IMAN, ISLAM, DAN IHSAN

IMAN, ISLAM, DAN IHSAN

oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Iman, Islam, dan ihsan saling terkait. Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Syarah Qathrul Ghaits hakikat iman adalah seseorang hendaknya membenarkan dan menyatakan beriman kepada Allah SWT, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir yang baik maupun yang buruk dari Allah SWT. Sebab keimanan secara etimologi itu berarti pembenaran. Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Bahzatul Wasail, keimanan secara terminologi adalah membenarkan semua yang dibawa oleh Nabi SAW berasal dari Allah SWT seperti beriman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir yang baik maupun yang buruk dari Allah SWT. Mengingkari salah satunya dihukumi kufur. Spektrum makna iman terungkap dalam sejumlah ayat dalam al-Qur’an. Pertama, iman itu membuat seseorang berada dalam kebenaran. Allah SWT berfirman, “Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS. al-Baqarah/2: 186). Kedua, beriman berarti mengharap rahmat (kasih dan sayang) Allah SWT. Terkait dengan hal ini Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. al-Baqarah/2: 218). Ketiga, iman adalah kekuatan ketika merasa lemah dan penglipur lara di saat bersedih. Hal ini seperti diungkapkan Allah SWT dalam al-Qur’an, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imran/3: 139). Dalam pandangan Syaikh Nawawi Banten, seperti dikutip dalam karyanya Qaimuth Thughyan, iman itu memiliki tujuh puluh tujuh cabang. Hal ini berdasar Sabda Nabi SAW, “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh tujuh cabang. Cabang paling utama adalah La ilaha Illallah dan yang terendah adalah menyingkirkan bahaya di jalan” (HR. Bukhari). Namun, bagi Syaikh Nawawi Banten dalam Syarah Qathrul Ghaits, ada dua kondisi dimana keimanan tidak diakui. Pertama, ketika seseorang mengucapkan, “Aku beriman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir yang baik maupun yang buruk dari Allah SWT” pada saat masih kecil dan belum sepenuhnya dipahami. Kedua, keimanan seseorang saat sakaratul maut. Alasannya, karena ia tidak dapat melaksaakan perintah syariat dimana ia masih memiliki waktu luang. Pada saat sakaratul maut seseorang sudah dapat melihat tempat kembalinya. Surga bagi orang yang beriman dan neraka bagi orang yang kafir. Jadi sangat logis kalau keimanan itu tidak diterima. Nabi SAW bersabda, seperti dikutip Syaikh Nawawi Banten dalam Syarah Qathrul Ghaits, “Sesungguhnya seseorang tidak akan mati sampai ia melihat tempat kembalinya di surga atau di neraka”. Dalam hadits Imam Turmudzi, Nabi SAW bersabda, “Tobat seorang mukmin aka diterima sepanjang (ruhnya) belum sampai tenggorokan. Dalam hadits yang bersumber dari Umar bin Khaththab, terungkap bahwa ketika Nabi SAW berbicara tentang Islam, beliau juga berbicara tentang iman dan juga ihsan. Artinya Iman, Islam, dan ihsan adalah satu paket yang tak dapat dipisah-pisahkan. Ketiganya harus tertancap kuat pada lisan, hati sanubari, dan diamalkan oleh sekujur badan seorang muslim. Umar bin Khaththab berkata, “Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasulullah. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya.

Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata, “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam”. Rasulullah menjawab,”Islam adalah engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah.

Dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya”. Laki-laki itu berkata,”Engkau benar”. Kami pun heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.

Kemudian ia bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasulNya, hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk”. Dia berkata, “Engkau benar”. Dia bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.

Nabi SAW menjawab, ”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. Laki-laki itu bertanyalagi, “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?” Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya”.

Dia pun bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!” Nabi menjawab, ”Jika seorang budak wanita telah melahirkan anak tuannya. Jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin tak berpunya) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi”.

Kemudian laki-laki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku, “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku menjawab,”Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda, ”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian” (HR. Muslim). Hadits ini merangkum Islam, iman, dan ihsan.

