Hakikat Alam Semesta (4): Udara?

Hakikat Alam Semesta (4): Udara?

Berbagai macam pendapat para sains tentang asal-usul dan hakekat alam semesta. Dalam artikel terdahulu sudah dijelaskan pendapat Demokrasitus (460-390 SM) yang menggambarkan asal-usul alam semesta adalah atom, sebuah makhluk terkecil yang tak dapat dipisahkan atau diurai lagi dan itulah yang merupakan suubsatnsi dan asal-usul alam semesta termasuk manusia.

Pandapat lain muncul dari filosofi Yunani juga, yaitu Thales (625-545 SM), yang mengatakan asal-usul alam semesta ini bukan benda padat, tetapi dari air. Pendapat lain dari kalangan filosof Yunani juga, yaitu Anaximenes (548 SM). Ia seorang filsuf yang seasal dengan Thales, dari Kota Miletos. Ia juga semasa dan seasal dengan filosof terkenal lainnya, yaitu Anaximandros. Walaupun ia lebih muda dari keduanya, ia lebih populer di dalam sejarah filosof Yunani.

Merupakan Anaximenes, asal-usul dan elemen utama alam semesta ialah udara (air). Pembentukan alam semesta, menurut dia, ialah memulai proses pemadatan dan pengenceran udara yang menbentuk air, tanah, batu, dll. Kritikan Anaximenes terhadap gurunya, Thales, yang mengatakan asal-usul alam semesta ialah air, karena air tidak mungkin terdapat di dalam api. Sedangkan, udara merupakan zat yang bisa ditemukan di dalam semua hal, seperti air, api, manusia, dan benda-benda lainnya.

Anaximenes beranggapan bahwa udara adalah prinsip dasar segala sesuatu. Udara adalah zat yang menyebabkan seluruh benda muncul, telah muncul, atau akan muncul sebagai bentuk lain. Perubahan-perubahan bisa terjadi karena segalanya melalui proses dengan mengikuti prinsip “pemadatan dan pengenceran” (condensation and rarefaction).

Bila udara bertambah kepadatannya maka muncullah berturut-turut angina, air, tanah dan kemudian batu. Sebaiknya, bila udara mengalami pengenceran, yang timbul adalah api. Proses pemadatan dan penceran, yang timbul adalah api. Proses pemadatan dan penceran tersebut meliputi seluruh kejadian alam, sebagai mana air dapat berubah menjadi es dan uap, dan bagaimana seluruh subtansi lain dibentuk dari kombinasi perubahan udara.

Selanjutnya, menurut Anaximenes, bumi ini berbentuk datar, luas, dan tipis, hampir seperti sebuah meja. bumi dikatakan melayang di udara. Benda-benda langit, seperti bulan, bintang, dan matahari, juga melayang di udara dan mengelilingi bumi. Benda-benda langit tersebut merupakan api yang berada di langit, yang muncul karena pernapasan basah dari bumi.

Bintang-bintang tidak memproduksi panas karena jaraknya yang jauh dari bumi. ketika bintang, bulan, dan matahari tidak terlibat pada waktu malam, itu disebabkan mereka tersembunyi di belakang bagian-bagian tinggi dari bumi ketika mereka mengitari bumi. kemudain, awan-awan, hujan, salju, dan fenomena alam lainnya terjadi karena pemadatan udara.

Di dalam Alquran tidak dikemukan ayat yang menegakan udara sebagai hakikat atau asal-usul alam semesta. Penyebutan udara, yang dalam bahasa Arab biasa disebut hawa, atsir, jaw, sima’, madhhar kharijiy, nigmah, dan beberapa istilah spesial lainnya. Di dalam ayat disebutkan kata jaw bahwa: “Tidakkan mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas. Tidaklah ada yang menahannya selain dari Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman”. (QS al-Nahl (17): 79).

Sedangkan, dalam kata hawa ialah: “Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain dari pada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman”. (QS al-Nuhl (17):79). Kedua ayat tersebut hanya menyebutkan udara sebagai faktor penting dalam kehidupan manusia dan alam semesta tetapi tidak menegaskan keduanya menjadi penentu di dalam merealisasikan segenap kehidupan di dalam semesta.

Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Alquran Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Dialog Jumat Republika, 13 September 2019. (lrf/mf)