Idul Fitri dan Keragaman “Dar al-Islam”

Idul Fitri dan Keragaman “Dar al-Islam”

Oleh : Dr  Arief Subhan Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Kaum Muslim sejagad kembali merayakan Idul Fitri 1441 Hijriyah. Perayaan Idul Fitri tahun ini pasti terasa jauh berbeda. Meskipun takbir dan tahmid tetap berkumandang, shalat Idul Fitri dan khutbah di dalamnya, yang merupakan tonggak dimulainya perayaan, diselimuti harapan dan kekhawatiran pandemi covid-19 (Corona Virus Disease 2019) yang belum dapat diprediksi kapan akan berakhir. Meskipun demikian, kemeriahan Idul Fitri pasti akan tetap berlangsung di dunia Islam (“dar al-Islam”) dalam apa yang dapat disebut sebagai “Cyber Islamic environment”.

Tulisan ini ingin bercerita tentang “dar al-Islam” yang menjadi tempat bagi berlangsungnya perayaan Idul Fitri—bukan tentang Idul Fitri itu sendiri yang hanya akan disinggung sepintas. Mengapa dipergunakan istilah “dar al-Islam”? Dengan istilah tersebut yang dimaksudkan bukan “negara Islam” sebagaimana selama ini ditafsirkan kelompok radikal-Islamisme. “Dar al-Islam” dimaksud adalah wilayah geografis di mana kaum Muslim berdomisili, mengepresikan identitasnya sebagai Muslim, menunaikan ibadah, dan membangun tradisi lokal Islam. Pendeknya adalah tempat di mana Muslim memiliki ruang untuk “practising Islam”—termasuk merayakan hari-hari besarnya—dengan tetap harmonis dengan kebudayaan lain.

Secara global, populasi kaum Muslim sekarang ini mencapai 1,7 miliar, dan—sejalan dengan prediksi lembaga seperti Pew Research Center—jumlah itu akan terus berkembang pesat. Pada 2050, jumlah tersebut diperkirakan akan bertambah menjadi 3 milyar—dan melampaui populasi penganut Kristen. Pertambahan yang demikian cepat tersebut menjadikan dunia Islam semakin luas dan penggunaan istilah “dar al-Islam” dalam pengertian sempit sebagai “negara Islam”, bukan hanya tidak relevan, tetapi juga harus ditafsirkan ulang—dengan penafsiran sebagaimana telah disebutkan.

“Dar al-Islam” memiliki tujuh wilayah geografis dan kultural yang berbeda (Ed Husain, The House of Islam, 2018: 32-34). Pertama, wilayah disebut dengan “Arabic-speaking domain”, terbentang dari Irak sampai dengan Mauritania, yang merupakan rumah bagi 400 juta Muslim, dengan etnis yang beragam. Wilayah ini merupakan sayap paling tua dalam Islam, di mana Nabi saw juga berasal dari wilayah ini. Sumbangan dan pengaruh wilayah ini masih sangat besar secara internasional. Antara lain, Wahabisme yang sponsori Kerajaan Arab Saudi yang membawa misi purifikasi dan literalisme di satu sisi dan Al-Azhar di Kairo yang mendorong modernisme, bahkan liberalisme.

Kedua, wilayah Iran sekarang, Afghanistan, dan Tajikistan yang merupakan rumah bagi 100 juta Muslim. Sebagian besar mereka berbicara dalam bahasa Persi, Dari atau Tajik—satu bahasa dengan dialek yang berbeda. Sahabat Salman al-Farisi (w. 656), merupakan orang Persia pertama yang masuk Islam, dan menjadi rujukan keteladanan bagi Muslim Persia lain untuk bergabung dengan Islam. Muslim Persia memberikan sumbangan penting dalam peradaban Islam pada abad keemasan. Pada masa modern, revolusi Iran menginspirasi dan memperteguh kembali Islam sebagai faktor perubahan sosial dan politik. Mayoritas Muslim Persia sekarang ini adalah Shi’ah.

