Ibu Kota(nya) Manusia

Ibu Kota(nya) Manusia

Wacana tentang ibukota dipindah memasuki fase baru. Presiden Joko Widodo bahkan telah melakukan survei lokasi calon-calon ibukota. Kriteria calon ibukota sudah mulai disusun dan dilemparkan ke publik. Tentu saja, ini merupakan awal yang bagus. Sebab, wacana pemindahan Ibukota sudah berlangsung sangat lama. Sehingga dibutuhkan keberanian pasca wacana (post discourse) untuk mewujudkannya.

Masyarakatpun menyambut isu tersebut dengan beragam. Suasana pilpres kemarin sempat membuat isu pemindahan ibukota inipun dibaluti nuansa itu. Padahal, di luar masalah politiknya, pemindahan ibukota harus dilihat dalam cara pandang yang holistik. Berbagai aspek harus benar-benar matang dipikirkan.

Tulisan singkat ini ingin mengajukan aspek manusia (human perspective) sebagai cara pandang dalam memahami kepentingan pemindahan ibukota ini. Ada beberapa alasan yang melatari mengapa cara pandang manusia menjadi penting.

Perspektif Manusia

Sudah lama disimpulkan bahwa manusia adalah sumber segala sumber dinamika. Pandangan ini dikemukakan oleh kalangan antroposentris. Ringkasnya, bahwa manusia memberikan pengaruh besar kepada lingkungannya. Kacau atau teraturnya lingkungan, tergantung manusia membuatnya seperti apa. Maka kebutuhan membangun sistem yang mengacu kepada visi keadaban dan peradaban menjadi penting. Karena tanpa vis tersebut masa depan manusia akan diambang kepunahan.

Sistem sosial, dengan demikian, menjadi pondasi yang kuat untuk menopang perubahan, dinamika, dan arah dari pergerakan sosio-antropologis masyarakat. Tanpa sistem yang kuat, bukan hanya keberlanjutan entitas manusia yang dipertaruhkan, bahkan lebih jauh, ummat manusianya sendiri terancam.

Cara pandang antroposentris ini banyak dikritik karena kekuatannya. Sebab melalui kekuatan yang melekat kepadanya, justru dunia menjadi hancur lebur. Masa depan kemudian hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki akses kepada sumberdaya. Atau mereka  yang memiliki kuasa untuk melakukan hegemoni atas kelompok lainnya. Sementara sisanya, mereka yang tidak mampu mengakses sumber-sumber itu, serta tidak memiliki kuasa, justru akhirnya menjadi tatakan atau bantalan dari mereka yang berjaya.

Cara pandang antroposentris ini merupakan buah dari positivisme. Positivisme adalah fase sosiologis di mana ilmu pengetahuan menjadi kiblat dari pengerakan entitas manusia. Positivisme mengabaikan aspek spiritualitas dan (kadang) mengabaikan moralitas. Sebab akar utamanya adalah fungsi dan pragmatisme logis. Ketika sesuatu berfungsi, maka pada saat itu, aspek dan variabel lain menjadi terabaikan. Positivisme ini juga, dalam beberapa hal, menjadi dasar dari model pilihan rasional manusia dalam mengelola kehidupannya.

Sementara realitasnya, manusia memiliki dua dimensi yang keduanya saling mengisi dan berdinamika secara seimbang. Aspek sosial-emosional akan mendinamisasi manusia menjadi mahluk yang berambisi untuk mencapai beragam kesuksesan duniawi. Kesuksesan adalah puncak dari syahwat sosialnya.

Sedangkan aspek lain adalah spiritual. Aspek spiritual merupakan dimensi lain manusia yang berimplikasi kepada mendinamisasi kehidupannya pada beragam makna. Makna-makna inilah yang memberikan sesosok manusia arti lain dari beragam hal yang sudah atau sedang dicapainya. Spiritualitas kadang merupakan sumber dari moralitas. Di mana moralitas menjadi pengendali dari setiap fungsi tadi, agar tidak berkubang hanya pada fungsi-fungsi yang kasat mata dan logis secara fikiran saja. Sebab ada aspek lain yang juga berfungsi pada yang lain, meski kadang bertentangan atau tidak bisa dijelaskan secara logika biasa.

Keseimbangan antara visi tentang manusia yang utuh dan sempurna (insaan kaamil) inilah yang kemudian mendasari perspektif manusia. Lebih jauh, perspektif manusia hadir karena kebutuhan berikut:

Pertama, banyak sekali ditemukan bahwa program dan manfaat pembangunan justru tidak untuk menjembatani manusia untuk semakin kenal sisi kemanusiaannya. Misalnya pembangunan ruang pelayanan publik di kantor-kantor pemerintahan. Banyak yang mengabaikan aspek kemanusiaan. Di mana aksesnya susah, petugasnya kurang ramah, terkesan mempersulit, akan lancar hanya jika ada “pelicin” dan sebagainya.

