Gizi Anak Indonesia

Gizi Anak Indonesia

Setiap tanggal 25 Januari diperingati sebagai hari gizi dan makanan. Menurut data, gizi anak Indonesia masih memprihatinkan. Bappenas mencatat ada 9 juta anak yang mengalami stunting. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita. Kondisi ini disebabkan kekurangan asupan gizi, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan, mulai dari janin hingga anak 2 tahun (Erwanti, 2018).

Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Soedjatmiko mengatakan sebanyak 20 persen bayi baru lahir di Indonesia terlahir pendek. Jika bayi lahir pendek, maka berat lahirnya kurang (Tasy, 2018).

Dalam berita yang dimuat dalam laman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, anak-anak memiliki tiga masalah utama kurang gizi, yakni kekurangan zat besi, vitamin A, dan yodium. Ada satu lagi yang harus dipantau yakni kekurangan vitamin D.

Menurut Lily Arsanti Lestari, Dosen Gizi Kesehatan UGM, faktor seperti akses transportasi yang sangat susah (infrastruktur) serta budaya makan menjadi faktor penyebab gizi buruk di Asmat (Alwi, 2018). Pola makan dan ketersediaan pangan juga menjadi faktor penyebabnya gizi buruk di Indonesia.

Sejak dalam Kandungan

Gizi anak dipengaruhi sejak ia dalam kandungan, yaitu kualitas makanan, minuman, dan gaya hidup sang ibu. Misal, ibu hamil yang merokok memiliki resiko tinggi terhadap kesehatan janin. Ibu hamil bahkan tidak bisa makan dan minum sembarangan, semisal dalam mengkonsumsi obat-obat tertentu. Pemahaman seorang ibu tentang hal ini amat penting untuk mengurangi resiko kekurangan gizi bahkan yang lebih fatal lagi.

Setiap bayi akan baik jika memperoleh Air Susu Ibu (ASI) selama dua tahun. Cocok bagi ibu nonpekerja kantoran. Kondisi ideal ini sulit mengingat banyak ibu saat ini sebagai pekerja kantoran. Karena itu, upaya-upaya khusus diperlukan agar bayi memperoleh ASI selama masa ideal tersebut di satu sisi, dan si ibu pun tetap dapat bekerja.

Sampai pada masa sekolah atau masa enam tahun, orangtua memiliki peran vital dalam pemenuhan gizi anak.

Asupan makanan dan minuman anak tergantung penuh kepada pilihan kedua orangtua. Demikian juga kebiasaan orangtua. Contoh, keluarga dengan ayah atau ibu yang merokok akan memengaruhi kesehatan anak-anak. Berikut adalah strategi pemenuhan gizi anak usia sekolah.

Peran Keluarga dan Sekolah

Pertama, membawa bekal makanan dari rumah. Makanan yang dimasak di rumah bisa lebih sehat, higienis, bahkan murah. Anak-anak biasanya lebih menyukai masakan orangtuanya, atau masakan rumah. Orangtua berperan penting dalam penerapan budaya ini. Orangtua bisa memilih menu makanan yang bergizi, tidak harus mahal. Memang tidak mudah dan ringan karena harus memasak dan menyiapkannya sejak pagi hari. Menarik, beberapa sekolah di sini mewajibkan siswa membawa bekal makanan dari rumah.

Tradisi sarapan sebelum ke sekolah juga dimulai dari rumah. Sarapan penting untuk bekal fisik anak-anak agar siap dan konsentrasi dalam belajar. Kecuali itu, bagi orangtua yang sibuk, saat sarapan merupakan waktu yang baik untuk menjalin komunikasi dengan anak-anak.

Kedua, kantin sekolah sebagai sumber makanan yang sehat, bergizi, tetapi murah atau terjangkau. Orangtua yang tidak bisa membekali makanan rumahan digantikan perannya oleh kantin. Kantin yang bersih dan menjual makanan yang sehat dan bergizi membuat siswa, orangtua, dan warga sekolah nyaman.

Kantin sekolah tidak hanya sumber pemasukan keuangan sekolah, tetapi sumber kesehatan dan kecerdasan anak. Dia bukan hanya pembentuk nilai kejujuran (kantin kejujuran) bagi siswa, tetapi juga pembentuk pertumbuhan fisik siswa yang sehat dan prima.

Di kantin sekolah tidak layak dijual makanan dan minuman yang tidak menyehatkan apalagi tidak higienis. Misal, di sekolah tidak dijual rokok meskipun beberapa gurunya merokok. Kepala sekolah dan guru idealnya memberi masukan makanan dan minuman apa saja yang bisa dijual di kantin. Makanan bukan hanya soal mahal atau murah tetapi bergizi, menyehatkan, dan higienis.

Ketiga, jajanan siswa di depan sekolah memengaruhi gizi anak. Kualitas makanan dan minuman relatif tidak terkontrol oleh sekolah. Lokasi sekolah di pinggir jalan raya berdampak buruk. Makanan terpapar asap kendaraan dan debu jalanan. Makanan yang mengandung micin dan pewarna buatan akan berbahaya bagi kesehatan anak dalam jangka waktu lama.

Pedagang di sekitar sekolah sebaiknya hanya menjual makanan dan minuman yang sehat. Berdagang bukan semata mencari untung tetapi bagaimana memberi kontribusi bagi tumbuh kembang anak Indonesia yang sehat dan bergizi baik. Kepala sekolah melakukan dialog dengan para pedagang agar memahami tujuan mulia ini. Karena tugas pendidikan merupakan tanggung jawab bersama setiap lapisan masyarakat.

Keempat, budaya minum susu di sekolah. Banyak anak-anak yang tidak biasa minum susu karena keterbatasan ekonomi orangtua atau kebiasaan. Padahal susu penting bagi masa pertumbuhan anak. Sekolah bisa menyediakan susu di pagi hari sebelum siswa belajar. Jika tidak mungkin lima hari, bisa dua atau tiga hari dalam seminggu.

Sumber dananya bisa dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Komite Sekolah (orangtua yang mampu), kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri, masyarakat, atau dari para guru. Sasaran program ini adalah sekolah-sekolah yang orangtuanya mayoritas miskin. Keluarga yang pola dan menu makannya monoton atau tidak bergizi, dan tidak mampu membeli susu. Data ini seharusnya ada di dinas pendidikan, dinas kesehatan, dan dinas sosial.

Jika tumbuh kembang otak dan kecerdasan dipengaruhi oleh buku dan bacaan, maka makanan dan minuman yang bergizi adalah kunci lahirnya anak-anak yang bagus, sehat, dan kuat. Anak-anak yang sehat dan cerdas adalah jaminan bagi kemajuan bangsa dan negara di masa mendatang.

Dr Jejen Musfah MA, Kepala Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Koran SINDO, 23 Januari 2019.(lrf/mf)