Islam dan Pancasila
Prof. Dr. Harun Nasution
(Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Periode 1973-1984)
Ada pandangan di kalangan masyarakat kita bahwa Pancasila bertentangan dengan Islam, meskipun Pancasila sebagai dasar negara telah ditentukan oleh permufakatan Indonesia yang beragama Islam. Dan di antara pemuka agama Islam inilah ada yang diikuti masyarakat sebagai ulama. Para ulama ini bersama-sama dengan pemuka-pemuka Indonesia yang beragama lain menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Sungguh ironis bahwa Pancasila bertentangan dengan Islam, tetapi pemuka-pemuka Indonesia yang beragama Islam itu, terutama ulamanya, tidak akan dapat menerimanya sebagai dasar negara. Pancasila memang tidak bertentangan, melainkan sejalan, dengan Islam. Bahkan lebih dari itu, sila-sila yang dikandung Pancasila adalah juga ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam Islam.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah ajaran dasar yang utama dalam Islam. Syahadat pertama ialah ““Tiada Tuhan selain Allah”. Ajaran dasar ini dikenal dengan nama tauhid. Karena tauhid merupakan ajaran pertama dalam Islam pengertiannya banyak dibahas oleh ulama. Kaum syariat Islam mengartikan tauhid, tida ada yang disembah dan dipuja kecuali Allah, tidak ada tempat meminta ampun, memohon rezeki, pertolongan, dan sebagainya kecuali pada Allah. Dalam memuja dan memohon kepada Allah tidak ada perantara; setiap orang harus langsung beribadah dan dekat kepada-Nya.
Kaum teolog Islam dari golongan Mu’tazilah melihat bahwa kalau Allah diberi sifat-sifat sebagaimana yang disebut aliran-aliran lain, tauhid menjadi tidak murni. Tuhan bersifat, mengandung arti ada unsur yang dapat disifati dan ada unsur-unsur sifat yang melekat pada diri yang disifati. Dengan demikian Tuhan tersusun dari unsur yang banyak. Agar tauhid menjadi murni, Allah diyakini tidak mempunyai sifat. Ia hanya Zat atau Esensi. Kata-kata Rahman, Rahim, ‘Alim, ‘Aziz yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah bahwa keadaan atau nama, bukan sifat Allah. Kaum filosof Islam memberi pengertian tauhid yang lebih dalam dari pengertian yang dimajukan kaum syariat dan kaum teolog di atas. Tauhid kedua golongan ini menurut mereka belum murni. Agar betul-betul Allah Maha Esa, haruslah Ia jauh dari arti banyak. Selama dalam diri Allah masih terdapat arti banyak, tauhid belumlah murni. Mereka pergi yang arah yang sama dengan teolog Mu’tazilah, yaitu Allah Maha Esa, itu artinya Allah tidak terdiri dari banyak. Selama dalam sifat Allah masih terdapat arti banyak, tauhid belumlah murni. Allah, yang berhubungan langsung dengan makhluk yang banyak, tidak terlepas dari arti banyak. Oleh karena itu, Al-Farabi dan yang sealiran dengannya berpendapat bahwa Allah berkontemplasi tentang diri-Nya Yang Maha Esa, dan melalui kontemplasi inilah alam ini diciptakan dan diatur.
Kaum sufi merasakan bahwa konsep tauhid yang diberikan kaum filosof, apalagi kaum syariat dan kaum teolog, juga belum murni. Di samping Yang Maha Esa dalam segala-galanya, menurut konsep golongan-golongan di atas, masih ada yang mempunyai wujud. Padahal, segala yang tampak sebenarnya tidak mempunyai wujud, dan kalaupun dikatakan mempunyai wujud, wujud itu hanyalah wujud bayangan. Tidak ubahnya wujud bayangan dalam cermin dari seseorang yang berduri di depannya. Yang mempunya wujud yang sebenarnya hanyalah orang yang bersangkutan. Wujud bayangan dalamcermin bergantung pada dan bersatu dengan wujud diri orang itu. Wujud hanyalah satu, yang selain-Nya hanyalah bayangan. Filsafat ini, yang disebut sebagai wahdat al-syuhud, dibawa oleh sseorang sufi, Ibnu ‘Arabi. Kaum sufi mendekatkan diri kepada Allah sampai ke satu tingkat yang disebut fana’, hancurnya diri. Sufi merasakan dirinya dabn alam sekitar tidak ada lagi. Yang ada hanyalah Allah, Inilah, menurut kaum sufi, tauhid termurni.