Dehumanisasi terjadi dalam bentuk yang ditransformasikan kepada perilaku bahwa “saya yang memiliki kuasa” sedangkan masyarakat adalah yang membutuhkan saya. Akibatnya adalah beres tidaknya kepentingan masyarakat “tergantung saya”. Statemen “tergantung saya” mengindikasikan bagaimana kekuasaan mandatoris didefinisikan sesuai kepentingan dan kebutuhan pemilik kuasa, bukan pemberi kuasa.

Oleh karena inilah, maka perspektif manusia harus mampu membalikkan semua itu. Kesetaraan di ruang birokrasi harus menjadi dasar pengelolaan modus pelayanan. Birokrasi bukan hanya menyelesaikan administrasinya, tetapi untuk mengingatkan manusia pada sifat asli dari manusia itu sendiri: melayani. Sedangkan administrasi menjadi aspek penunjang dari kemanusiaan itu sendiri, bukan mereduksinya.

Kedua, bahkan banyak ruang publik terbuka (open public space) pun tidak lepas dari kepentingan-kepentingan seseorang, atau sekelompok orang. Ruang publik, yang nota bene di dalamnya ada frasa “publik” yang merujuk satu-satunya hanya kepada entitas manusia, justru mengalami dehumanisasi sistematis. Dehumanisasi sistematis ini banyak kita temukan pada berbagai ruang.

Misalnya, di ruang tunggu (bandara, stasiun, terminal, bahkan taman kota) tidak lepas dari berbagai papan iklan berbayar. Publik yang sudah membeli tiket atau sekedar leyah-leyeh di taman kota, tidak bisa melepaskan diri dari hegemoni iklan yang “membabi buta” menghiasi matanya. Iklan memang menjadi tambang emas para pemilik ruang. Termasuk ruang di dunia maya sekalipun. Bahkan hegemoni iklan ini sudah mencapai taraf “kebenaran kasat mata”.

Oleh karena itu, dalam hal ini perlu ada “pembebasan” keterbelengguan manusia saat ini dari perspektif dehumanisasi tersebut. Pengaturan ruang untuk kepentingan bisnis perlu diatur sedemikian rupa, sehingga tidak “mengotori” pemandangan kemanusiaan. Hal ini semata-mata ingin dan akan menjadikan manusia sebagai subyek tunggal dari kemanusiaannya sendiri.

Ketiga, manusia adalah entitas yang berbeda dengan mahluk lainnya karena pengetahuan. Ilmu Mantiq mendefinisikan manusia adalah “hewan yang berbahasa”. Bahasa adalah refleksi dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan serumit atau sesederhana apapun, tidak bisa dirasakan kehadirannya tanpa bahasa.

Maka perspektif manusia berikutnya adalah bahwa segala hal yang terkait dengan kehidupan manusia sehari-hari, bahkan detik perdetiknya, harus didasarkan kepada ilmu pengetahuan yang memadai. Ilmu pengetahuan harus menjadi dasar yang kuat dalam memutuskan sesuatu, bukan hanya perasaan, atau wangsit. Sebab dengan mendasarkan pada ilmu pengetahuan, yang itu menjadi sifat paling mendasar dari manusia, maka keputusan-keputusan yang diambil akan mempertimbangkan aspek-aspek manusia kemarin, saat ini, dan di masa mendatang. Variable tiga fase tersebut (dulu, kini, dan esok/ nanti) akan menjadi bahan bagaimana keputusan ini dijadikan acuan bagi berbagai pihak.

Menuju Ibukotanya Manusia

Mengacu kepada perspektif manusia di atas, yang bisa diringkas menjadi: birokrasi manusia, ruang publik manusia, dan ilmu pengetahuan berkemanusiaan, maka sudah sejatinya pemindahan Ibukota itu mempertimbangkan lebih besar pada aspek-aspek manusia.

Alam pikiran dan perasaan manusia akan berimajinasi pada sebuah ibukota yang tidak hanya infrastrukturnya megah, berkarakter Nusantara, konektivitas antar unit yang solid, sistem yang tertata dan kuat, serta pelayanan prima yang merata, tetapi juga fungsi seluruh ruang memang didesain, dan diperuntukkan hanya untuk manusia. Pertimbangan atas ini sangat penting mengingat banyak kasus pembangunan abai dengan detil manusia ini. Oleh karena itu, mumpung Sang Ibukota baru akan dimulai dari nol, maka desain besar yang berpespektif kemanusiaan ini bisa dijadikan salah satu dasar perencanaan dan pembangunannya.  Secara teknis, tentu para arsitek dan desainer lanskap bisa merancang teknisnya dengan detil. Tetapi aspek-aspek yang tidak kasat mata seperti nilai-nilai Indonesia, Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika, bisa saling berpadu dan saling bersenyawa didalamnya. Sebab nilai-nilai itulah yang akan terus saling menguatkan dan membuktikan bagaimana Indonesia Jaya itu sandarannya sangat tunggal: Manusia Indonesia!

Dr Tantan Hermansah SAg MSi, Dosen Sosiologi Perkotaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Koran Sindo, 1 Agustus 2019. (lrf/mf)