Internalisasi Nilai Kepahlawanan

Internalisasi Nilai Kepahlawanan

Oleh: Parhan Hidayat

Setiap menjelang 10 November, kita selalu diingatkan dengan sebuah momen penting yang kita kenal dengan Hari Pahlawan. Dalam pasal 1 ayat 4 UU No. 20 tahun 2009 tentang gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Sosok pahlawan dimanapun negaranya, pasti akan dikagumi dan dihormati oleh bangsanya. Sebut saja Nelson Mandela, Ia adalah sosok besar yang dihormati bangsanya dan bahkan dikagumi dunia karena jasanya memperjuangkan hak kaum kulit Hitam melawan politik Apartheid yang telah merusak tatanan sosial Afrika Selatan selama kurang lebih 46 tahun (1948-1994). Atau kita juga bisa memahami bagaimana Abraham Lincoln begitu sangat dihormati oleh bangsa Amerika Serikat, karena keberhasilannya dalam menyatukan Amerika setelah dicerai-beraikan oleh civil war, perang saudara selama 4 tahun (1861-865). Di Indonesia kita juga begitu menghormati Jenderal Besar Soedirman, Bung Karno dan semua pahlawan lainnya sebagai sosok-sosok besar yang mengawali cikal-bakal lahirnya negara Indonesia.

Jenis-Jenis Pahlawan

Menurut hemat penulis, secara sederhana, ada bebera jenis pahlawan. Pertama, Pahlawan yang mengorbankan hidupnya demi kepentingan orang banyak. Kriteria pahlawan ini adalah kriteria yang sudah kita pahami bersama. Mereka adalah pahlawan yang menyerahkan seluruh jiwa raga dan segala apa yang dimilikinya demi kepentingan bangsa negara. Kedua, Pahlawan yang buah pikiran dan karyanya banyak dinikmati orang banyak, namun apa yang ia peroleh tak sebanding dengan jasa yang ia berikan pada masyarakat luas. Pahlawan dalam kriteria ini adalah para pemikir, musisi, arsitek, ilmuwan dan siapa saja yang karya besarnya begitu berpengaruh bagi suatu bangsa. Ketiga, Pahlawan yang ide, karya, dan jasanya banyak bermanfaat bagi orang lain, tapi orang-orang tak pernah mengenalnya. Bisa jadi karya-karyanya itu dimanipulasi dan dicuri oleh orang lain, tapi ia tak pernah menggugat. Bagi Pahlawan ini, yang penting adalah karyanya memiliki manfaat besar bagi peradaban dan kemajuan suatu bangsa.

 

Krisis Kepahlawanan

Idealnya, sebagai bangsa dan negara yang lahir dari cucuran keringat dan darah pahlawan, kita dapat terinspirasi dan termotivasi oleh mereka. Namun apa lacur?, setiap hari kita seolah dipertontonkan dengan tindakan-tindakan yang jauh dari sikap kepahlawanan. Salah satu contohnya adalah budaya korupsi yang selalu menjadi trending topic di negara kita.

Salah satu penyebab masih suburnya budaya korupsi di Indonesia menurut hemat penulis adalah gagalnya para pejabat dalam menginternalisasi nilai dan norma dalam kehidupannya. Pendapat ini, walaupun nampak absurd dan klise, tetap beralasan. Sistem pendidikan yang selama ini meluluskan para pembesar kita di pemerintahan adalah sistem pendidikan yang masih menitikberatkan pada ranah kognitif (pengetahuan). Mendidik dengan pendekatan kognitif ini cenderung menekankan pada hapalan dan pengetahuan, sementara dua ranah pendidikan lain yaitu afektif dan psikomotorik masih sedikit tersentuh. Karena lemahnya sentuhan pendidikan pada rasa (afektif) dan kemampuan bertindak secara tepat (psikomotorik), para pembesar kita mungkin tak dapat mengendalikan dirinya, ketika teman sejawat mereka dapat sukses dan kaya terlebih dahulu.

