Innovation

Innovation

Pada 22 April yang lalu, ada diskusi terbatas beberapa pimpinan perguruan tinggi di Indonesia yang diselenggarakan di Jakarta membahas tentang posisi strategis perguruan tinggi Indonesia dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa ke depan, khususnya persoalan ketahanan ekonomi yang sangat terkait dengan penyiapan SDM bangsa melalui pendidikan tinggi. Diskusi itu lebih mirip brain storming, karena tidak ada fokus khusus yang dikaji bersama, tapi semua delegasi yang hadir dalam diskusi tersebut menyoroti berbagai hal sesuai dengan kapasitasnya. Ada yang menyoroti soal krisis energi, kiris pangan dan krisis air yang akan terjadi dalam dua dekade ke depan, ada juga yang menyoroti soal pertanian dan ada juga yang menyoroti kesiapan pemerintah Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan segera dimulai di akhir tahun 2015 ini.

Salah satu yang menarik bagi penulis adalah isu tentang kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA karena ini merupakan tanggung jawab bersama perguruan tinggi dan pemerintah. Perguruan tinggi harus menghasilkan SDM bangsa yang kreatif dan inovatif, sehingga bisa diterima di pasar ASEAN dan sekaligus juga mampu memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Perguruan tinggi juga harus menghasilkan teknologi baru untuk meningkatkan produktifitas masyarakat ASEAN, sehingga benar-benar berdaya saing dengan komunitas lainnya di dunia. Sementara pemerintah harus memfasilitasi akses SDM produk pendidikan tinggi tersebut pada pasar ASEAN dan pemerintah juga harus mamfasilitasi pemanfaatan teknologi temuan para dosen oleh masyarakat jasa di seluruah wilayah ASEAN.

Isu yang paling kencang dibahas para pimpinan perguruan tinggi tersebut adalah tentang strategi penyiapan para mahasiswa untuk menjadi tenaga-tenaga trampil atau tenaga ahli yang kreatif dan inovatif untuk didistribusi pada pasar ASEAN, karena kedua creativity dan Innovation tidak pernah muncul dalam daftar mata kuliah, tidak ada syllabusnya, dan tidak ada program pembelajaran untuk menyiapkan para mahasiswa tingkat sarjana untuk menjadi orang kreatif dan inovatif. Padahal semua perguruan tinggi dituntut untuk melahirkan sarjana-sarjana yang kreatif dan inovatif agar berdaya saing di hadapan para pesaing lain dari negara-negara ASEAN.

Creativity sudah sering kita bahas dan berakhir pada kesimpulan bahwa kreatifitas itu adalah “bringing imagination in to being.” Orang yang terus berimajinasi tapi tidak berkarya akan menjadi pemimpi sepanjang hayat dan tidak pernah menjadi orang kreatif. Demikian pula orang yang terus bekerja tapi tidak punya mimpi sama sekali, dia juga bukan orang kreatif. Dia hanya menjadi robot. Sedangkan innovation sebagaimana dijelaskan Christine Greenhalgh dan Mark Rogers dari Princeton University, dalam karyanya berjudul Innovation, Intellectual Property and Economic Growth, yang ditulis pada tahun 2014, adalah aplikasi ide-ide baru dalam produk dan proses atau aspek-aspek lain dalam sebuah organisasi atau perusahaan yang akan menghasilkan penambahan nilai baik bagi perusahaan atau organisasi maupun untuk para pengguna jasa atau pelanggan dari produk yang dihasilkan.

Untuk menghasilkan inovasi dalam sebuah organisasi, perusahaan, jasa maupun industri, menurut Christine Greenhalgh bisa dilakukan melalui tiga tahap utama, yaitu penelitian dan pengembangan, komersialisasi, dan difusi. Penelitian dan pengembangan dilakukan dengan tiga tahap utama, penelitian dasar untuk melahirkan ide-ide, kemudian penelitian terapan untuk melahirkan blueprint pengembangan dan penelitian ujicoba untuk menghasilkan prototype dari inovasi yang akan dikembangkan. Setelah itu aplikasi prototype untuk dikomersialisasi, dan terakhir perluasan penggunaan. Tahap-tahap ini nampak seperti rumit, karena sangat sainstifik, tapi pada dasarnya inovasi itu akan muncul dari orang berilmu pengetahuan dan ada kepenasaranan untuk melakukan pengembangan sebagai alternatif pemajuan peningkatan, baik proses maupun hasil dari sebuah karya organisasi, apakah organisasi layanan publik, organisasi jasa, atau industri untuk sebuah kemajuan. Inovasi selalu muncul dari pengetahuan dan orang berilmu pengetahuan, tapi tidak semua orang berilmu pengetahuan mampu mengembangkan inovasi, karena untuk inovasi itu sikap dan keahlian. Untuk itu keduanya harus dilatih dan dikembangkan. Itulah yang dimandatkan pada perguruan tinggi.

