Intelektual Baru

Intelektual Baru

Kaum intelektual termasuk ‘makhluk langka’ dalam masyarakat mana pun. Meski jumlahnya selalu sedikit, mereka sangat dibutuhkan karena mereka merupakan elan vital bagi perubahan masyarakatnya. Berkat ilmu dan pengalaman, mereka mampu melakukan refleksi terhadap kondisi masyarakat dan menawarkan langkah serta terobosan untuk perbaikan dan kemajuan. Dan, intelektual memiliki keberanian—dan sering berbicara lantang—baik pada tingkat ide maupun praksis untuk perubahan tersebut. Inilah yang membedakan intelektual dengan inteligensia, orang terpelajar, yang lebih sibuk dan terkurung dalam ilmu dan kepakarannya yang sempit dan teknikal.??

Tetapi, perubahan selalu menimbulkan kegamangan. Apalagi, ketika perubahan yang ditawarkan intelektual menyangkut pemikiran dan praktik keagamaan yang telah mentradisi dalam waktu yang sangat panjang. Dan, karena itu, dianggap sebagai hal yang tidak bisa dipersoalkan, apalagi diubah. Karena itu, intelektual yang menawarkan gagasan dan konsep yang mungkin terlalu abstrak bagi kalangan publik sering mendapatkan tantangan dari kalangan masyarakatnya sendiri. Tidak jarang mereka dilihat dengan penuh prasangka dan bahkan dituduh sebagai ‘sesat’ dan ‘menyimpang’. Karena itu, intelektual sering berada dalam dilema dan posisi sulit; pada satu pihak ia memiliki tanggung jawab moral publik untuk menyerukan dan mendorong perubahan, tetapi pada pihak lain ia mendapat tantangan yang tidak jarang sangat sengit dan bermusuhan dari kalangan masyarakat. Tetapi, justru di sinilah terletak integritas intelektual; tidak cepat menyerah pada berbagai tantangan.

Kaum ‘intelektual baru’, yakni mereka yang merupakan generasi pasca-Perang Dunia II, menghadapi tantangan kian berat. Ini terlihat, misalnya, dari karya Carool Kersten, Cosmopolitan and Heretics: New Intellectuals in the Muslim World, New Muslim Intellectuals and the Study of Islam (London: 2011).??

Karya ini, bagi saya, sangat penting karena beberapa alasan. Pertama, ketika bicara tentang intelektual baru, Kersten menampilkan tiga representasinya, yaitu Nurcholish Madjid (Indonesia), Hasan Hanafi (Mesir), dan Mohammed Arkoun (Prancis/Aljazair). Figur pertama dan ketiga telah wafat dalam rentangan lima tahun terakhir, sedangkan tokoh kedua masih aktif mengajar di Universitas Kairo. Secara pribadi, saya mengenal ketiga tokoh tersebut. Hasan Hanafi dan Arkoun beberapa kali datang ke Indonesia untuk konferensi dan rangkaian ceramah. Dan, keduanya tidak bisa menyembunyikan apresia sinya pada Islam Indonesia yang mereka pandang jauh lebih dinamis dibandingkan kawasan Muslim lain.?

?Kedua, karya ini merupakan salah satu dari sedikit kajian yang memasukkan Islam Indonesia—dalam hal ini figur Nurcholish Madjid—sebagai bagian integral pembahasan tentang Islam secara keseluruhan. Memang dalam dua dasawarsa terakhir, karya dan kajian tentang Islam dan dunia Muslim yang mencakup Indonesia kian banyak, tetapi tetap saja jumlahnya belum memadai. Sehingga, pengetahuan tentang Islam Indonesia masih jauh daripada memadai, baik di lingkungan Muslim di kawasan dunia Islam lain maupun di kalangan Islamis dan masyarakat Barat umumnya.??

Saya kira, inilah salah satu aspek ‘membentuk kembali kajian Islam’ yang dibahas Kersten panjang lebar. Ia menjelaskan, keputusannya memasukkan intelektual Indonesia semacam Nurcholish Madjid secara spesifik dimotivasi keinginan mengatasi kepincangan dalam kajian dewasa ini tentang dunia Muslim. Terdapat gap yang harus diisi, yang muncul dari penelantaran kajian Islam Indonesia. Selain itu, masih sangat mendesak kebutuhan mengoreksi pandangan stereotypi cal tentang Islam Indonesia.??

Kersten menegaskan, marginalisasi kajian Islam Asia Tenggara, khususnya Islam Indonesia, sampai setidaknya pada 2001 patut disesalkan. Padahal—mengutip Peter Mandaville yang mengkaji gerakan Islam transnasional —Indonesia merupakan setting yang sangat kaya untuk mengkaji Islam dan modernitas yang terus mengglobal. Atau juga, Dale Eickelman dan Jon Anderson, dua antropolog terkemuka untuk kajian masyarakat Muslim, mengidentifikasi Indonesia sebagai negara yang perlu dicermati ketika orang sampai pada usaha menemukan cara mengakomodasi norma-norma etis Islam dan ‘pluralisme kewargaan’.

Penting sekali, bagi Kersten, bahwa memberikan perhatian pada perkembangan intelektual di Indonesia dapat dipandang sebagai ‘berlepas dari provinsi’ (periferi), menantang pusat yang selama ini dipandang sebagai sumber segalanya. Ini mengacu pada pertanyaan pokok yang dicari jawabannya dalam karya Kersten ini dan banyak kajian lain. Apa sesungguhnya yang membuat milieu intelektual Indonesia begitu kondusif menghasilkan kontribusi indigenous sebagai cara menangani warisan Islam dan sekaligus bertindak sebagai tuan rumah yang pemurah terhadap berbagai gagasan, guna perumusan agenda-agenda baru bagi kajian Islam yang diperkenalkan dari luar?

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tulisan dimuat pada harian Republika, Kamis (24/11).