Fikih Air dan Siaga Banjir

Fikih Air dan Siaga Banjir

Indonesia tergolong kaya sumber kaya air. Pada musim hujan seperti sekarang, hampir setiap hari hujan turun dengan intensitas ringan sampai lebat, bahkan airnya melimpah. Limpahan air hujan itu terkadang menyebabkan banjir.

Ibu Kota DKI Jakarta termasuk kota rawan terdampak banjir, baik karena hujan lokal maupun kiriman dari kawasan Bogor dan Puncak. Air yang sejatinya anugerah Allah SWT, berubah menjadi musibah merugikan dan menimbulkan banyak korban.

Akibatnya, lalu lintas semakin macet, energi banyak terbuang sia-sia, waktu, tenaga, dana terkuras untuk mengatasinya. Layanan masyarakat tidak maksimal. Pengguna lalu lintas dibuat stres dan terlambat sampai tempat kerja atau sampai rumah.

Banjir DKI tidak hanya menjadi ancaman kemanusiaan yang sangat serius, tetapi juga merupakan 'langganan rutin' yang tidak bisa dielakkan, karena menjadi lintasan dan muara sungai dari Puncak dan Bogor.

Salah satu penyebab banjir Jakarta karena buruknya kondisi hutan di kawasan hulu, yaitu Cisarua, Jawa Barat. Dari 30 persen lahan ideal untuk kawasan hutan, saat ini hanya tersisa 9.5 persen. Agar tidak menjadi musibah, sumber daya air harus dikelola dengan baik.

Maka itu, kesadaran dan komitmen bersama mengelola dan menabung air menjadi salah satu solusi mengatasi banjir. Bahkan, menabung air sejatinya tidak sulit sebab hampir semua warga bisa melakukannya.

Karena itu, pemahaman tentang air atau fikih air sangat penting demi terwujudnya tata kelola air yang bermaslahat bagi semua. Esensi fikih air adalah pemahaman tentang hokum, siklus, fungsi, karakter, dan manajemen pendayagunaan air.

Melalui fikih air, minda warga perlu diubah dari paradigma lama yang disharmoni dengan air, seperti membuang sampah sembarangan ke arah paradigma baru bahwa ekosistem itu sangat menentukan kualitas hidup manusia.

Artinya, jika lingkungan rusak (tidak sehat, tidak bersih, tidak indah, tidak nyaman), rusaklah kehidupan manusia, termasuk sumber daya air di perut bumi ini.

Akibat pemanasan global dan Siklon Cempaka, misalnya, perubahan cuaca menjadi sangat ekstrem dari panas menyengat, lalu tetiba turun hujan lebat disertai angin puyuh, tanah longsor, banjir bandang.

Budaya Konstruktif

Kerusakan lingkungan di daratan dan lautan itu umumnya disebabkan kebijakan, perlakuan, dan ulah manusia terhadap alam (QS Ar-Rum [30]: 41). Karena itu, fikih air menghendaki pemahaman sumber daya air berbasis budaya positif dan konstruktif.

Budaya ini perlu diaktualisasikan memaknai hujan itu sebagai rahmat dari Tuhan. Air hujan harus disyukuri dengan dikelola, ditabung, dan dimanfaatkan secara optimal untuk kemaslahatan hidup bersama.

Surat al-A’raf: 57-58 mengisyaratkan pentingnya fikih air dalam konteks siklus turunnya air hujan, yakni angin, awan, dan hujan, yang disebut rahmatihi (rahmat-Nya) tapi juga pentingnya manusia mengambil pelajaran dan keharusan bersyukur.

Aktualisasi budaya konstruktif (bersyukur) adalah pentingnya menabung air, karena Allah SWT menjadikan air itu 'menetap' di bumi dan 'menyimpannya'.

Jika air hujan itu 'tidak menetap' dan tidak 'tersimpan' karena tidak ditabung, lalu meluap dan menjadi banjir, boleh jadi karena manusia tidak memahami bagaimana air itu semestinya menetap dengan baik.