Sila kedua, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, juga sesuai dengan Islam. Ajaran dasar ini merupakan konsekuensi yang semestinya dari ajaran tauhid di atas. “Tiada Tuhan selain Allah” mengandung arti hanyalah Allah yang menjadi pencipta alam semesta. Tiada pencipta selain Allah, adalah ajaran yang kuat dipertahankan aliran-aliran tertentu dalam teologi Islam.
Oleh karena hanya Allah-lah Pencipta alam semesta, maka semua makhluk, benda tak bernyawa, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, adalah milik Allah dan berasal dari Allah. Di sini terdapat konsep kesatuan makhluk di bawah Allah. Tegasnya di sini terdapat konsep perikemakhlukan. Benda tak bernyawa, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia adalah bersaudara.
Dalam lingkaran perikemakhlukan ini terdapat ajaran perikemanusiaan. Dasar persaudaraan manusia bukan hanya karena semua manusia sama-sama makhluk Allah, tetap juga karena, menurut ajaran Al-Quran, manusia mempunyai akal yang satu: Dialah yang menciptakan kamu dari satu jiwa, kemudian Dia jadikan dirinya pasangannya agar ia merasa tentram (QS 7: 189). Kemudian manusia menjadi banyak dan merupakan umat: Manusia merupakan satu umat, tapi kemudian mereka bertikai (QS 10: 19). Masyarakat yang satu pecah menjadi masyarakat yang banyak: Hai manusia, Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan berbagai puak supaya kamu saling mengenal. (QS 49:13).
Ayat yang disebut terakhir itu menekankan bahwa manusia, sunggupun sudah menjadi berbagai bangsa dan puak dan saling mengenal, harus hidup dalam damai dan dalam suasana persaudaraan. Agama tidak boleh merusak persaudaraan dan hubungan baik ini, sunggupun keyakinan keagamaan amat besar pengaruhya pada pemikiran dan tingkat laku seseorang dan bisa membawa kepada pandangan sempit dan sikap fanatik. Dalam hal ini, Al-Quran mengajarkan supaya manusia berlapang dada: Tiada paksaan dalam agama, jalan benar telah dpaat dibedakan dengan nyata dari jalan salah (QS 2: 256). Kewajiban manusa dengan demikian hanyalah menyampaikan ajaran agama. Kalau diterima itulah yang dikehendaki; kalau tidak, yang bersangkutan tidak boleh dipaksa. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad: Jika mereka berpaling kewajibanmu hanyalah menyampaikan dengan jelas (QS 16: 82). Hidayah memang tidak terletak di tangan manusia tetapi di tangan Allah: Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi hidayah kepada siapa yang engkau cintai, tetap Allah-lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Ia kehendaki (QS 28: 56). Selanjutnya ayat Al-Quran mengatakan lagi: Katakanlah, kebenaran datang dair Tuhanmu, siapa yang mau percayalah ia, siapa yang tidak mau janganlah ia percaya (QS 18: 2). Oleh karena itu, orang menganut agama masing-masing: Bagimu agamamu, bagiku agamaku (QS 109: 6).
Dalam pada itu semua manusia adalah saudara. Umat Yahudi dan Nasrani, seperti disebut dalam Al-Qur’an adalah ahli kitab, umat yang mempunyai kitab suci yang diturunkan dari Allah. Kedua umat ini adalah umat yang terdekat kepada umat Islam. Dalam pada itu, sesungguhpun dalam Al-Qur’an, banyak disebut nabi-nabi, tetapi di samping itu ada nabi-nabi yang tak disebut dalam kitab suci ini. Al-Qur’an mengatakan: Bagi setiap umat ada rasul (QS 10: 47). Ayat lain menyatakan: Telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul (QS 16: 36). Maka, dalam Islam ada pengertian bahwa agama-agama bertuhan yang dianut umat lain mungkin dibawa rasul yang disebut ayat-ayat di atas.
Demikianlah pandangan luas dan persaudaraan seluruh umat manusia yang diajarkan Al-Qur’an. Untuk manusia yang berbeda agama dan bangsa dan yang diciptakan Tuhan Yang Esa dari asal yang satu, karena itu bersaudara, harus saling tolong-menolong. Perikemanusiaan yang diajarkan Al-Qur’an ini banyak diamalkan oleh umat Islam masa-masa permulaan. Umar bin Khaththab, khalifah kedua, umpamanya, mengeluarkan uang negara untuk bea hidup orang Yahudi yang sudah menjadi tunanetra di Madinah.
