Haji dan Ekologi

Haji dan Ekologi

Sukron Kamil

   

Belum lama ini, kita diguncang oleh berita sebagian media massa bahwa suhu bumi yang kita tempati ini semakin panas. Selama lima tahun ke depan, suhu tahunan bumi akan naik hingga 1,5 derajat celsius.

Pada 2016 dan 2020 saja, dinyatakan sebagai tahun terpanas dalam sejarah. Di Indonesia kenaikan suhu tertinggi terjadi di Kalimantan Timur yang dalam 16 tahun mencapai 0,95 derajat celsius.

Sebelumnya diberitakan media massa juga bahwa Jakarta terancam tenggelam. Dua puluh lima persen wilayahnya, terutama bagian utara, pada 2050 akan berubah menjadi lautan akibat banjir rob jika hal ini tidak ditangani dengan baik.

Semua terjadi karena pemanasan global akibat penggunaan energi fosil dan terkikisnya lahan hijau atau hutan yang mengakibatkan mencairnya es di kutub utara dan membuat permukaan laut menjadi naik.

 

Haji dan ekologi

Ibadah haji jika ditelaah secara mendalam ternyata memiliki banyak kaitan dengan visi Islam mengenai ekologi (ramah lingkungan hidup), relasinya dengan pembangunan ekonomi. Haji adalah ibadah yang mensyaratkan pelakunya kaya atau mampu (istitha’ah) secara ekonomi, selain harus aman di perjalanan.

Paling tidak harus mempunyai bekal materi atau uang untuk ongkos transportasi, tinggal selama haji di Makkah dan Madinah, dan juga ongkos pulang yang kini biayanya makin naik. Termasuk, harus cukup meninggalkan nafkah untuk keluarga yang ditinggal.

Namun, haji yang pelakunya akan dibalas dengan surga (derajat haji mabrur), hanyalah mereka yang menggunakan harta halal untuk berhaji. Bukan harta haram, hasil dari menzalimi orang lain dan alam semesta. Proses dalam mendapatkan harta yang tidak zalim terhadap sesama dan alam menentukan sah tidaknya haji.

Dalam haji --ibadah yang menyita banyak gerak tubuh dan badan yang prima dengan terpenuhinya nutrisi (kebutuhan pangan), tak bisa sah jika tidak melibatkan hati, yaitu niatikhlas. Ibadah haji dinilai tidak sah, kecuali berdasarkan motif hati karena Allah SWT, motif membesarkan Allah SWT semata, bukan motif dunia.

Misalnya ingin naik kelas sosial keagamaan, seperti ingin dipanggil haji. Haji juga --sebagaimana ibadah lainnya-- tidak akan mencapai derajat haji mabrur, kecuali melibatkan pikiran dan hati, yaitu dilakukan dengan penuh penghayatan hati atau rasa kehadiran Allah SWT (kedalaman spiritual), tidak sebagai ritual jasmaniah semata.

Hal ini sebagaimana dam atau denda haji dan juga berkurban bagi yang tidak haji dengan menyembelih kambing atau sapi. Yang sampai kepada Allah SWT bukanlah dagingnya, melainkan keikhlasan hati atau ketakwaan.

Salah satu tujuan haji juga adalah penanaman humanisme dan ekologi karena puncak haji adalah wukuf di Arafah. Wukuf untuk beribadah dan bergaul dengan sesama manusia.

Arafah adalah tempat Adam dan Hawa bertemu kembali, menemukan belahan jiwanya yang hilang untuk merajut kembali kasih di antara mereka. Maka, salah satu khutbah Nabi Muhammad SAW dalam haji pun adalah soal cinta kasih terhadap sesama manusia dengan keharusan umat Islam menjaga hak hidup orang lain, hak kekayaan (properti), dan hak harga diri orang lain terkait hati dan akalnya (hak kebebasan beragama dan intelektual).

Tidak cukup dengan itu. Saat seorang berniat haji dengan mengenakan pakaian ihram -pakaian serbaputih tanpa ada jahitan sebagai simbol hidup sederhana, tidak serakah-- maka salah satu larangan saat berhaji adalah memburu dan membunuh binatang liar dan halal dimakan.

Bukan hanya saat beribadah haji. Selama kaum Muslimin berada di Tanah Haram Makkah, tak dibolehkan untuk berburu binatang dan pohon-pohonnya tak boleh dipotong. Bahkan, rumputnya pun tak boleh dicabut.

Berdasarkan penjelasan di atas, haji menekankan mengenai keharusan pembangunan ekonomi (mengejar kekayaan materi) tidak hanya di dasarkan pada ilmu empiris dan rasional yang boleh jadi mendorong pada keserakahan, melainkan juga ilmu ‘irfani (ilmu limpahan dari Allah SWT atau disebut wahyu) yang basisnya hati.

