Imtiyaz Yusuf: Studi Islam Harus Lebih Terbuka

Imtiyaz Yusuf: Studi Islam Harus Lebih Terbuka

[caption id="attachment_19536" align="alignright" width="960"]Prof. Dr. Imtiyaz Yusuf, Direktur Center for Buddhist-Muslim Understanding, College of Religious Studies, Mahidol University, Thailand. Prof. Dr. Imtiyaz Yusuf, Direktur Center for Buddhist-Muslim Understanding, College of Religious Studies, Mahidol University, Thailand.[/caption]

Gedung FISIP, BERITA UIN Online— Perguruan tinggi berbasis pengkajian Islam (Islamic Studies) harus lebih terbuka dengan memasukan studi agama-agama lain, terutama agama-agama Asia, bagi mahasiswa jenjang pascasarjana. Hal ini diperlukan guna meningkatkan pemahaman sarjana, peneliti, dan pendidik Islam tentang bahasa, kebudayaan, dan agama-agama di dunia dan Asia yang dibutuhkan dalam membangun hubungan antar masyarakat agama yang dialogis.

Demikian disampaikan Prof. Dr. Imtiyaz Yusuf, Director of the Center for Buddhist-Muslim Understanding, College of Religious Studies, Mahidol University, saat memberi keynote speech dalam konferensi internasional bertajuk  Southeast Asian Islam, Religious Radicalism, Democracy and Global Trends yang digelar PPIM UIN Jakarta di Gedung FISIP, UIN Jakarta, Rabu (9/8/2017).

“Pengkajian Islam perlu memasukan kajian akademis tentang agama-agama, terutama agama-agama masyarakat Asia, dalam rangka mencetak sarjana, peneliti, dan pengajar Islam yang cukup memahami keragaman bahasa, kultur dan agama masyarakat Asia sendiri,” paparnya.

Pemahaman mereka, sambungnya, diperlukan bagi terbangunnya dialog dan hubungan antar agama dengan agama-agama Asia lainnya. Asia Tenggara sebagai bagian dari Asia, jelasnya, merupakan kawasan geo-kultural yang komplek. Selain keragaman bahasa dan budaya, kawasan ini juga diwarnai dengan beragamnya anutan agama-agama masyarakatnya.

Dua agama yang cukup mayoritas di kawasan ini, katanya, adalah Islam dan Buddha dengan masing-masing penganut mencapai 42% dan 40%. Selain keduanya, masyarakat kawasan ini menganut agama Kristen, Katolik, Hindu, Khonghucu, dan agama-agama lokal.Sebagai kawasan yang relatif beragam, kawasan Asia Tenggara memiliki potensi konflik kekerasan dengan mengatasnamakan agama.

Keragaman demikian, sambungnya, meniscayakan perlunya bentuk pengetahuan lebih baik tentang agama-agama Asia Tenggara para sarjana, peneliti, dan pendidik dalam pendekatan akademis yang seimbang. “Saat ini, hanya sedikit akademisi Muslim Asia Tenggara yang bisa diandalkan dalam kajian akademis, riset, dan dialog dengan agama-agama Asia Tenggara lainnya,” katanya.

Selain itu, sambungnya, studi tentang agama-agama lainnya yang sudah berlangsung diharapkan tidak dilakukan dengan pendekatan konfesional, apologetis, konfrontatif dan ekslusif atau pendekatan ilmu social fungsionalis reduktif.

“Pendekatan bipolar demikian tidak mampu menawarkan perspektif yang masuk akal jika berbicara penyebab kesalahpahaman antaragama sebagai penyebab konflik dan kekerasan di berbagai negara ASEAN,” katanya.

Secara khusus, Imtiyaz melihat perguruan tinggi keislaman di Indonesia memiliki modal cukup baik menerapkan kajian Islam dengan perluasan bahasan tentang agama-agama non-Islam. “Indonesia dengan ideologi Pancasila dan pengalaman sejarah yang panjang menyangkut koeksistensi multireligius dan budaya bisa menjadi pionir dalam usaha ini,” harapnya. (farah nh/zm)