Idul Adha dan Nilai-Nilai Kemanusiaan

Idul Adha dan Nilai-Nilai Kemanusiaan

Abdul Moqsith Gazali

 

Idul Adha disebut juga Lebaran Haji. Ini karena Idul Adha berkait dengan pelaksanaan ibadah haji di tanah suci Mekkah. Dan kita tahu bahwa puncak pelaksanaan haji adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Dari bumi Arafah yang lapang, dengan tetap berada di atas tunggangan unta al-Qaswa, Nabi Muhammad SAW dulu menyampaikan pidato mengagumkan dan cukup penting bagi pembentukan peradaban Islam di masa depan.

Setelah menyampaikan kesementaraan usianya —bahwa ini adalah hajinya yang pertama sekaligus yang terakhir— di awal pidatonya, dalam suasana religius yang intensif, Nabi SAW menegaskan pokok-pokok ajaran Islam.

Pertama, ajaran kemanusiaan. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya darah, kehormatan dan harta kalian adalah suci seperti sucinya hari ini, bulan ini dan dari tempat ini”. Karena itu, pertumpahan darah manusia, dan menodai kehormatan-martabat manusia, tak dibenarkan.

Kedua, kesetaraan umat manusia. Yang satu tak lebih mulia dari yang lain karena darah, suku, dan warna kulit. Seseorang itu hanya lebih mulia dari yang lain karena kualitas ketakwaannya.

Ketiga, kezaliman harus ditolak, termasuk kezaliman pada diri sendiri. Apalagi kezaliman pada orang lain.

Saat itu, kelompok yang paling rentan mengalami kezaliman adalah perempuan dan komunitas budak. Secara eksplisit, Nabi menyebut soal pemenuhan hak-hak kaum perempuan dalam pidatonya itu.

Beberapa hari sebelum wafat, dalam sebuah pengajian Nabi SAW memberikan fokus perhatiannya pada hak-hak budak.

Ia menegaskan, “Wahai umat manusia. Ingatlah Allah, menyangkut budak-budak yang kalian miliki. Berilah mereka makan seperti yang kalian makan. Dan berilah mereka pakaian seperti yang kalian pakai. Dan jangan bebani mereka dengan beban yang tidak sanggup mereka pikul. Sebab, mereka adalah daging, darah, dan makhluk seperti kalian. Barangsiapa yang berlaku zalim kepada mereka, maka Aku adalah musuhnya di Hari Kiamat dan Allah adalah hakimnya”.

Idul Kurban

Idul Adha juga disebut sebagai Idul Kurban (Qurban), karena penyelenggaraan Idul Kurban sambur-limbur dengan momen penyembelihan hewan kurban. Dan semua umat Islam tahu bahwa syariat kurban bermula pada saat Allah membatalkan perintah penyembelihan manusia (Nabi Ismail) dan diganti dengan penyembelihan domba.

Dari pembatalan penyembelihan manusia ini, kita mengerti bahwa umat Islam diperintahkan untuk berkurban, tetapi tidak boleh mengurbankan nyawa manusia.

Betapapun tingginya semangat pengorbanan manusia untuk agama dan Allah, pengurbanan itu tak bisa dilakukan dengan mengurbankan nyawa manusia, baik nyawa dirinya maupun nyawa orang lain. Itu sebabnya bom bunuh diri dengan alasan jihad sekalipun tak dibenarkan dalam Islam.

Jamal Albanna, seorang pemikir Islam dari Mesir, berkata dengan kalimat yang jernih, bahwa jihad hari ini bukan untuk mati di jalan Allah, melainkan jihad untuk hidup di jalan Allah (anna al-jihad al-yawm laysa an namuta fi sabil Allah wa lakin an nahya fi sabil Allah).

Dan jihad untuk hidup di jalan Allah memiliki cakupan yang luas. Termasuk di dalam pengertian jihad, menurut Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in adalah mencegah terjadinya kesengsaraan bagi orang-orang yang tak boleh diperangi, yaitu orang Islam, orang kafir dzimmi dan orang kafir musta’man.