Manusia kadang terlalu serakah dan banyak merusak ekosistem dengan menebang pohon dan hutan, mengganti lahan produktif dengan bangunan dan jalan beton, membuang sampah sembarangan, dan tidak memperbaiki drainase berikut aliran sungai.

Akibatnya, air hujan yang diturunkan Allah itu tidak dapat diserap dan disimpan dalam tanah, lalu meluber menjadi banjir.

Gerakan Menabung Air

Pesan moral Alquran juga mengisyaratkan pentingnya membuat bendungan, sumur resapan, biopori, dan sebagainya, sehingga bumi bisa berfungsi sebagai reservoir (tempat menyimpan dan menabung) air agar pada musim kemarau krisis air tidak terjadi.

Dengan reboisasi, reforesisasi, dan regulasi tata kota/desa yang berwawasan lingkungan, go green, tidak semua air hujan mengalir ke laut melalui sungai-sungai, tetapi bisa diserap dan disimpan akar pepohonan.

Ayat tersebut juga mendorong adanya regulasi terkait konservasi sumber daya air dan penegakan hukum bagi perusak lingkungan alam. Konservasi air, bukan kapitalisasi air oleh para pemodal, sudah saatnya menjadi komitmen bersama.

Berbasis fikih air, Gerakan Menabung Air (GMA) idealnya menyadarkan semua pihak bahwa air itu tidak hanya untuk diminum, mandi, mencuci, memasak, dan bersuci, tetapi juga untuk pengembangan pertanian produktif dan pembangkit tenaga listrik.

Contoh GMA yang perlu ditiru dan dikembangkan adalah pembuatan sumur injebi (resapan) di Kota Malang yang dengan diamater satu meter dan kedalaman 10-15 meter mampu menyimpan 8.000 liter air sehingga air hujan disimpan.

GMA idealnya dapat membentuk minda positif bahwa air itu amanah dan rahmat yang harus dikelola, disyukuri, ditabung, disedekahkan, dan didayagunakan. Idealnya, Indonesia bisa menjadi pengekspor air ke negara padang pasir, jika mampu memanfaatkannya. Namun, sumber daya air nasional banyak dikuasai pemodal asing dan 'disulap' menjadi produk air minum kemasan yang menguntungkan mereka.

Padahal air, api, dan rumput pada dasarnya merupakan 'milik publik' (HR Ahmad dan Abu Dawud), milik bersama dan harus dikuasai negara untuk kepentingan rakyat. GMA juga dapat menumbuhkan kearifan dan kesalehan ekologis dalam mengelola air.

Fikih air mengajak siapa pun memaknai pesan Alquran berikut, "Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Sekiranya Kami menghendaki Niscaya Kami menjadikannya asin, men apa kamu tidak bersyukur?” (QS Waqi’ah (56]: 68-70).

GMA menyadarkan semua pihak tentang pentingnya 'menjaga dan menyimpan' air dengan bersikap hemat dalam memanfaatkannya. Jadi, fikih air dan GMA berfungsi ganda, yakni siaga banjir sekaligus menyimpan cadangan air untuk musim kemarau.

Karena itu, pemerintah perlu memelopori dan menyosialisasikan GMA agar ancaman banjir pada musim hujan dapat dieliminasi sekaligus krisis air bersih dan kekeringan pada musim kemarau tidak berimplikasi terhadap krisis pangan, matinya aneka hewan dan tumhuh-tumbuhan, pusonya lahan pertanian dan hortikultura, konflik sosial akibat rebutan sumber air, naiknya harga air minum dan air bersih.

Jadi, pesan moral dari fikih air adalah air merupakan rahmat, amanah, dan sumber utama kehidupan, sedangkan mensyukuri dan menabung air adalah pilihan bijak untuk mengantisipasi dan siaga hanjir. (mf)

Dr Muhbib A Wahab MA, Kepala Prodi Magister Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Koran Republika, Jumat, 7 Desember 2018.