Ketiga, wilayah sub-sahara Afrika yang merupakan rumah bagi 250 juta Muslim. Islam tersebar di wilayah Mali dan Senegal pada abad ke-7 Masehi. Beberapa sahabat Nabi saw juga disebutkan dikuburkan di Chad untuk menunjukan bahwa Islamisasi wilayah ini berlangsung sejak abad pertama Hijriyah. Intensitas perdagangan antara wilayah ini dengan Arab dan Persia semakin mempercepat Islamisasi Kenya dan Somalia. Sementara Nigeria mulai mengenal Islam sejak abad ke-10 Masehi. Budaya perayaan Idul Fitri sangat berwarna di di wilayah ini.

Keempat, wilayah anak benua India yang merupakan rumah bagi 400 juta Muslim. Sekarang ini mereka tersebar di negara-negara Pakistan, India, Bangladesh, Burma, Nepal dan Srilanka. Penyebaran Islam di wilayah ini dilakukan Muhammad bin Qasim, seorang jenderal Dinasti Umayyah (661-750), pada 710 dan mendakwahkan Islam secara damai. Mughal merupakan kerajaan besar Islam yang merupakan simbol kejayaan Islam. Taj Mahal merupakan warisan budaya yang Islam monumental. Meskipun dirundung berbagai konflik, Muslim di wilayah ini, khususnya India, memiliki madrasah Deoband dan Jama’ah Tabligh—gerakan dakwah dengan skala internasional.

Kelima, wilayah Turki, atau etnis Turkic. Wilayah ini menjadi tempat tinggal 170 juta Muslim yang sebagian besar berbicara dalam bahasa Turki. Termasuk dalam kelompok ini adalah Azeri, Chechens, China Uighur, Uzbek, Kirghiz, dan Turkmen. Turki Usmani merupakan simbol kejayaan Islam periode terakhir—berakhir pada 1924 yang ditandai dengan penghapusan sistem khilafah. Turki merupakan model negara sekuler dengan mayoritas penduduk Muslim. Ketegangan di dalamnya telah menimbulkan gerakan-gerakan Islamis seperti “Fathullah Gullen movement”, atau gerakan sufi Said Nursi yang sangat terkenal.

Keenam, wilayah Asia Tenggara yang meliputi Indonesia, Malaysia, Brunei, sebagian wilayah Thailand Selatan (Patani), dan Philipina Selatan (Moro). Ini merupakan rumah bagi 250 juta Muslim. Indonesia merupakan negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia—atau rumah besar bagi umat Islam. Sebagian besar Muslim di wilayah ini adalah Sunni. Belakangan salafisme mulai menjadi warna yang makin dominan. Patani di Thailand dan Moro di Philipina merupakan kelompok Muslim yang masih lekat dengan kekerasan. Meskipun demikian, secara umum moderasi Islam menjadi ciri utama Islam di wilayah ini.

Ketujuh, negara-negara Barat seperti Eropa, Inggris, dan USA yang merupakan rumah bagi sekitar 60 juta Muslim. Sebagian besar Muslim di wilayah ini merupakan imigran dari wilayah Muslim lain karena alasan politik maupun ekonomi. Sebagian lain memiliki alasan belajar (thalab al-ilm) yang memang sangat dianjurkan dalam Islam. Muslim di wilayah ini membawa budaya lokal dari tempatnya masing-masing berikut identitas etnis yang kuat. Multikulturalisme di negara setempat semakin memperkuat identitas etnis tersebut.

Perayaan Idul Fitri merupakan momen untuk saling bertemu bagi Muslim dengan keluar dari “rumah besar” yang dihuninya masing-masing. Tradisi Muslim Indonesia yang disebut dengan “silah al-rahim” dapat dijadikan sebagai nilai dasar untuk menguatkan perasaan sebagai bagian dari “ummah”. Dengan semakin kuatnya “cyber Islam environment” pengembangan tradisi “silah al-rahim” semakin memiliki kemungkinan besar untuk terwujud. Dalam “silah al-rahim” yang terjadi bukan hanya upaya mewujudkan relasi antar manusia yang saling memaafkan, tetapi juga relasi yang dilandasi kasih sayang sebagai sesama manusia. Tidak ada konsep dislike dalam “silah al-rahim”. Di dalamnya juga terkandung makna “menyambung dan menghimpun” untuk menebarkan perdamaian di jagad raya. ‘Id Mubarak bagi umat Islam di seluruh dunia. Mohon maaf lahir batin kepada semua teman. (zm/sam)