawasan moral dan kemanusiaan universal, karena mereka tidak dibentengi iman dan moral. Mereka tetap “dibolehkan” bergaul bebas dan berzina, asal menggunakan kondom agar aman dan tidak terjadi kehamilan di usia remaja. Pendidikan seks ala Barat itu bebas nilai, tanpa disertai rasa bersalah dan berdosa jika berzina, berhubungan seksual di luar nikah.

Hal tersebut berarti bahwa pendidikan seks tidak berwawasan kemanusiaan, melainkan berorientasi kebinatangan: seks bebas, tanpa terikat oleh nilai dan akad nikah sesuai dengan ajaran agama, apapun agamanya. Dalam hadir ini, Islam hadir dengan wajah dan orientasi nilai-nilai kemanusiaan yang mengedepankan pentingnya menghormati institusi keluarga, harga diri, harkat dan martabat perempuan. Oleh karena itu, Islam sangat protektif terhadap kesucian institusi rumah tangga, antara lain dengan melarang umatnya, misalnya “berdua-duaan” (lelaki dan perempuan yang bukan mahram) karena ketiganya adalah setan atau melarang mendekati perbuatan yang berpotensi menyebabkan terjadinya perzinahan. “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isra’ [17]: 32).

Logika ushul fiqih dalam memahami ayat tersebut mengandung arti bahwa “mendekati perbuatan yang menjurus kepada zina saja dilarang, apalagi berzina langsung.” Ayat ini juga mengadung nilai pendidikan seks yang berorientasi preventif (pencegahan) sekaligus penyelamatan masa depan kemanusiaan. Bayangkan, jika pergaulan dan seks bebas tanpa terikat  tali pernikahan ditolerir (dibebaskan), niscaya banyak anak yang lahir tanpa ada kejelasan ayah biologisnya yang sah, sehingga berakibat social seperti siapa  masalah wali pernikahan, kewarisan, dan sebagainya.

Jika dianalisis lebih jauh, mengapa Reynhard Sinaga memiliki keberanian (kenekatan) luar biasa dan kebiasaan seksual yang aneh tapi nyata? Maka boleh jadi salah satu sebabnya adalah kegagalan pendidikan agama, terutama pendidikan akidah yang tidak fungsional, tidak mampu membentengi dirinya dari godaan hawa nafsu dan syahwat seksual yang menyimpang, dan tidak merasa takut kepada adzab Allah. Tampaknya pola hidup glamor, keterlambatan berakal sehat, dan pengaruh lingkungan sosial yang liberal dan sekular juga membentuk orientasi dan perilaku LGBT. Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda: “Setiap anak dilahirkan dengan fitrahnya (bertauhid, beragama, berpola hidup bersih dan sehat). Lalu, kedua orang tuanyalah (baik orang tua biologis maupun orang tua sosiologis) yang menjadikannya seperti Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR al-Bukhari dan Muslim). Hidup di lingkungan sosial kaum Gay karena lemah iman, tidak memiliki rasa muraqabatullah (dalam pengawasan Allah), dan liberlisme gaya hidup yang tidak terkendali menjadi akumulasi faktor penyebabnya.

Oleh karena itu, Islam sangat peduli terhadap lingkungan pergaulan anak, tidak hanya pergaulan sosial tetapi juga pergaulan dalam dunia maya dan media sosial. Bergaul dengan lawan jenis dibolehkan, namun dibatasi, dikendalikan, dan diatur sesuai dengan norma-norma Islam. Dalam berpakaian, berbusana, berpenampilan, dan berpergaulan sosial, Islam memerintahkan umatnya untuk menutup aurat, baik lelaki maupun perempuan, sesuai batas-batas yang telah ditetapkan. Menutup aurat, memakai busana yang tidak ketat dan/atau tembus pandang, tidak berlebihan dalam berhias, dan sebagainya tentu dimaksudkan sebagai bagian dari pendidikan seks yang berorientasi perlindungan (proteksi) dan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku seksual.

Wawasan kemanusiaan dalam pendidikan seks dalam Islam tidak hanya ditunjukkan melalaui proteksi harga diri, harkat martabat, dan masa depan institusi rumah tangga, melainkan juga diaktualisasikan dalam bentuk afirmasi dan edukasi nilai pembentukan rumah tangga melalui lembaga pernikahan yang sah (legal) atas dasar cinta kasih (mawaddah wa rahmah). Orientasi pendidikan seks yang berwawasan kemanusiaan dalam Islam  tidak hanya diletakkan dalam konteks  pengembangan  silarurrahim dan kekerabatan berbasis akidah tauhid, tetapi juga dalam rangka mewujudkan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab. Niat, motif, tujuan, dan orientasi membentuk rumah tangga melalui ikatan suci pernikahan adalah melahirkan keluarga sakinah, bahagia dunia dan akhirat, bukan sekadar untuk melegalkan hubungan seksual suami dan istri.

Berwawasan kemanusiaan dalam pendidikan seks, baik bagi remaja maupun orang dewasa, diaktualisasikan dengan menjaga pandangan mata, mengendalikan nafsu syahwat, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang menjerumuskan seseorang kepada perbuatan zina. Oleh sebab itu, salah satu ciri atau indikator Mukmin beruntung adalah “orang yang memelihara kemaluannya” (QS. Al-Mukminun/23: 5), menjaga kesucian diri dan kehormatannya dengan menutup aurat, tidak memasuki rumah orang lain tanpa izin (QS an-Nur/24:28). Mukmin lelaki dan perempuan selalu diperintahkan untuk menjaga pandangan mata dan menjaga kemaluannya karena yang demikian itu lebih suci (QS. An-Nur/24: 30-31).  Dengan kata lain, nilai kemanusiaan dan moral universal dengan menjaga kesucian dan harga diri, menjaga pandangan dan menutup aurat merupakan model pendidikan seks dalam Islam yang luar biasa menyelamatkan masa depan umat manusia.