Di dalam al-Qur’an, Islam adalah agama umat Nabi Muhammad yang diridhai, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. al-Maidah/5: 3). Maksud kata “ridha”, menurut pengarang Tafsir Jalalain adalah Allah SWT “memilih” Islam. Senada dengan ayat di atas, Allah SWT juga berfirman, “Sesungguhnya agama (yang diridahi) di sisi Allah adalah Islam” (QS. Ali Imran/3: 19). Menurut pengarang Tafsir Jalalain yang dimaksud dengan Islam dalam ayat ini adalah syariah (hukum-hukum Allah SWT) yang dibawa oleh para rasul dan dibina atas dasar tauhid yang lurus.

Oleh karena itu, Allah SWT berfirman, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imran/3: 19). Dikatakan merugi, ungkap pengarang Tafsir Jalalain, karena tempat tinggalnya neraka untuk selama-lamanya.

Bila ayat-ayat al-Qur’an dieksplorasi dan dipelajari, maka secara lebih rinci, dapat dipahami bahwa makna Islam itu ada tiga. Pertama, Islam berarti ketaatan. Hal ini sesuai firman Allah SWT, “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran” (QS. al-Jinn/72: 14).

Kedua, Islam itu berarti berserah diri, seperti firman Allah SWT, “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. al-Baqarah/2: 112).

Ketiga, Islam itu adalah tunduk patuh. Allah SWT berfirman, ”Katakanlah (Ya Muhammad), “Sesungguhnya aku dilarang menyembah sembahan yang kamu sembah selain Allah setelah datang kepadaku keterangan-keterangan dari Tuhanku. Dan aku diperintahkan supaya tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam” (QS. al-Mukmin/40: 66).

Dalam bahasa Nabi SAW, ”Islam adalah engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya”.

Menurut Syaikh al-Fasani dalam al-Majalisus Saniyah, perbincangan tentang Islam yang didahului dengan dua kalimat syahadat karena kedua kalimat tersebut menghasilkan keimanan bagi yang mengucapkannya. Alasannya karena keimanan adalah sendi sekaligus pangkal keislaman. Sampai di sini tampak Syaikh al-Fasani mengaitkan Islam dengan iman. Sementara itu, lanjut Syaikh al-Fasani, rukun Islam yang lain seperti mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, pergi haji ke Baitullah dibangun di atas dasar keimanan. Kendati shalat yang selama ini disebut sebagai tiang agama, tanpa fondasi keimanan yang kokoh, tiang tersebut tidak akan dapat berdiri kokoh. Secara lebih lengkap inilah sabda Nabi SAW yang berdiri di atas fondasi keimanan, “Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, pergi haji, dan puasa di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim). Terakhir, soal ihsan yang terkuak dalam sabda Nabi SAW, ”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. Hadits ini, bagi Syaikh al-Fasani, menempatkan seseorang pada dua kedudukan. Pertama, kedudukan musyahadah. Kedua, kedudukan muraqabah. Dalam pandangan Syaikh al-Fasani, pengertian ihsan dalam hadits di atas, yang dikehendaki Nabi SAW adalah ikhlas atau beribadah murni karena Allah SWT. Atau dengan kata lain ihsan adalah memperbagus ibadah. Caranya adalah dengan menanggalkan hawa nafsu. Nafsu inilah yang membuat seseorang terhalangi perasaan dilihat Allah SWT. Pembahasan soal ihsan adalah pembahasan tertinggi. Dalam konteks ini ihsan adalah tingkat ketiga setelah syariat dan thariqat, yakni hakikat. Dalam bahasa yang lebih populer ihsan adalah perbincangan tasawuf. Namun seorang yang memanggul laku hidup tasawuf harus memahami syariat lengkap dengan berbagai syarat dan rukunnya. Syaikh Nawawi Banten dalam Bahzatul Wasail mengatakan, “Barangsiapa berfikih tanpa bertawasuf, maka ia telah fasik. Barangsiapa bertasawuf tanpa berfikih, maka ia telah zindik. Barangsiapa bertasawuf dan berfikih, maka ia telah benar dalam beragama”. Aslinya ini adalah perkataan Imam Malik yang dikutip Imam al-Ghazali. Kesimpulannya, ihsan adalah sendi ketiga dari agama kita, yakni keyakinan (iman), amal perbuatan (Islam), hikmah/kebajikan (ihsan). Kalau agama Islam diibaratkan pohon, maka iman itu adalah akarnya, Islam itu batang, dahan, dan rantingnya, sedangkan ihsan adalah buahnya yang membuat terpesona setiap orang yang melihatnya.(sam/mf)