Dalam sebuah ceramahnya, Jack Ma, Sang founder Ali Baba, menyatakan bahwa bila pendidikan hanya menekankan pada hapalan dan hitungan, maka di masa depan nanti manusia pasti akan kalah dengan mesin. Mesin bisa dengan sempurna mengulang-ulang sebuah hapalan. Mesin juga mampu menghitung dengan cepat dan akurat. Lalu apa yang dapat dilakukan manusia dan tidak dapat dilakukan oleh mesin?. Manusia dapat mengapresiasi seni dan sastra, sementara mesin tidak. Dengan menikmati seni dan sastra, imajinasi manusia akan muncul dan berkembang. Dari imajinasi inilah muncul pikiran-pikiran dan ide-ide kreatif. Selain seni, Olah raga juga sangat penting. Dengan berolah raga, manusia akan terlatih untuk bekerjasama, pantang menyerah, dan belajar menerima kemenangan dan kekalahan secara bijaksana. Demikian tegas Jack Ma.

Dengan mencermati pendapat Jack Ma di atas, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan yang harus kita terapkan pada generasi muda kita saat ini adalah pendidikan yang memadukan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik secara holistik. Dalam konteks tertentu, pendidikan seperti ini dapat juga disebut sebagai pendidikan karatker. Dengan pendidikan berbasis karakter para peserta didik dapat mengintegrasikan pengetahuan yang diperolehnya sebagai pandangan hidup untuk menghadapai semua permasalahan.

Contoh sederhana dari berhasilnya proses pendidikan karakter ini dapat kita lihat dari aksi-aksi heroik para pemadam kebarakan di luar negeri sana yang menyelamatkan nenek yang kesulitan bernafas karena tersedak makanan atau anak yang tenggelam padahal para petugas tersebut sedang melaksanakan upacara pernikahan. Contoh yang paling dekat dengan kita adalah bagaimana 3 orang petugas KRL, Sofyan Hadi, Darman Prasetyo, dan Agus Suroto lebih memilih untuk menyelamatkan para penumpang terlebih dahulu daripada nyawa mereka sendiri, ketika terjadi kecelakaan kereta api di Bintaro, 9 Desember 2013 lalu.

Internalisasi Nilai Kepahlawanan

Salah satu nilai mulia yang terkandung dalam sifat kepahlawanan adalah kesediaan diri untuk berkorban demi kepentingan orang banyak. Nilai inilah yang mungkin tidak terpatri dengan baik dalam hati nurani seorang korputor. Bagi mereka pusat dari kehidupan ini adalah dirinya (Egosentris), bukan semesta atau Tuhan sekalipun (Teosentri). Dalam pandangan Abraham Maslow para koruptor ini adalah pribadi-pribadi yang masih tergila-gila dalam memenuhi kebutuhan fisikologis, keamanan, sosial, dan penghargaan. Mereka belum dapat memenuhi kebutuhan tertingginya dalam hidup yaitu kebutuhan aktualisasi diri dalam bentuk khidmat pada sesama manusia dan optimalisasi spiritualitas. Padalah seperti yang ditegaskan oleh Gary Zukaf dalam karyanya The Seat of The Soul (2006) tujuan hidup manusia yang sesungguhnya adalah perkembangan jiwa, bukan hanya menambah kekayaan atau mempertahankan kekuasaan.

Menyadari hal di atas, dalam proses pendidikan karakter ini, salah satu nilai yang harus ditanam kuat pada seluruh generasi bangsa adalah sifat mau berkorban seperti yang dicontohkan para pahlawan. Sejatinya, berkurban untuk kepentingan orang banyak tidak berarti merugikan diri sendiri. Dalam bukunya The Law of Attraction (2006) Michael J Losier menyebutkan bahwa dalam dunia ini berlaku hukum tarik menarik. Kebaikan yang kita lakukan akan menarik kebaikan yang lainnya, sebaliknya keburukan yang kita lakukan akan menarik keburukan lainnya. Dalam kacamata  The Law of Attraction, para koruptor diibaratkan sedang menggali kuburan-kehinaan dirinya sendiri, sementara para patriot sejati yang memiliki sifat mau berkorban sedang membangun istana-kehormatan diri.***

Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus pemerhati pendidikan. Kini, tinggal di Bogor. (lrf/zm)