Garis Batas

Garis Batas

Setiap pribadi ingin mendekat, melebur, dan saling menyapa dengan yang lain.Tapi setiap pribadi juga selalu membuat batas dan sewaktu-waktu menarik diri masuk ke zona nyaman yang dibawa ke mana-mana untuk mengambil jarak dari yang lain.

Jarak, identitas, dan garis batas tak pernah lepas dari seseorang. Garis batas itu ada yang tampak dan ada yang abstrak. Garis batas itu bisa jadi jendela dan jembatan penghubung, tetapi bisa juga jadi sumber konflik. Begitu beragam dan berlapis- lapis garis batas itu seperti diilustrasikan oleh Agustinus Wibowo setelah menjelajahi lima negara pecahan Uni Soviet, yaitu Tajikistan, Kirgistan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan, sebuah petualangan yang berani, cerdas, dan nekat (Garis Batas, Gramedia, 2011).

Setiap individu membuat kurungan sebagai garis batas entah agama,etnik, profesi, jenis kelamin, dan sekian garis batas lain. Himpunan kurungan dan garis batas itu dibatasi dan dikurung lagi oleh batasan yang lebih luas,yaitu wilayah negara yang bisa jadi malah membuat pengap, memasung, memenjarakan, tetapi juga mungkin melindungi sebuah zona nyaman.

Demikianlah, penghuni planet bumi kian bertambah. Mereka hidup dalam kavlingkavling bangsa,negara,agama, dan sekian banyak lagi kavling dengan garis batasnya yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Perjumpaan dan persaingan lintas penghuni garis batas semakin intens.Tak ketinggalan persaingan mata uang untuk merebut serta menguasai pasar dan sumber daya alam di wilayah orang lain.

Mata uang seperti dolar Amerika Serikat (AS) begitu lincah dan leluasanya ibarat segerombolan belalang beterbangan mencari mangsa menjarah padi yang hendak dipanen. Begitu padi habis,gerombolan dolar itu akan terbang mencari mangsa di negara lain. Seseorang pun semakin memiliki banyak identitas dan afiliasi yang kadang saling bertabrakan.

Ada orang yang memiliki identitas dan garis batas sebagai polisi, jaksa, hakim, anggota DPR atau tokoh agama, tetapi ternyata melekat dalam dirinya identitas tersangka koruptor. Ada orang-orang yang labelnya wakil rakyat, tapi perilakunya menyengsarakan rakyat.Ada orang yang dikenal sebagai penyanyi,lalu sekarang memiliki label sebagai politisi.

Ada lagi politisi yang ingin dikenal sebagai pencipta lagu. Garis batas itu bukan sekadar identitas dan afiliasi sosial. Tapi ada yang berfungsi sebagai tembok penjaga nilainilai tradisional yang menjadi konsumsi dan amunisi warga komunitasnya dalam menghadapi pahit-getirnya kehidupan. Bahkan demi menjaga garis batasnya,seseorang siap hidup menderita dan bahkan mengurbankan nyawanya.

Agustinus Wibowo memaparkan secara detail, indah, dan pahit bagaimana sungai Amu Darya yang lebarnya 100 meter bisa membatasi dan memisahkan penduduk Afghanistan dan Tajikistan menjadi dunia yang sangat berbeda. Negara-negara bekas mesin penyangga Uni Soviet itu menjadi serpihan-serpihan dengan garis batasnya yang absurd, tetapi secara tajam memisahkan dari yang lain.

Ibarat sekrup-sekrup kecil yang sudah aus dan sekarang terlempar dari mesin raksasa bernama Uni Soviet. Membaca buku ini menjadi tersadar, begitu banyak wilayah di muka bumi yang seakan tidak masuk dalam peta dunia, tetapi memiliki keunikan alam, tradisi, dan mimpi serta keluh kesah warganya yang kita tidak pernah membayangkannya.

Tidak usah jauh-jauh, pikiran dan imajinasi saya pun melayang ke daerah-daerah garis batas Indonesia yang memisahkannya dari negara tetangga, baik berupa garis tanah, laut, mata uang, KTP maupun bendera. Di garis batas inilah nasionalisme akan teruji. Di garis batas inilah wajah dan harga diri serta kehormatan warga negara muncul ke permukaan.

Di garis batas Kalimantan yang memisahkan Indonesia dan Malaysia,warga Indonesia menyaksikan tingkat ekonomi dan pendidikan tetangganya jauh lebih baik, padahal mereka berbahasa yang sama, tinggal di daratan yang sama,tetapi KTP dan benderanya berbeda. Mata uangnya pun saling beradu dan berkompetisi.

Pada garis batas udara antara Indonesia dan Singapura,pesawat kita kalah bersaing,lalu pesawat tetangga dengan leluasa menikmati luasnya angkasa kita.Harga diri bertemu dan beradu di setiap garis batas. Pengetahuan kita pun mengenal garis batas.Wilayah di belakang garis batas masih jauh lebih banyak yang kita tidak tahu.

Di belakang garis batas pengetahuan itu kita sembunyi, merasa berada di zona nyaman justru karena keterbatasan dan kebodohan kita. Karena hanya sedikit pengetahuan itulah hidup menjadi merasa lebih aman, tidak terlalu banyak yang mesti dibahas, diingat, dan diketahui. Namun di situ juga muncul jebakan, lalu menjadi sombong, sok tahu, sebagai kompensasi karena kebodohannya.

Ketika kita membangun rumah yang besar,pasti kita membuat garis batas berupa pagar halaman yang menjadi pemisah dari pekarangan tetangga. Di dalam bangunan rumah itu pun dibuat lagi garis-garis batas berupa kamar-kamar agar yang tinggal merasa aman dan nyaman. Garis batas yang penuh misteri adalah kematian, kita tidak tahu apa yang ada dan terjadi di seberangnya

Â