Ada dua model inovasi, yaitu Incremental Innovation dan Radical Innovation. Incremental Innovation adalah inovasi dengan mengikuti arus, yakni melakukan perbaikan-perbaikan kecil dalam sebuah proses yang sudah ada sebelumnya. Sementara Radical Innovation adalah inovasi yang melawan arus, melakukan perubahan mendasar, tidak saja produk tapi justru proses pelaksanaan pekerjaan, sehingga proses dan hasilnya benar-benar berbeda dari proses dan hasil yang dilakukan dan dicapai pada waktu-waktu sebelumnya.

Untuk mempersiapkan para mahasiswa menjadi sarjana-sarjana yang kreatif dan inovatif, perguruan tinggi harus ambil tanggung jawab dengan memfasilitasi mereka melakukan proses pembelajaran yang pada saat yang sama mereka dilatih kreatifitas dan inovasinya. Oleh sebab itu, dosen harus merancang benar proses pembelajaran yang secara instan melatih kreatifitas dan inovasi para mahasiswanya. Dosen harus memberi para mahasiswa tugas-tugas penelitian, apakah di perpustakaan, di lapangan atau organisasi-organisasi jasa dan layanan, yang sesuai dengan bidang keilmuan mereka, serta melaporkan atau mempresentasikan hasil peneltian dan pengamatannya di depan kelas bersama dengan dosen pengampunya.

Praktik pembelajaran seperti itulah yang melatih kreatifitas dan inovasi para mahasiswa, tapi dosen harus benar-benar mendampingi para mahasiswanya serta memeriksa karya mereka dan memberi feed back terhadap karya para mahasiswanya itu. Dosen harus dedikatif benar untuk profesi kedosenannya, sehingga mahasiswa benar-benar terdidik dan terlatih untuk menjadi intelektual yang memiliki kreatifitas dan inovasi. Dosen yang baik adalah dosen yang menghabiskan waktunya untuk ilmu dan mahasiswanya. Bukan dosen yang hanya pandai bicara di publik, banyak bicara dalam seminar, konferensi dan sebagainya, tapi tidak ada di kampus, tidak dedikatif untuk mendampingi para mahasiswanya belajar, melakukan penelitian, mempresentasikan hasil penelitian mereka dalam peer group-nya. Oleh sebab itu, pemerintah kini menregulasi penugasan dosen, pelaksanaan tugas dosen, dan memberikan insentif yang rasional untuk dedikasi mereka pada ilmu dan mahasiswanya.

Dalam rangka menghadapi MEA yang akan segera dimulai di akhir tahun 2015 ini, dan dalam rangka memperkuat ketahanan ekonomi bangsa, Indonesia membutuhkan anak-anak muda yang kreatif dan inovatif, hasil dari proses pendidikan panjang sampai jenjang sarjana. Andalan utama untuk penguatan daya saing di ASEAN dan pengokohan ketahanan ekonomi bangsa adalah mereka lulusan perguruan tinggi, khususnya para sarjana dalam semua bidang ilmu yang diwajibkan untuk bisa memasuki pasar kerja, termasuk mereka yang belajar ilmu-ilmu murni yang tidak memiliki captive market. Oleh sebab itu, PP No. 8 tahun 2010 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) mengamanahkan agar semua program studi memberikan bekal keterampilan atau keahlian bersertifikat untuk seluruh mahasiswa dan alumninya, baik inline dengan keahlian program studi maupun beyond keahlian program studi.

Bersamaan dengan itu pula seluruh mahasiswa harus diinspirasi melalui berbagai kegiatan ekstra untuk mempersiapkan diri memasuki pasar ASEAN serta meningkatkan komitmen dan jiwa patriotismenya untuk pemajuan bangsa dengan melatih diri menjadi orang-orang kreatif dan memiliki jiwa inovatif, sehingga berdaya saing kuat di pasar ASEAN dan juga di pasar dalam negeri. Wallahu a’lam bi alshawab.

* Artikel pernah dimuat dalam kolom Suara Kampus Harian Tangsel Pos, Senin 27 April 2015