Haji dan Kesalehan Transformatif

Haji dan Kesalehan Transformatif

Berhaji merupakan proses pendidikan dan pembentukan kepribadian mulia, terutama pascahaji. Dengan kata lain, ibadah haji harus membuahkan tranformasi, tidak hanya berupa kesalehan personal, tetapi juga kesalehan sosial dan kesalehan transformatif.

Tidak ada ibadah yang paling sarat dimensi dan pelajaran sejarah haji. Melalui manasik haji, Islam mengajak jamaah haji melakukan refleksi histori, belajar melintasi dan merenungi peristiwa masa lalu.

Refleksi historis itu dilakukan dengan mengenal sejarah Ka’bah, Masjidil Haram, Sumur Zamzam, maqam Ibrahim, mas’a (tempat sa’i antara Bukit Shafa dan Marwa), Padang Arafah, Jabal Rahmah, Muzdalifah, Mina, Masjid Tan’im, Masjid Ji’ranah, dan sebagainya.

Selain itu, pendidikan sejarah yang diintegrasikan dalam haji juga berkaitan erat dengan sejarah sosial kemanusiaan, yaitu sejarah pahlawan kemanusiaan yang terlibat langsung dalam pelaksanaan ibadah haji.

Mereka adalah Nabi Adam AS dan istrinya (Hawa’), Nabi Ibrahim AS, Hajar (istrinya), Nabi Ismail AS, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, serta sejarah bangsa Quraisy dan Arab pada umumnya.

Mengapa eksplorasi dan aktualisasi nilai historis dari ibadah haji sangat penting? Karena, menurut Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Badr dalam bukunya, Maqashid al-Hajj, ada 15 poin penting tujuan ibadah haji. Yang utama adalah aktualisasi tauhid.

Dalam arti meneguhkan keyakinan terhadap keesaan Allah SWT sekaligus merajut dan mengokohkan tauhid (kesatuan dan persatuan) kemanusiaan, meskipun berbeda bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan bahasa.

Melalui haji, dengan menapaktilasi jalan kenabian, semua manusia didasarkan pentingnya bertauhid ketuhanan (hanya beribadah dan memohon pertolongan kepada Allah, QS al-Fatihah [1]: 5) dan bertauhid kemanusiaan.

Karena semua umat manusia memiliki ‘fitrah universal’ yang sama, yakni bertauhid dan bersatu di bawah edukasi dan supervisi para nabi dan rasul yang pernah diutus Allah kepada mereka pada zamannya masing-masing.

Dengan  kata lain, nilai-nilai pendidikan sejarah yang terintergrasi dalam manasik haji merupakan strategi efektif untuk menumbuhkan kesadaran ketauhidan dan kemanusiaan universal dengan kesediaan menapaktilasi jalan kenabian.

Melalui kesadaran historis yang ditanamkan dalam ritualitas manasik haji, sesungguhnya Allah menghendaki manusia memiliki tujuan dan orientasi hidup yang jelas.

Berbaris tauhid ilmi (tauhid keilmuan bahwa Allah itu Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya) dan tauhid amali (tauhid sikap dan perilaku yang dimanifestasikan dalam beribadah, bermuamalah, dan berakhlak mulia), jamaah haji tidak hanya menapaktilasi jalan kenabian, tetapi juga berniat dengan ikhlas dan berkomitmen mengaktualisasikan kesalehan transformatif.

Kesalehan transfornmatif dimulai dari niat ikhlas. Ibadah haji idealnya membuahkan kesalehan transformatif, sehingga kemabrurannya terjaga pascahaji. Karena itu, haji harus dilakukan dengan superikhlas bukanlah sekedar lelah.

Keikhlasan berhaji itu dimulai dengan menanggalkan segala macem pakaian dan atribut keduniaan dengan menggunakan dua helai pakaian ihram tak berjahit.

Pakaian ihram yang serba putih bersih itu melambangkan ketulusan hati dan kejernihan pikiran untuk mendekati diri kepada Allah dengan kesediaan bertalbiyah, merepons panggilan ketaatan kepada Allah.

Berpakaian ihram dan bertalbiyah dapat ditranformasikan dalam kehidupan sosial dalam bentuk autentisitas kepribadian (jujur dan benar dalam perkataan dan tindakan tanpa pencitraan), kerendahan hati, kesetaraan, dan penegakan keadilan.

