Guru Besar, Motor Akademik, dan Sikap Rendah Hati

Guru Besar, Motor Akademik, dan Sikap Rendah Hati

Prof. Asep Saepudin Jahar MA Ph.D.

 

JUMAT 23 Juni 2023 kemarin, kabar bahagia kembali menyapa sivitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pasalnya, 12 dosen dari sejumlah fakultas/program studi ditetapkan Menteri Agama RI Gus Yaqut Cholil Qoumas sebagai Guru Besar dalam rumpun ilmu masing-masing.

12 dosen UIN Jakarta ini merupakan bagian dari 100 guru besar berbagai perguruan tinggi keagamaan se-Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Agama. Alhamdulillah dan dengan penuh kerendahan hati, melalui 12 dosen ini, UIN Jakarta menjadi satu dari beberapa perguruan tinggi keagamaan dengan jumlah dosen terbanyak yang ditetapkan sebagai guru besar.

Adapun 12 dosen yang ditetapkan jadi guru besar antara lain Dr. Imam Subchi MA, Dr. Sururin MA, Syamsul Rijal MA Ph.D., Dr. Desmadi Saharudin, Muh. Nadratuzzaman Ph.D, Dr. Ade Sofyan Mulazid MA, dan Dr. Fuad Thohari MA. Lalu, Dr. Kamarusdiana MH, Dr. Muhammad Maksum MA. Lalu, Dr. Abdul Halim MA, JM Muslimin Ph.D, dan Dr. Isnawati Rais MA.

Sebelumnya, beberapa dosen UIN Jakarta juga ditetapkan sebagai guru besar oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Mas Nadiem Makarim. Diantaranya Dr. Fadhilah Suralaga M.Si, Dr. Nur Inayah M.Si, dan Dr. Dzuriyatun Toyibah M.Si, Dr. Nurrokhim, dan Dr. Fauzan.

Selaku Rektor sekaligus bagian dari sivitas akademika UIN Jakarta, saya sangat berbahagia atas penetapan guru besar sejumlah dosen yang merupakan kolega akademik di kampus ini. Sebab pencapaian menjadi guru besar bukan perkara mudah. Ada banyak jalan berliku dan terjal yang harus mereka lalui untuk menjadi seorang guru besar.

Secara administratif-akademik misalnya, seorang dosen yang akan ditetapkan jadi guru besar harus memenuhi sejumlah prasyarat. PermenpanRB No 46 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Permenpan RB Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kredit misalnya mencatat sekurangnya empat syarat.

Keempatnya, berijazah Doktor (S3) atau sederajat, ijazah Doktor didapat paling singkat dalam tiga tahun untuk diajukan menjadi guru besar, memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah internasional bereputasi, dan berpengalaman mengajar minimal 10 tahun.

Sekilas, berbagai syarat ini begitu ringkas dan mudah. Namun percayalah di belakangnya berlangsung perjuangan yang tidak mudah. Karya ilmiah terpublikasi jurnal internasional misalnya, sudah pasti harus diawali dari kegiatan riset dengan memperhatikan prinsip-prinsip ilmiah yang ketat, termasuk kebutuhan pendanaan riset yang tidak sedikit.

Jika kegiatan riset sudah dilakukan, tidak berarti selesai begitu saja. Ia perlu membaca kembali hasil temuan, menganalisis data, untuk kemudian menuliskannya dalam sebentuk draft artikel yang tentu harus betul-betul mematuhi kaidah penulisan artikel jurnal ilmiah skala internasional. Kesabaran dan komitmen tinggi akan sangat dibutuhkan dalam proses ini.

Selain perjuangan demikian, dosen yang ditetapkan jadi guru besar juga harus disadari bahwa mereka juga adalah manusia biasa. Mereka bisa jadi merupakan kepala rumah tangga atau ibu rumah tangga bagi keluarga. Selain itu, mereka juga makhluk sosial yang perlu bersosialisasi di lingkungan masing-masing.

Dalam posisi demikian, mereka tentu saja harus memenuhi tanggungjawab manusiawinya sebagai bapak, ibu, kerabat, atau bagian dari masyarakatnya. Tanggungjawab yang tentu saja memaksa mereka harus berbagi peran, energi, dan waktu.

Karena itu, sekali lagi saya selalu berbahagia ketika mendengar ada kolega pengajar yang ditetapkan menjadi guru besar. Bahagia karena mereka berhasil berjuang hingga puncak dengan menaklukan aneka kesulitan yang dihadapi.

Namun, tentu saja saya berharap pencapaian akademik tertinggi yang mereka raih tidak berakhir sampai di situ. Secara formal, Guru besar merupakan karir tertinggi dalam dunia akademik seorang dosen, namun jabatan akademik bukan akhir perjalanan akademik seseorang. Posisi guru besar justru jadi titik awal perjalanan panjang sebagai akademisi.

Seorang guru besar memikul tanggungjawab menjadi motor dalam pengembangan akademik di lembaga pendidikan tempatnya berkarya. Ia harus aktif mendorong kajian keilmuan maupun riset-riset inovatif yang tentu saja selain bisa berdampak pada pengembangan keilmuan juga menghasilkan inovasi bagi rekayasa transformasi sosial masyarakatnya.

Dengan demikian, hal yang harus betul-betul difahami adalah ketika menjadi profesor bukan berarti ia menjadi popular man. Sebaliknya ia harus menjadi orang yang berdedikasi dalam memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu dan pengabdian kepada masyarakat.

Selain itu, seorang guru besar dituntut menjadi figur teladan bagi para kolega akademik dengan tetap bersikap rendah hati namun tetap kritis atas perkembangan ilmu maupun kiprah sosial. Ini misalnya direalisasikan dengan keterbukaan seorang profesor untuk selalu berkomunikasi dengan para mahasiswa dalam membantu studi mereka atau memperkaya riset sesama kolega akademik/pengajar.

Cerita-cerita di masa lalu, bahwa ketika seorang dosen sudah menjadi guru besar susah untuk diajak berkomunikasi atau sulit dikontak oleh mahasiswa perlu diputus. Menjadi guru besar, seorang dosen harus menjadi pribadi yang humble, berbaur, dan selalu bersedia membantu mahasiswa dan kolega dalam pengembangan akademik.

Akhirul kalam, ketika seorang dosen ditetapkan menjadi guru besar, marilah disyukuri dengan semangat akademik tinggi melalui aktifitas pengembangan keilmuan maupun kiprah sosial lembaga pendidikan tingginya. Di saat yang sama, jabatan guru besar yang diraih seorang dosen harus terus diimbangi dengan kerendahan hati dalam membantu para kolega akademik, sesama dosen maupun mahasiswa, atau bahkan masyarakat luas. Wassalam.

  Artikel dimuat Koran SINDO, Selasa 27 Juni 2023.