Yang harus dikejar bukanlah kekayaan materi yang melimpah, tanpa dibarengi etika dengan meninggalkan hal-hal ilahiah atau tuntutan nurani. Namun, harus didasarkan pada humanisme dan ekologi.

Pembangunan ekonomi atau kesejahteraan materi manusia harus berjalan berdampingan dengan ekologi. Hal ini karena kata "ekonomi" berasal dari akar kata yang sama, sebagaimana tampak dalam larangan berburu dan memotong pohon dalam haji. Keduanya harus berjalan seiring, bukan berlawanan, dan pembangunan ekonomi harus melindungi ekologi.

Di sinilah pentingnya hidup sederhana, tidak serakah, sebagaimana pakaian ihram dalam haji. Hal ini karena alam tak mampu menyediakan dirinya untuk mereka yang serakah.

Dalam teori pembangunan yang kini dikenal sebagai pola pembangunan ekomi berbasis SDGs (Sustainable Development Goals), yaitu untuk pencapaian kesejahteraan bagi semua, yakni planet, people, prosperity, dan partnership.

Dalam bahasa lain, paradigma pembangunan yang sesuai pesan haji di atas adalah pembangunan yang integralistik. Sebab, pembangunan yang sebaliknya telah melahirkan bukan hanya kesenjangan sosial, melainkan juga bencana alam seperti banjir.

Kesenjangan sosial di sini bermakna kesenjangan pendapatan ekonomi di masyarakat, kesenjangan antar sektor, antar wilayah dan sub wilayah, antara desa dan kota, dan  kesenjangan pembangunan manusia. Bahkan, planet bumi (sumber daya alam) pun menjadi objek dari pembangunan yang tidak bertumpu pada sikap memberi keadilan pada alam.

Dalam bahasa Sayid Husein Nasr, pembangunan dengan paradigma non-integralistik membuat bumi diperlakukan oleh manusia modern seperti pelacur. Mereka mengambil manfaat dan kepuasan dari alam, tanpa rasa kewajiban dan tanggung jawab apa pun.

 Haji juga menekankan pembangunan dengan tidak berbasis antroposentrisme murni, tetapi juga ekosentrisme. Antroposentrisme adalah cara pandang yang melihat manusia sebagai pusat dari alam semesta dan hanya manusia yang mempunyai nilai.

Sedangkan, alam dan segala isinya sekadar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia semata. Manusia dianggap berada di luar, di atas, dan terpisah dari alam.

Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam, yang boleh melakukan apa saja terhadap alam. Maka yang terjadi adalah sikap dan perilaku eksploitatif, tanpa kepedulian. Menganggap alam beserta isinya sebagai entitas yang tak bernilai.

Berbeda dengan paradigma antroposentrisme yang dikembangkan antara lain oleh Arne Naess, ahli etika ekosentrisme asal Norwegia. Menurutnya, krisis lingkungan atau ekologi hanya bisa diselesaikan dengan hidup berbasis ekosentrisme atau biosentrisme, yaitu paham bahwa manusia mempunyai keharusan untuk menghormati alam beserta isinya.

Hal ini karena manusia bergantung pada alam dan bagian integral yang tak bisa terpisahkan dengan alam, yakni sebagai sesama makhluk hidup. Menurut paham ini, alam mempunyai nilai pada dirinya sendiri dan semua organisme adalah pusat kehidupan yang mempunyai tujuannya sendiri.

 

Resonansi Islam

Apa yang ditekankan haji terkait ekologi di atas sesungguhnya merupakan resonansi dari ajaran Islam mengenai Islam sebagai rahmatan lil alamin (sebagai rahmat bagi semesta). Dalam etika lingkungan hidup Islam, meskipun posisi manusia hubungannya dengan alam  (bumi dan tata surya lainnya) sebagai khalifah (penguasa yang diberi mandat oleh Tuhan), kekhalifahan yang dimaksud mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Karenanya, mereka tidak diperkenankan melakukan perusakan terhadap alam, meski dengan dalih pembangunan ekonomi. Hal ini karena dalam Islam, setiap perusakan terhadap alam merupakan perusakan terhadap diri sendiri (QS ar-Rum [30]: 41).

Dalam Islam juga, alam (tumbuhan dan hewan) dipandang sebagai umat, sebagaimana manusia, yang tidak boleh diperlakukan secara aniaya atau sewenang-wenang (QS al-An'am [6]: 38). Ayat ini menyuarakan demokrasi bumi.  Wallah a’lam.

 

Penulis adalah Guru Besar FAH UIN Jakarta. Artikel dimuat di Harian Republika, Jumat 7 Juli 2023.