Haul Guru Tua

Haul Guru Tua

Palu, 12 Syawal 1421 H. Kembali ke Palu masih dalam pekan kedua Lebaran 2010; kali ini untuk Haul ke-42 'Guru Tua'. Panggilan kehormatan 'guru tua' tidak lain mengacu kepada Habib Sayyid Idrus bin Salim al-Jufri, pendiri al-Khairat, salah satu organisasi besar arus utama Islam Indonesia; dan bisa dipastikan, kini merupakan organisasi dakwah dan pendidikan terbesar di kawasan timur Indonesia. Lahir di Taris, Hadhramaut, Yaman, 15 Sya'ban 1309 H/1880 H, Habib Idrus dibawa ayahnya Salim bin Alwi ke Nusantara; sejak dari Batavia, Pekalongan, Jombang, Solo, Ternate, Manado, hingga akhirnya menetap di Palu.

Kembali ke Palu 41 tahun setelah Habib Idrus wafat pada 12 Syawal 1389/22 Desember 1969. Kali ini, bersama Ketua PB NU, KH Said Aqil Sirodj, untuk menyampaikan Pidato Haul Habib Idrus. Bagi saya, kembali ke Palu, pusat al-Khairat, sekaligus merupakan revisitasi atas penelitian saya tentang 'Hadhrami as Educators: Sayyid Idrus al-Jufri' yang edisi Indonesianya termuat dalam buku Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (2002).

Sebagai pendidik dan juru dakwah, Sayyid Idrus mengajarkan Islam yang damai secara persuasif. Ia tidak memaksakan pemahamannya sendiri tentang Islam kepada audiens dakwah dan anak didiknya. Hampir bisa dipastikan, pendekatan dan cara dakwah seperti ini menjadi salah satu kunci keberhasilannya dan sekaligus al-Khairat.

Tak banyak hal yang berubah 42 tahun setelah al-Khairat ditinggalkan Habib Sayyid Idrus al-Jufri, kecuali terus meningkatnya jumlah lembaga pendidikannya, yang hingga 2009 lalu mencapai 1.561 madrasah/sekolah berbagai jenjang dan 34 pesantren yang tersebar di seluruh kawasan timur Indonesia.

Selebihnya, di bawah pewaris kepemimpinannya, Ketua Utama, Haji Sagaf Muhammad al-Jufri, al-Khairat tetap berpegang pada khitahnya, 'membangun bangsa dengan prinsip-prinsip Islam ahlus sunnah wal jama'ah': tawasuth (moderasi), ukhuwah (toleransi), musawa (kesetaraan), dan 'adalah (keadilan). Karena itu, al-Khairat menolak segala bentuk ekstremisme, kekerasan, eksploitasi, dan penindasan, baik dilakukan bangsa sendiri maupun bangsa lain; semua ini mengakibatkan hilangnya prinsip al-hurriyah (kemerdekaan), bahkan kedaulatan negara.

Karena berpegang pada prinsip-prinsip ahlus sunnah wal jama'ah seperti itu, al-Khairat menekankan pentingnya pemahaman keagaman yang mendalam dan komprehensif. Hanya dengan cara ini, pemahaman dan praktik keagamaan formalistik dapat dikurangi. Dan, sekaligus dapat mengatasi ekspresi keagamaan oleh kalangan umat beragama secara kekerasan yang bertentangan dengan al-silm (kedamaian) dan al-shulh (perdamaian).

Dengan sikap keagamaan tersebut, tidak heran kalau haul merupakan bagian integral dari tradisi al-Khairat. Pendekatan dan pemahaman keagamaannya jelas bukan model Salafi ketat yang meningkat kembali belakangan ini, yang tidak menyisakan ruang bagi haul atau berbagai tradisi dan praktik keagamaan yang tidak ada pada masa kaum salafi-sahabat Nabi Muhammad dan tabi'in.

Dan, semua ini bagi pemikiran dan gerakan salafi masa lampau dan sekarang, tidak lain hanyalah bid'ah dhalalah yang berujung pada neraka. Haul adalah distingtif bagi Islam Indonesia. Tradisi ini sulit ditemukan pada masyarakat-masyarakat Muslim lain di dunia Islam. Namun, memandang haul sebagai bid'ah dhalalah belaka adalah simplistis; haul merupakan momen mengenang figur yang telah memberikan kontribusi penting bagi kemajuan umat dan Islam, bukan sebagai praktik kultus individu.

Lebih daripada itu, haul merupakan refleksi religi-sosio-antropologis. Di sini bisa disaksikan ghirah keagamaan puluhan ribu umat, yang datang dari berbagai pelosok melintasi jarak dan waktu. Haul sudah menjadi kesempatan, baik bagi ekspresi syi'ar Islam dan kesetiaan umat kepada tokoh yang berjasa besar dalam kehidupan keagamaan mereka. Haul 'guru tua' dengan demikian memiliki maknanya tersendiri yang tidak bisa diabaikan.

Haul dan revisitasi 'guru tua' mengingatkan kita pada perjuangan seorang penyiar Islam asal Hadhramaut yang tidak ingin hidup secara diasporik. Sebaliknya, menjadikan Palu-tegasnya Indonesia-sebagai Tanah Airnya, yang turut dia bela dan perjuangkan sejak masa kolonialisme Belanda dan Jepang sampai akhir hayatnya. Bangsa Indonesia sepatutnya memberikan penghargaan yang pantas dia terima; misalnya pemberian gelar 'pahlawan nasional' yang sudah bertahun-tahun diperjuangkan al-Khairat, tetapi belum terwujud. Negara yang besar adalah negara yang menghargai para pahlawan yang telah memperjuangkan eksistensi negara dengan segenap daya dan upaya.