Guru Besar Hanya Nama

Guru Besar Hanya Nama

Mohammad Nur Rianto Al-Arif

Pasca-terbitnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1/2023, banyak perguruan tinggi panen guru besar atau profesor. Para pengusul segera mengusulkan guru besar untuk menghindari angka kredit yang selama ini telah dikumpulkan hangus apabila telat mengusulkan pada pertengahan 2023.

Namun, apa sesungguhnya hakikat dari guru besar itu sendiri? Apakah sekadar jabatan fungsional akademik atau ada tanggung jawab yang jauh lebih besar? Apakah jabatan guru besar merupakan akhir dari suatu perjalanan atau awal bagi perjalanan akademik yang baru?

Bagi seorang dosen, tentu guru besar harus menjadi salah satu target yang dikejar. Menurut UU Nomor 14/2005, guru besar atau profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang punya wewenang membimbing calon doktor.

Keberadaan guru besar sangat penting bagi sebuah institusi pendidikan tinggi karena dapat menegaskan kematangan akademik dosen pada suatu bidang keilmuan yang ditekuni. Kehadiran guru besar diharapkan dapat mendorong peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran. Profesor harus bisa memberikan keteladanan atmosfer akademik yang baik di program studi dan dalam proses bimbingan ke mahasiswa, baik di jenjang S-1, S-2, maupun S-3.

 

Fungsi guru besar

Salah satu fungsi seorang profesor ialah sebagai pemimpin akademik yang arif bagi masyarakat. Jabatan yang diemban lebih dari sekadar pembawa bendera keilmuannya, karena ia harus mampu pula jadi panutan masyarakat akademik dalam membangun, menegakkan, dan menjaga nilai serta marwah akademik. Seorang profesor harus mampu memberikan suatu analisis kritis dan sumber jawaban atas berbagai masalah bangsa, sesuai otorisasi keilmuannya.

Namun sayang, sebagian guru besar belum memahami tanggung jawab akademik yang diembannya. Masih ada sebagian profesor yang mengandalkan asistennya untuk mengajar di kelas, sementara ia sibuk ”ngamen dan cari proyek” ke mana-mana. Akhirnya, mahasiswa tak mendapatkan ilmu dari pakar pada bidang keilmuan itu.

Pada proses bimbingan tugas akhir, baik di tingkat sarjana maupun pascasarjana, masih ada profesor yang membimbing seperlunya saja. Bahkan jika diberi tandem dosen pembimbing lain, ia akan bergantung pada dosen pembimbing lain dan akan langsung menyetujui draf yang diajukan mahasiswa ketika dosen lain sudah menyetujui.

Masalah ini muncul karena sebagian profesor itu menjadikan jabatan akademik guru besar hanya untuk mengincar tunjangan kehormatan guru besar sebesar dua kali gaji pokok. Niat awal yang kurang tepat ini menjadikan banyak kandidat guru besar menghalalkan segala cara untuk dapat meraih gelar guru besar.

Salah satunya dengan terlibat praktik perjokian dalam pembuatan karya ilmiah, seperti pernah diliput Kompas. Modusnya bisa dengan membentuk tim khusus untuk membantu kandidat menyiapkan artikel ilmiah yang akan dipergunakan sebagai syarat pengusulan guru besar tanpa adanya kontribusi aktif dari si kandidat.

Modus lain, menggunakan jasa calo artikel ilmiah untuk mencarikan jurnal ilmiah yang sesuai persyaratan ataupun menuliskan dari nol artikel ilmiah yang dibutuhkan. Dampak negatif praktik ini: tak semua guru besar memiliki kualifikasi yang sesuai di bidang keilmuan mereka.

Selain mengincar tunjangan kehormatan, sebagian guru besar menganggap setelah turun surat keputusan (SK) guru besar, perjalanan akademik telah berakhir. Karena itu, setelah SK diterima, berhenti pula produksi karya ilmiah profesor bersangkutan.

Memang pemerintah telah mengeluarkan aturan pemantauan kewajiban khusus guru besar. Namun, karena sifatnya hanya administrasi, sebagian guru besar yang tak produktif ”nebeng” nama pada karya ilmiah dosen yunior. Padahal, mestinya seorang guru besar tetap aktif memproduksi pemikiran dan penelitian, baik yang akan diterbitkan di jurnal ilmiah maupun tulisan populer.

Guru besar bukan akhir dari perjalanan akademik seorang dosen. Seorang guru besar harus mampu memberikan inspirasi dan ide baru kepada dunia akademis dan masyarakat. Mampu mendampingi dosen muda menghasilkan penelitian berkualitas sehingga bisa dipublikasikan di jurnal bereputasi, dan yang paling utama ilmunya bermanfaat bagi masyarakat. Jangan sampai muncul lagi kritik: GBHN (Guru Besar Hanya Nama).

 

Penulis adalah Guru Besar FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat di kolom analisis Kompas, Kamis 13 Maret 2024.