Hakikat Alam Semesta

Hakikat Alam Semesta

Asal-usul alam raya (universe) selalu menjadi topik perdebatan antara sains dan agama (Islam). Democritus (460-390 SM), salah seorang alumni terbaik dari lembaga pendidikan Lucippus, yang pernah didirikan Socrates, pertama kali mendeklarasikan bahwa alam semesta dalam bentuk planet seperti yang sangat kecil dan begitu kecilnya, sehingga tak bisa lagi dipercaya (indivisible).

Partikel terkecil itu diberi nama dengan atom yang hingga kini masih diabadikan dalam dunia sains. Dari atom inilah semua entitas terbentuk. Democritus kemudian dianggap sebagai peletak dasar matrialistik sains dan ia pun dikenal sebagai ‘materialistic scientist’. Sekian lama, teori atomnya mendapatkan perhatian dunia akademik hingga saat ini.

Teori lain dikemukakan oleh Thales (625-545 SM) yang mengemukakan, asal-usul alam semesta ini ialah air (water). Air adalah unsur utama yang paling dasar membentuk segala sesuatu, termasuk keseluruhan alam semesta ini. Tidak ada sesuatu apa pun yang terwujud dalam alam semesta ini yang tidak bersumber dari air. Proses terbentuknya  alam semesta yang terlihat ada dalam bentuk benda padat, benda cair, dan bentuk gas adalah perkembangan selanjutnya memulai proses berjuta-juta tahun lamanya.

Teori lagi muncul dari Anaxamenes yang diperkirakan wafat pada 548 M. Ia mendeklarasikan bahwa asal-usul paling dasar alam semesta ini ialah udara (air). Udara adalah prinsip materi dasar (material principle) dari alam semesta dan segala wujud materi yang ada. Melalui proses bejuta-juta tahun lamanya maka jadilah kenyataan alam semesta sekarang ini.

Teori lain muncul dari kalangan filosof memalui kontemplasi sangat mendalam dan menemukan teori bahwa asal-usul alam semesta bukan dalam bentuk materi, seperti atom, air, atau udara, tetapi berasal dari sesuatu yang non materi; bukan dari sebuah fenomena, tetapi dari noumena di balik segala bentuk materi yang mereka sebut dengan “the eternal mind”, semacam kecerdasan abadi yang di luar kemampuan kecerdasan manusia untuk memahami segalanya. Dari the eternal mind itu lahir segala materi dan fenomena. Alam semesta hanya merupakan projections dari the eternal mind itu.

Teori yang berakhir ini mengalami pengembangan lebih intensif. Berbagai pemikiran dan saintis tampaknya menjalin kolaborasi dengan teori-teori yang pernah dikonsepsikan oleh sejumlah agama tentang asal-usul alam semesta.

Kini, semakin banyak para saintis melakukan pengkajian mendalam terhadap ajaran luhur sejumlah agama tentang asal-usul kejadian alam semesta. Bukan rahasia lagi, kitab suci Alquran mungkin kitab suci paling sibuk keluar masuk di laboratorium para ilmuan untuk diuji postulat-postulat sains yang termuat di dalam kitab suci terakhir ini.

Lebih menarik lagi, para saintis bukan hanya menjelalahi karya-karya tafsir, filosof, dan saintis Muslim tertemuka, seperti al-Kindi, Jabir ibn Hayyan, Sairuddin al-Tusi, dan Ibn Rusyd, tetapi juga “mengajar” para teosofi Muslim terkemuka, seperti Ibn Arabi, al-Gazali, Jalaluddin Rumi, dll. Mereka juga melakukan studi perbandingan dengan kosep-konsep teosofi dalam agama Hindu, Taoisme, Bhuda, Yuhudi, dan Kristen.

Mereka sangat kaget karena apa yang ditemukan di dalam dunia teosofi dari berbagai agama memiliki persamaan dalam puncak-puncak kontemplasinya. Apa yang pernah dilukiskan oleh kalangan saintis yang memberi tempat pada epistimologi sufistik ditemukan perjumpaan dalam puncak-puncak penemuan para sufi.

Ibn Arabi salah satu di antara teosof Muslim paling banyak digandrungi saat ini. Ibn Arabi melukiskan bahwa alam semesta ini tidak lain adalah wujud-wujud relatif (nisbi). Wujud alam semesta ini tidak lain hanyalah manifestasi (tajalli) Allah SWT. Alam semesta dan alam-alam lain yang masuk kategori gaib, seperti alam malakut dan alam jabarut, keseluruhannya disebut sebagai ‘penampakan’ (al-Khalaq) dari Yang Maha Benar-benar sesungguhnya (al-Haq), yaitu Allah SWT. Dalam bahasa lain, alam semesta adalah wujud relatif (mumkin al-wujud) dan Allah SWT adalah wujud Mutlak (muthlaq al-wujud).

Pada level al-Haq, Ibn Arabi memperkenalkan dua jenis keberadaan, yaitu keberadaan ahadiyyah dan wahidiyyah. Yang pertama masuk katagori sirr al-asrar (The Secret of the Secret) dan yang kedua dikategorikan dengan beberapa istilah dengan satu maksud, yaitu pemilik al-Asma’ al-Husna, Entitas permanen (al-A’yan al-Tsabitah), al-Nufus al-Rahman, al-Wahidiyyah, dll.

Dalam agama Hindu, keberadaan pertama bisa diistilahkan dengan Brahma Nirguna dan yang kedua Brahma Saguna. Dalam teosofi Yahudi, Kabbalah, yang pertama disebut Ain Sof dan yang kedua disebut Sefirot. Dalam dunia Kristen yang pertama sering diperkenalkan dengan istilah Impersomal God dan yang kedua dengan Personal God.

Sepadan dengan Taoisme, yang pertama disebut Yan dan yang kedua disebut Yin. Dalam era dunia iptek semakin canggih, pengembaraan puncak para saintis dan puncak-puncak ma’rifah/irfan dalam agama semakin mendekat satu sama lain. Kita menunggu perkembangan sains akan semakin berduplikasi dengan puncak-puncak pernyataan kitab suci.

Tulisan ini adalah pengantar untuk sebuah artikel bersambung yang secara khusus akan dimuat di edisi “Dialog Jumat”, Harian Republika. Disarankan bagi para pembaca yang mungkin belum jelas makna sejumlah istilah dalam artikel ini untuk membuka kembal artikel-artikel terdahulu penulisan hanya di Harian Republika. Tulisan ini direncanakan menjadi sebuah buku yang berjudul “Hakekat Tuhan, Alam, dan Manusia: Perspektif Sains dan Islam”.

Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Alquran Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Dialog Jumat Republika, 16 Agustus 2019. (lrf/mf)