Mereka tak boleh dibiarkan kelaparan dan telanjang tak berpakaian, akibat kemiskinan yang melilit mereka.

Untuk mencegah terjadinya kelaparan, Nabi SAW setiap hari raya Idul Adha membeli dua ekor domba.

Usai mengimami salat dan menyampaikan khotbah Idul Adha, Nabi mengambil seekor domba dan meletakkan kakinya di dekat domba tersebut seraya berdoa, “Ya Allah, terimalah ini dari Muhammad dan umat Muhammad”.

Nabi lalu menyembelih sendiri domba tersebut. Setelah itu, Nabi membaringkan domba satunya lagi dan berdoa, “Ya Allah... terimalah ini dari umatku yang tidak mampu berkurban”.

Sebagian dari daging kurban tersebut dikonsumsi Nabi dan keluarganya dan sisanya diberikan semuanya kepada fakir miskin. Allah menegaskan dalam Al Quran (QS, al-Hajj [22]: 28), “Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian yang lain) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”.

Qurban yang secara harafiah bermakna “mendekatkan” dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara mendekatkan diri kepada sesama manusia terutama manusia yang paling lemah, yaitu fakir dan miskin.

Nabi menegaskan bahwa pertolongan Allah kerap datang karena adanya orang-orang lemah (hal tunsharuna wa turzaquna illa bi dhu’afaikum).

Hak kaum difabel

Sekarang budak yang dalam Al Quran disebut milkul yamin, sudah tidak ada. Namun, jumlah orang fakir dan miskin masih cukup banyak. Ditambah lagi kaum difabel, baik difabel fisik maupun difabel mental yang jumlahnya mencapai angka jutaan.

Daripada pengertian jihad dipersempit hanya sebagai perang (qital), mengapa jihad tidak dilebarkan maknanya berupa pemberantasan kemiskinan dan pemenuhan hak kaum difabel-disabilitas?

Memodifikasi hadis Nabi SAW sebelumnya, kaum difabel adalah daging, darah, dan makhluk seperti kita. Mereka punya hak yang sama seperti hak-hak yang melekat pada kita. Mereka tak boleh didiskriminasi.

Nabi SAW pernah ditegur Allah karena bermuka masam ketika Abdullah ibnu Umi Maktum yang disabilitas netra datang berkunjung (‘abasa wa tawallah an ja’ahu al-a’ma).

Sejak mendapat teguran itu, setiap berjumpa dengan Ibnu Umi Maktum, Nabi berkata: Selamat berjumpa, wahai orang yang karenanya aku telah diberi peringatan oleh Tuhanku (marhaban biman ‘atabani fihi rabbi).

Ketika menjabat kepala negara, Umar ibn Khattab mengkhawatirkan dirinya akan disiksa Allah karena lalai memberikan pelayanan terbaik kepada rakyatnya.

Sayyidina Umar berkata, “Seandainya seekor unta mati sia-sia karena kebijakanku, maka saya takut kelak Allah akan meminta pertanggungjawabanku atas kematiannya”.

Di saat yang lain, ia berkata, “jika kambing itu mati di pinggir sungai Efrat, saya takut Allah akan menghisab Umar sebab kematian anak kambing”.

Teguran Allah kepada Nabi Muhammad dan kekhawatiran Umar ibn Khattab tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab negara cukup besar dalam hal memberikan pelayanan terbaik kepada warga negara, termasuk warga negara difabel.

Hasil Bahtsul Masail pada Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama pada 23-25 November 2017 di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Nahdlatul Ulama meminta negara-pemerintah serius memberikan pelayanan terbaik terhadap kaum difabel dan pemenuhan hak-hak mereka.

Penulis adalah Katib Syuriyah PBNU dan Dosen Tetap UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat di Koran KOMPAS, 28 Juni 2023.