Tawaf (mengelilingi Ka’bah) merupakan simbolisasi dinamika keteraturan dan kedisplinan dalam menjalani kehidupan yang berporos tauhid. Kesalehan transformatif yang harus diaktualisasikan dari tawaf adalah reorientasi dikoneksikan dan disandarkan kepada Allah yang Maha Segala-Nya.

Dalam buku Min Madrasat al-Hajj dijelaskan tawaf mendidik hamba keluar dari zona nyaman menuju zona tauhid yang penuh dinamika dalam ketundukan, keteraturan, dan kedisiplinan meraih hidup mulia dan bahagia bersama Allah dan rasul-Nya.

Sa’i merupakan simbol perjuangan dan pengorbanan berbasis cinta suci dan kasih sayang dari seorang ibu (Hajar) dalam mencari ‘air kehidupan’ bagi anaknya yang sedang kehausan dan kelaparan.

Sa’i (usaha, bekerja, berkarya) harus dimulai dari shafa (ketulusan dan kejernihan hati) dengan mengerahkan segala daya upaya (lari dari Shafa ke Marwah berulang kali).

Sa’i mengajarkan kesalehan dalam mengoptimalkan etos kerja dan prestasi kinerja hingga mencapai level marwa (kepuasan hati, prestasi tinggi).

Air Zamzam yang memancar di dekat kaki bayi ismail itu merupakan bentuk apresiasi Allah atas usaha optimal tanpa mengenal lelah sekaligus memberikan marwa sepanjang masa dari seorang ibu yang menaruh harapan masa depan mulia bagi anaknya.

Bahkan, marwa berupa air zamzam merupakan satu-satunya mata air terbaik dan abadi yang dapat dinikmati oleh semua jamaah haji dan umrah. Etos Sa’i mendidik umat untuk berkarya hebat, berprestasi tinggi, dan dikenang sepanjang masa.

Wukuf di Arafah sarat dengan sejarah cinta yang bersemi kembali antara Adam dan Hawa setelah lama berpisah dan bertemu kembali di bukit kasih sayang (Jabal Rahmah), Wukuf di Arafah merupakan puncak ibadah haji.

Para tamu Allah itu diajak berdiam sejenak, melakukan refleksi, bermenung, dan bermuhasabah dengan memperbanyak zikir, doa, istighfar, dan ibadah lainya untuk mengenali, menyadari, dan mengadili diri sendiri sebelum diadili Allah kelak.

Pengadilan diri sendiri ini sangat penting sebagai proses menuju taqwa sejati, yaitu taqwa kepada Tuhan, bukan takut kepada atasan; takut mendapatkan siksa dan tidak masuk surga, bukan takut tidak meraih kekuasaan dan kenikmatan dunia.

Mabit (bermalam) di Muzdalifah dan Mina mengedukasi pentingnya perjuangan dan pengorbanan demi meraih cinta sejati dari Allah SWT, di samping membuktikan cinta kemanusiaan.

Kesalehan transformatif dari ritual mabit dan melempar jamrah di Mina merupakan aktualisasi keteladanan, totalitas kepasrahan dan cinta Ibrahim kepada Allah yang di manifestasikan dalam bentuk kesediaan mengorbankan putra terkasihnya.

Mina, representasi drama kehidupan yang mengajarkan cinta suci dan murni semata-mata karena Allah itu, merupaka kunci sukses perjuangan meraih masa depan. Karena itu, cinta dunia hanya akan menghinakan dan memperbudak manusia.

Maka, ibadah haji itu dijalani dengan spirit keikhlasan, ketaatan, kehusyuan, serta etos perjuangan dan pengorbanan agar membuahkan kesalehan sosial transformatif.

Di antara indikator kesalehan transformatif pascahaji yang dijelaskan Nabi SAW adalah mau berbagi dalam pengentasan kemiskinan dan menjaga tutur kata yang baik.

Selamat menjadi tamu Allah, semoga meraih haji mabrur.

Dr Muhbib Abd Wahab MA, Ketua Prodi Magister Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: REPUBLIKA, 8 Juli 2019. (lrf/mf)