Menarik direnungkan bersama, betapa mereka yang terjangkiti virus pergaulan bebas, perzinahan, pornografi, pornoaksi, aksi dan gerakan LGBT sedang membunuh masa depan mereka sendiri sekaligus sedang “mengundang” adzab Allah SWT. Di sejumlah negara Barat, banyak orang memilih hidup dengan “kumpul kebo”, atau sekurang-kurangnya “kumpul kebo” lebih dulu (dan apabila cocok dilanjutkan dengan menikah; dan jika tidak cocok, ganti pasangan baru) daripada menikah secara sah menurut hukum agama dan/atau negara. Kebebasan individu dengan pijakan dasarnya penghormatan terhadap HAM membuat orientasi seksual menyimpang tumbuh subur sebagai manifestasi dari kebebasan HAM dan privasi individu yang tidak boleh diganggu-gugat oleh siapapun.

Akhlak Mulia

Islam hadir melalui Nabi Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia (HR Malik), mewujudkan rahmat Islam dalam bentuk peradaban umat manusia yang agung, luhur, berkeadaban, bukan sekadar maju dan sejahtera secara sains dan teknologi, tetapi akhlaknya rusak, bejat, dan berperilaku seperti binatang. Kemuliaan dan keagungan manusia itu terletak pada akhlaknya. Oleh karena itu, Nabi SAW menegaskan bahwa “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik atau paling mulia akhlaknya” (HR Muslim).

Pendidikan seks dalam Islam sejatinya merupakan pendidikan akidah, pendidikan ibadah, dan pendidikan mumalah hasanah (pergaulan dan interaksi sosial yang baik, santun, bermartabat) dengan menjadikan adab dan akhlak mulia sebagai mahkotanya. Pergaulan sosial, terutama antara lelaki dan perempuan, diatur dan dikendalikan sedemikian rupa, bukan untuk mengekang manusia, tetapi demi mewujudkan kemasalahatan hidup manusia, menjaga harkat dan martabat kemanusiaan, tidak mendegradasi nilai kemuliaan manusia, sehingga berperilaku seperti binatang buas atau binatang jalang. Istilah “kumpul kebo” menggambarkan betapa akhlak manusia yang suka berzina itu seperti binatang bernama kebo, tidak memiliki rasa malu dan tidak merasa memiliki harga diri.

Dengan kata lain, pendidikan seks berwawasan kemanusiaan dalam Islam, di satu segi dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa malu positif dalam rangka menjaga kesucian dan harga diri; dan di segi lain melindungi dan menyelamatkan masa depan umat manusia melalui ikatan pernikahan dan pengembangan institusi sosial berupa rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah (damai, tenteram, penuh cinta kasih dan kasih sayang). Oleh karena itu, standar utama yang harus dijadikan modal pembangunan rumah tangga adalah kemuliaan akhlak dan kematangan beragama, bukan semata: kecantikan atau ketampanan, kekayaan, dan keturunan. Nilai-nilai agama dan akhlak mulia adalah benteng kemuliaan dan kesucian diri yang dapat menyelematkan Mukmin dari perilaku tercela dan menyimpang, termasuk penyakit LGBT.

Akhirul kalam, pendidikan seks dalam Islam bukan semata persoalan mengajarkan bagaimana berhubungan seks secara aman meski tanpa ikatan pernikahan (kumpul kebo), tetapi bagaimana mengokohkan fundamental akidah tauhid dengan pendidikan akidah yang lurus dan benar, fundamental mental spiritual dengan pendidikan ibadah yang fungsional dan bukan sekadar ritual, dan fundamental sosial dengan pendidikan muamalah hasanah dan akhlak karimah, terutama dalam interaksi sosial antara orang tua dengan anak, anak dengan sesama, dan warga masyarakat. Pendidikan seks bukan sekadar mengenalkan organ vital, alat reproduksi, dan anatomi fisik dan fisiologis dua insan yang berbeda kelaminnya, melainkan bagaimana membina, mengembangkan, dan menjaga kesucian diri dengan akhlak mulia, rasa malu, rasa berbuat dosa, dan merasa diawasi oleh Allah SWT dalam pergaulangan dan hubungan sosial agar tidak menyimpang dari norma agama dan etika.

Pendidikan seks berwawasan kemanusiaan dalam Islam akan efektif dan berdampak positif bagi umat manusia, apabila semua menyadari bahwa hidup bahagia dalam Islam itu bukan sekadar  mereguk kenikmatan dengan melampiaskan hawa nafsu dan syahwat birahi tanpa kendali, tetapi hidup bahagia itu harus menjaga fitrah kemanusiaan dengan menaati nilai-nilai agama dalam kehidupan personal dan sosial. Islam dipastikan hadir dengan perangkat nilai paling sempurna dalam mengatur hubungan sosial dengan pendidikan seks yang bervisi kemasalahatan dan kebahagiaan masa depan umat manusia. Praktik, aksi, dan gerakan LGBT selain tidak sesuai dengan pendidikan seks dalam Islam, juga bertentangan dengan fitrah kemanusiaan yang benar dan mulia. Melalui pendidikan seks berwawasan kemanusiaan, LGBT harus dikikis habis karena sangat membahayakan masa depan umat manusia dan sangat potensial menghadirkan adzab Allah SWT. Wallahu a’lam bi ash-shawab!

Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Imla Indonesia. Sumber: Majalah Tabligh No.2/XVIII Februari 2020. (lrf/mf)