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, dalam arti persatuan satu bangsa, juga merupakan salah satu ajaran dalam Islam. Kalau dalam lingkungan persatuan-kesatuan dan persaudaraan seluruh makhluk terdapat persatuan dan persaudaraan seluruh umat manusia, maka dalam lingkatan terakhir ini terdapat pula persatuan dan persaudaraan satu bangsa. Ayat 13 surah 49 tersebut di atas menegaskan bahwa umat manusia dijadikan Allah berbagai bangsam dari tiap bangsa dijadikan berbagai puak. Bangsa-bangsa itu, sebagai sesama umat manusia, saling berkenalan dalam suasan persaudaraan, hidup damai dan tolong menolong. Kemudian puak-puak yang terdapat dalam lingkaran bangsa, karena satu bangsa, saling berkenalan pula dalam suasana damai dan kerjasama.
Hubb al-wathan, cinta tanah air, adalah pula ajaran yang terdapat dalam Islam. Manusia satu wathan dan satu tanah air merupakan satu lingkaran kecil dalam lingkaran yang besar, yaitu lingkaran umat manusia yang tersebut di atas. Dari segi agama, ia merupakan lingkungan yang lebih kecil dalam lingkaran umat seagama yang luas.
Atas dasar inilah nasionalisme yang berasal dari Barat berkembang di Dunia Islam, sesuadah paham itu datang ke Timur pada abad kesembilanbelas dan terutama abad kedua puluh. Hub al-wathan pada zaman modern ini dihidupkan kembali oleh Al-Tahthawi di Mesir (1801–1873) dan rasa bangsa Mesir terhadap peradaban tinggi yang dihasilkan raja-raja Fir’aun timbul. Patriotisme ini, atas pengaruh Jamaluddin Al-Afghani meningkat menjadi nasionalisme Mesir yang menimbulkan pemberontakan Urabi Pasha di negeri itu pada pertengahan kedua abad kesembilan belas. Pada masa yang bersamaan timbul pula nasionalisme di Turki di bawah pimpinan Musthafa Kemal Attaturk. Kemudian muncul nasionalisme Arab. Nasionalisme Indonesia timbul pada dekade kedua abad kedua puluh. Persatuan Indonesia adalah salah satu dari persatuan kebangsaan yang terdapat di Dunia Islam.
Sila keempat, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, juga merupakan ajaran dasar Islam. Ajaran tauhid tersebut di atas yang membawa kepada perikemakhlukan dan perikemanusiaan, selanjutnya juga mmebawa kepada paham kerakyatan dan permusyawaratan. Semua manusia adalah bersaudara dan sama.
Tidak ada perbedaan dalam Islam kecuali dari segi takwa: Yang termulia di antara manusia di sisi Allah adalah orang-orang yang paling takwa (QS 49: 13). Nabi Muhammad, sungguhpun beliau adalah Rasul yang menerima wahyu, diperintahkan Allah agar bermusyawarah: Dan bermusyawarahlah dengan mereka (QS 3: 159), yaitu dengan para sahabat dan umat yang beliau bimbing. Ayat lain mengatakan: Dan urusan mereka dimusyawarahkan sesama mereka (QS 42: 38).
Pentingnya musyawarah dalam ajaran Islam dapat dilihat dari kewajiban Nabi bermusyawarah dengan umat yang beliau pimpin. Sebenarnya, sebagai seorang Rasul yang langsung dapat petunjuk dan bimbingan dari Allah, beliau tidak perlu bermusyawarah lagi. Tetapi hal itu sudah menjadi kebiasaan beliau, sehingga ketika beliau mengambil suatu langkah yang menurut sahabat ada lagi langkah lain yang bisa diambil, mereka bertanya apakah langkah yang diambil itu diwahyukan. Kalau diwahyukan mereka patuh. Tetapi kalau tidak, mereka mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan pendapat Nabi Muhammad. Karena itu tidak mengherankan kalau musyawarah menjadi prinsip yang dipegang umat dengan baik dalam mengatasi masalah keduniaan mereka dalam sejarah.
Sila kelima, “Keadilan Sosial” adalah pula adalah ajaran dasar dalam Islam: Salah satu sifat Allah, di samping Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Al-Rahman dan Al-Rahim, adalah Mahaadil. Allah yang Mahaadil menghendaki agar manusia bersikap adil. “Allah memerintahkan berbuat adil, kebaikan dan dermawan terhadap keraat, dan Ia melarang perbuatan keji, kemungkaran dan penindasan” (QS 16: 90). Orang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat untuk menolong orang miskin yang tidak berada. Harta tidak boleh berkumpul di tangan sekelompok anggota masyarakat, sehingga mereka saja yang menikmati kekayaan yang ada di alam ini: Apa saja yang diberikan Allah kepada rasul-Nya dari penduduk kota adalah kepunyaan Allah dan rasul-Nya, dan keluarga anak yatim, orang miskin, dan orang dalam perjalanan, agar jangan hanya beredar di kalangan orang kaya di antara kamu (QS 59: 7). Harta peninggalan tidak boleh diwasiatkan empunya harta kepada orang yang disenanginya saja, tetapi harus dibagi secara adil kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan yang disebut dalam Al-Qur’an.
