Hari Demokrasi Internasional

Hari Demokrasi Internasional


Azyumardi Azra


TAK ragu lagi, salah satu tendensi dinamika politik pada masa pascaperang dingin adalah meningkatnya pertumbuhan demokrasi. Beberapa gelombang demokrasi sejak saat itu sambung-menyambung; menimbulkan perubahan politik dramatis dari otoritarianisme menjadi demokrasi di banyak negara. Dan, ini tidak terkecuali Indonesia, yang dengan berakhirnya kekuasaan presiden Soeharto pada Mei 1998 memunculkan reformasi politik berupa demokrasi.

 

Mengingat pertumbuhan demokrasi yang cepat dan fenomenal itu, tidak mengherankan jika PBB dalam Sidang Umum ke-62, 15 September 2008, menetapkan 15 September itu sebagai Hari Demokrasi Internasional pertama, yang selanjutnya dirayakan setiap tahunnya. Penetapan Hari Demokrasi Internasional ini berkaitan pula dengan peringatan 20 tahun Konferensi Internasional Pertama tentang "New or Restored Democracies" yang diselenggarakan di Manila, Filipina, pada 3-6 Juni 1988, yang memainkan peran penting dalam mendorong penguatan dan pertumbuhan demokrasi di berbagai negara.

 

Meski demokrasi tumbuh dengan sangat cepat, PBB menyadari bahwa demokrasi masih perlu dipromosikan dan dikonsolidasikan. Apalagi, masih ada kalangan masyarakat dunia yang mempersoalkan demokrasi, misalnya dengan menganggap demokrasi tidak relevan dengan kehidupan mereka atau demokrasi merupakan sistem politik asing yang berasal dari Barat yang tidak cocok dengan kehidupan mereka.

 

Merespons persepsi semacam itu, Resolusi Majelis Umum PBB No 62/7 yang menetapkan 15 September sebagai Hari Demokrasi Internasional menyatakan, ''Demokrasi adalah sebuah nilai universal berdasarkan keinginan rakyat yang diekspresikan secara bebas untuk menentukan sistem-sistem politik, ekonomi, sosial, dan kultural mereka sendiri serta partisipasi penuh dalam seluruh aspek kehidupan mereka.'' Lebih jauh, demokrasi-demokrasi memiliki ciri-ciri umum yang dimiliki bersama, tetapi pada saat yang sama juga tidak ada satu model demokrasi tertentu. Demokrasi juga tidak terkait dengan negara atau kawasan tertentu.

 

Dalam kaitan itu, Resolusi PBB itu menegaskan kembali UN Charter yang meletakkan berbagai prinsip dan tujuan yang relevan, yang mengakui bahwa HAM, ketentuan hukum, dan demokrasi saling berkaitan dan sama-sama memperkuat satu sama lain. Dan, tak kurang pentingnya adalah demokrasi, pembangunan, dan respek terhadap HAM dan kebebasan fundamental juga saling terkait dan memperkuat satu sama lain.

 

Saya beruntung ikut terlibat dalam sebuah 'percakapan meja bundar' menyambut Hari Demokrasi Internasional itu di New York pada 12 September 2008. Percakapan ini diselenggarakan International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), UNDP, dan UN DPA dengan menghadirkan sejumlah pembicara dan pembahas yang merupakan pemikir dan aktivis demokrasi terkemuka di berbagai penjuru dunia.

 

'Percakapan meja bundar' ini bertitik tolak dari kepedulian tentang kaitan antara demokrasi dan pembangunan, sebaliknya antara pembangunan dan demokrasi. Memang, dalam beberapa kasus, pertumbuhan demokrasi tidak selalu berjalan seiring dengan pembangunan ekonomi dan sosial. Bahkan, terlihat demokrasi yang memunculkan berbagai konsekuensi yang tidak terduga (unintended consequences) dan ekses-ekses telah menghambat pembangunan. Kasus ini terlihat jelas, misalnya, dalam pengalaman Indonesia di masa sepuluh tahun penerapan demokrasi multipartai yang mengakibatkan terjadinya 'pelambatan'' dalam pembangunan ekonomi dan sosial.

 

Sebaliknya, pembangunan ekonomi dan sosial yang berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat ternyata tidak selalu seiring dengan peningkatan demokrasi. Bahkan, terdapat gejala, pembangunan ekonomi dan sosial yang sukses ternyata diselenggarakan pemerintahan-pemerintahan yang tidak demokratis atau otoriter, yang tidak selalu memberikan ruang memadai bagi demokrasi dan kebebasan. Lagi-lagi, Indonesia pada masa pemerintahan presiden Soeharto menjadi contoh kasus yang baik di mana pembangunan ekonomi dan sosial yang pesat tidak disertai pertumbuhan demokrasi memadai.

 

Karena itu, idealnya pertumbuhan demokrasi haruslah simultan dengan pembangunan ekonomi dan sosial. Para pembicara dalam 'percakapan meja bundar' sepakat bahwa demokrasi haruslah tidak menjadi tujuan dalam dirinya sendiri; demokrasi hanyalah alat untuk meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Rakyat yang tidak sejahtera, miskin, dan menganggur membuat demokrasi tidak bisa tumbuh dan bekerja dengan baik.

 

Karena itu, berbagai cara haruslah dilakukan untuk menyempurnakan demokrasi sehingga tidak kontraproduktif bagi pembangunan ekonomi dan sosial. Penyempurnaan demokrasi itu bisa dalam bentuk penataan kembali kelembagaan demokrasi sehingga memungkinkan terciptanya pemerintahan efektif yang dapat menjalankan program-program pembangunan ekonomi dan sosial secara baik dan berkesinambungan demi kesejahteraan rakyat. Sekali lagi, dengan rakyat yang sejahtera, demokrasi bisa kuat dan efektif.

 

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 25 September 2008

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta