Haji di Masa Silam: dari Kolera hingga Campur Tangan Kolonial

Haji di Masa Silam: dari Kolera hingga Campur Tangan Kolonial

Ciputat, BERITA UIN Online— Perjalanan haji yang dilakukan masyarakat Muslim tanah air sejak berabad lalu dipenuhi dinamika yang mewarnai pelaksanaan salah satu rukun Islam ini. Mulai dari pandemi Kolera yang memakan korban puluhan ribu jiwa hingga campur tangan pemerintah kolonial dalam mengatur dan mengawasi ibadah ini. Realitas haji demikian dinilai perlu dipertimbangkan para cendekia Muslim.

Demikian benang merah diskusi Webinar Fakultas Ushuluddin bertopik Haji dan Pandemi: Perspektif Sejarah dan Antropologi yang disampaikan Dosen Fakultas Ushuluddin Dadi Darmadi MA, Selasa (11/8/2020). Webinar edisi ke-10 yang dibuka Dekan Fakultas Ushuluddin Dr. Yusuf Rahman ini diikuti puluhan akademisi-peneliti lintas lembaga dan masyarakat.

Dadi menuturkan, perjalanan haji di abad 18 hingga awal abad 20 M membutuhkan perjuangan luar biasa. Selain harus melakukan perjalanan jauh dan mengeluarkan biaya mahal, para jamaah haji berhadapan dengan ancaman kejahatan hingga wabah penyakit.

Jauhnya perjalanan, jelasnya, dimulai saat orang yang berhaji harus melakukan perjalanan dari kampung halaman ke pelabuhan khusus dimana kapal-kapal lintas negara berlabuh. Diantaranya Banten, Cirebon, dan Surabaya.

Selanjutnya, mereka melakukan perjalanan dan transit di banyak pelabuhan internasional masa itu dengan jalur tempuh perairan tanah air ke India selama berbulan-bulan. Setelah transit di India, mereka melanjutkan perjalanan menuju Teluk Aden Yaman, melalui Eritria, melewati Laut Merah sebelum kemudian menjangkau tanah Hijaz di perairan Jeddah.

Kapal yang mereka tumpangi, sambungnya, sangat jarang menyediakan fasilitas perjalanan yang nyaman. Ali-alih begitu, di kapal laut yang sebagian besar kapal dagang, para jamaah haji harus bertumpuk dan berbagi tempat dengan komoditas dagang.

“Sangat memilukan. Hanya bisa rebahan di sela-sela. Tidak ada tempat duduk dan tidur yang nyaman. Kadang harus di pojokan karena kehabisan tempat,” tuturnya.

Kriminalitas juga tak jarang membayangi para jamaah sehingga menyebabkan mereka kehabisan perbekalan dan terlantar di negeri jauh. Karena itu tak jarang muncul istilah ‘haji miskin’ merunut jamaah yang kehabisan bekal atau ongkosnya hilang tercuri.

Namun ancaman lain yang sangat serius adalah penyakit dan berbagai resiko kesehatan.

Berbagai catatan penjelajah Eropa mendeskripsikan buruknya kondisi kesehatan para jamaah selama melakukan perjalanan haji. Lady Isabel Burton (1831-1896 M, seorang penulis dan penjelajah Eropa sekaligus istri diplomat Inggris Sir Richard Francis Burton melaporkan buruknya kesehatan para jamaah sepanjang perjalanan mereka.

“Orang-orang dari  berbagai ras berbeda dikemas seperti ikan sarden. Menghabiskan waktu seharian penuh untuk mengobati disentri dan demam, mabuk laut, kaki penuh luka, cacingan, dan penyakit yang jauh dari yang diperdebatkan konferensi internasional. Mereka yang meninggal tidak mati karena penyakit. Mereka mati karen hama dan kesengsaraan,” ucap Isabel seperti dikutip Dadi.

 

Pandemi Kolera

Salahsatu pandemi yang mengancam serius para jamaah haji adalah kolera. Penyakit infeksi usus akibat serangan bakteri akibat lingkungan tak sehat, sebut Dadi, menjadi salahsatu penyakit yang memakan korban ribuan jamaah haji dengan terlebih dulu menyerang saluran pencernaan dan menyebabkan mereka alami diare hebat hingga merenggut nyawa.