Jelas kiranya bahwa sila-sila Pancasila merupakan ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu, negara dan pemerintahan yang berasaskan Pancasila tidaklah bertentang, tetapi sejalan dengan agama Islam. Dengan demikian, tidaklah tepat kalau segolongan kecil umat masih mempertentangkan negata Pancasila dengan Al-Quran.
Baik Al-Qur’an, sebagai sumber utama, maupun hadis, sebagai sumber kedua ajaran Islam, sebenarnya tidak ada yang menyebut bagaimana seharusnya bentuk negara Islam. Jangankan bentuk negara atau sistem pemerintahan, tentang pembentukannya pun tidak ada teks ayat yang dengan tegas menyebutkannya. Maka timbul perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Ada yang mengatakan pembentukan negara dalam Islam adalah wajib, tetapi ada pula segolongan kecil yang berpendapat bahwa itu tidak wajib. Menurut mereka, kalau ajaran Islam telah berjalan dalam masyarakat, negara dan pemerintahan tidak diperlukan.
Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak menyebut bentuk negara dan sistem pemerintahan, bentuk negara dalam Islam berkembang dalam sejarah sesuai dengan perkembangan zaman. Sewaktu pusat Islam masih berada di Madinah, yang berpengaruh di sana adalah jiwa kerakyatan dan persaudaraan Arab. Maka negara Madinah mempunyai corak republik dan demokrasi. Tetapi setelah ibu kota pindah ke Damsyik di Suriah, yang berada di bawah pengaruh kebudayaan Bizantium, di sana negara mengambil bentuk monarki. Bentuk monarki bertahan sampai abad kedua puluh. Tetapi, pada abad kesembilan belas, berubah menjadi negara konstitusional, dimulai dengan munculnya konstitusi Tunisia pada 1861 dan Konstitusi Turki pada 1876. Pada abad kedua puluh bentuk monarki konstitusional berubah menjadi republik dimulai oleh Turki pada 1924. Indonesia pada 1945 dan Pakistan pada 1947. Kemudian diikuti oleh negara-negara Arab dengan dipelopori oleh Mesir pada 1952.
Tidak mengherankan, kalau orang Islam Timur Tengah yang berkunjung ke tanah air kita, berpendapat bahwa negara Pancasila kita sudah sesuai dengan ajaran Islam; sama halnya dengan negara yang menerapkan sosialisme Arab di Mesir dan negara-negara Arab lainnya serta negara monarki di Saudi Arabia, Yordania, dan Maroko.
Di kalangan ulama dan pemimpin-pemimpin Islam Indonesia sendiri terdapat paham yang serupa. Almarhum Zainal Abidin Ahmad (dalam bukunya Membentuk Negara Islam, Jakarta, 1956), pemimpin Islam yang pada masa akhir hayatnya memangku jabatan Rektor PTIQ Jakarta, berpendapat bahwa ciri-ciri negara Islam adalah sebagai berikut:
- Penduduk mayoritas Islam.
- Kepala negara orang Islam.
- Ideologi negara sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam, sungguh pun di bawah nama lain seperti Pancasila.
- Undang-Undang tidak bertentangan dengan Islam.
- Undang-Undang dasar mengandung prinsip musyawarah dan dasar-dasar demokratis lainnya.
Semua ciri yang disebut Zainal Abidin Ahmad di atas terdapat dalam negara Pancasila kita. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila lebih banyak mempunyai ciri-ciri keislaman dari negara-negara Timur Tengah. Ia lebih lanjut menulis bahwa negara-negara yang menyebut dirinya negara Islam, seperti Yaman, Saudi Arabia dan Mesir, tidak bisa diterima sebagai negara yang telah sesuai dengan ajaran Islam.
Jelas kiranya bahwa filsafat Pancasila dan negara Pancasila Indonesia tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan ia merupakan bentuk final bagi umat Islam Indonesia. Tidaklah perlu dipertentangkan antara filsafat Islam dan negara Pancasila di satu pihak dengan negara Islam di pihak lain. (zm)
25 Juli 1984
Artikel diambil dari buku alm. Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Penerbit Mizan, 1995, hal. 218-223. Artikel dimuat kembali sebagai bahan refleksi atas Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2025.