“Jadi pandemic yang hebat di kisaran abad 18-19 itu yang sampai berkali-kali dan hebat itu adalah kolera. Sebuah penyakit infeksi yang mengakibatkan orang alami diare hebat hingga kehilangan cairan. Dan pada masa itu gak ada obatnya,” katanya.

Pandemic kolera, ungkap Dadi, terjadi tidak dalam satu kali. Pandemic ini berlasung berkali-kali sehingga memakan ribuan korban jiwa. Sanitasi sepanjang perjalanan dan kawasan India sebagai daerah transit jamaah menjadikan jamaah haji sebagai kelompok sasaran penyebaran penyakit yang ditularkan bakteri vibria cholera ini.

Tidak hanya menjadi sasaran sebaran kolera, jamaah haji juga menjadi bagian dari persebaran penyakit ini ke berbagai kawasan lain yang mereka singgahi. “Pandemic bahkan menyebar ke Eropa melalui jamaah haji. Hingga menjangkau Rusia. Makanya ada anggapan penyakit ini nempel di para jamaah,” ceritanya.

Hebatnya pandemic kolera, sambungnya mengutip keterangan sejarawan dan arsip otoritas masa itu, menyebabkan tak kurang dari 30 ribu jamaah haji meninggal dari totoal 90-an ribu orang jamaah. Penyakit ini selalu menjangkau banyak korban di musim haji.

“Ditotal-total, menurut catatan para sejarawan, wabah kolera ini  selalu pada musim haji dan terjadi tak kurang dari 27 kali dengan memakan banyak korban,” terangnya.

 

Campur Tangan Pemerintah Kolonial

Banyaknya jamaah haji yang menjadi korban sekaligus perantara persebaran penyakit ke masyarakat lain, tuturnya, mendorong para imperialis Barat termasuk Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda campur tangan dalam pengelolaan haji. “Terjadi tak kurang dari 27 kali dengan memakan banyak korban. Inilah yang membuat kekuatan internasional imperalis Eropa masuk ke dalam haji,” tegasnya.

Para imperalis Barat, termasuk Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, sebutnya, sebetulnya tidak mau terlalu mencampuri aktifitas haji. Sebagai ritual keagamaan menyangkut masyarakat jajahan, imperialis tidak terlalu berkepentingan dan mencampuri urusan keagamaan secara mendalam.

Namun karena resiko penyakit yang turut disebarkan para jamaah haji, mau tak mau pemerintahan kolonial Barat juga merasa perlu ikut campur. “Perjalanan haji dianggap mengandung bahaya dan membahayakan,” katanya.

Campur tangan inilah, tuturnya, mendorong pemerintahan Kolonial Hindia melahirkan kebijakan ketat soal haji namun kemudian terus diadopsi dan dikembangkan di masa kini. Diantaranya pembatasan jumlah jamaah sesuai kapasitas sarana transportasi, jaminan biaya perjalanan haji, vaksinasi, hingga karantina di kawasan tertentu seperti Pulau Onrust setelah mereka kembali ke tanah air.

Keterlibatan demikian, lanjutnya, memberi pengecualian pada pendapat umum bahwa kebijakan kolonial netral soal agama. “Dalam kasus ibadah haji, melihat catatan-catatan mereka, pemerintah kolonial masa itu kenyataannya senantiasa memperhatikan dan mengawasi haji,” jelasnya.

Tercatat Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang pertama membangun konsulat haji pertama di Jeddah. Selain itu, pemerintahan ini yang pertama membangun bank bagi kepentingan jamaah haji tanah air itu, yakni Saudi Hollandi Bank.  Bank yang dibangun tahun 1926 sebagai cabang Netherlands Trading Society didirikan untuk melayani para jamaah haji tanah air. Kini, bank bersalin rupa menjadi Alawwal Bank dengan total aset tak kurang dari 28 Miliar Dolar AS.

Merujuk pembacaan sejarah dari sudut pandang antropologi atas berbagai arsip perjalanan haji masa silam, Dadi melihat pentingnya perjalanan ibadah haji untuk diberikan tata kelola khusus. Terlebih di era pandemik. Tingginya ketertarikan masyarakat Muslim dan terbatasnya kuota haji, bahkan kebijakan menutup tanah Haramayn di era pandemi perlu diimbangi sikap bijak otoritas dan pemikiran mendalam ulama Islam dalam melahirkan solusi teologis atas pelaksanaannya. (zm)