Etika Politik Berdemokrasi

Etika Politik Berdemokrasi

Prof. Asep Saepudin Jahar M.A., Ph.D.

 

Perjalanan panjang demokrasi Indonesia kembali diuji dalam perhelatan Pemilu 2024 yang akan datang.

Perilaku dan etika politik tampil di publik menghadapi tantangan yang kompleks terutama bagaimana membangun demokrasi Pancasila dan mempertahankan saling percaya antar warga bangsa. Memaknai demokrasi dengan partisipasi rakyat menentukan hak pilihnya adalah suatu jargon yang maklum diketahui. Namun, mensimplifikasi demokrasi tanpa membangun trust (kepercayaan) adalah suatu benih bencana yang membahayakan.

Perwajahan demokrasi dalam potret pilpres, pilkada, dan pemilu legislatif kali ini jadi arena yang mengkhawatirkan. Pada satu sisi, upaya partisipasi masyarakat terbuka sebagai ekspresi demokrasi; namun pada sisi lain benih ketidak percayaan (distrust) menguat. Lebih-lebih parpol tak lagi bersandar pada pencapaian ideologis demi demokrasi yang sehat. Kepentingan politik pragmatis menjadi negosiasi yang menonjol.

 

Demokrasi dan Kepercayaan

Diawali tahun 1999 dengan pemilu demokratis, hingga 2024, adalah pengalaman demokrasi yang perlu kita rawat setelah masa Orde Baru yang penuh dengan tekanan. Pesta demokrasi 2024, perhatian kita tertuju pada dinamika parpol dalam membangun koalisi untuk bisa mengusung capres dan cawapres.

Kita punya harapan, namun ada rasa cemas karena koalisi antar partai terlihat zig-zag dibentuk berdasar negosiasi kepentingan (political interest) dibanding agenda ideologis jargon partai (political ideology) yang komitmen pada filosofi demokrasi Pancasila. Mengedepankan keputusan politik oleh kekuasaan partai secara kolektif adalah bagian dari praktik demokrasi pada umumnya.

Terlihat para pimpinan partai tersandera oleh masalah dirinya masing-masing. Alih-alih upaya negosiasi dan mencari jalan aman ditempuh dalam menjaga kepentingannya, demokrasi dalam tataran seperti ini menghadirkan demokrasi dilematis seperti yang diungkapkan Francis Fukuyama, sejarawan dan ilmuwan politik AS. Menurutnya, tampilan demokrasi yang bersandar pada kemufakatan partai memperlemah demokrasi ideal. Ia menyarankan saling percaya perlu lebih dimaksimalkan untuk memperkuat arah demokrasi.

Pemilu saat ini menunjukkan ujian penting bagaimana trust dibangun. Negosiasi antar partai untuk mengusung capres-cawapres lebih mengandalkan figur dan aliansi kekuatan politik adalah bagian dari proses demokrasi. Namun, politik client-patron yang sangat kuat dengan model mobilitas ”single power” penguasa akan meruntuhkan arah demokrasi kita yang sedang dibangun.

Jika setiap partai berkontestasi bukan pada jargon ideologi partai yang diper -juangkan, tetapi pada kepentingan pimpinan partainya, maka demokrasi prose -dural akan selalu jadi model demokrasi di Indonesia. Rakyat hanya jadi tikar untuk tempat bersila para penguasa.

Sudah maklum saat ini bahwa tiga koalisi besar partai-partai untuk mengusung capres-cawapres. Pertama, Koalisi Golkar, PAN, Demokrat dan Gerindra. Kedua, koalisi PDI-P dan PPP. Ketiga, koalisi Nasdem, PKS dan PKB. Irisan dari ketiga koalisi ini membaur pada negosiasi politik untuk memperkuat hegemoni aliansinya, tanpa ada perjuangan ideologis demi tegaknya demokrasi seperti yang digagas Pendiri Bangsa.

Akibat yang menguat yaitu kemenonjolan distrust antar anak bangsa, lebih -lebih antar partai. Penulis melihat satu sama lain bisa saling ”menyikut”, dengan mengabaikan spirit etika berpolitik. Dalam konteks kekinian perlu dibangun pendekatan rasional, seperti dikatakan Charles Thilly (2007) dalam buku Democracy yang bertitik tolak dari trust.

Ia menjelaskan, trust adalah dasar keyakinan dalam demokrasi di mana setiap orang atau institusi punya keinginan kuat mewujukan kesejahteraan bukan semata-mata demokrasi prosedural. Langkah ini, menurutnya, sebagai upaya memberikan manfaat bagi masyarakat dalam menghindari dilema demokrasi.

Di Indonesia, politik bukan sekadar proses pengambilan keputusan publik, tetapi juga panggung kekuasaan, persaingan ideologi, serta refleksi dari dinamika sosial masyarakatnya.

Namun, dalam konteks kekinian, ada kebutuhan mendesak untuk mengadopsi konsep politik yang arif—suatu pendekatan yang bijaksana, seimbang, serta mampu menciptakan keadaban, kekeluargaan dan kemajuan bersama. Bisakah demokrasi dijadikan pijakan tanpa membangun etika politik, atau dengan kata lain demokrasi adalah semata-mata menghadirkan dukungan rakyat tanpa sama sekali menggunakan etika Politik.

 

Etika politik keindonesiaan

Keindonesiaan sejak dilahirkan para Founding Fathers dibangun berdasar budaya kekeluargaan dan saling menghormati dengan nilai-nilai luhur yang berkeadaban. Para Pendiri Bangsa bersusah payah membangun negeri untuk mematri model kenegaraan tidak semata mengadopsi sistem dari luar, tetapi selalu melihat bagaimana konteks budaya dan keindonesiaan bisa melekat dalam kebangsaan dan kenegaraan.

Maka Pancasila menjadi temuan yang mulia untuk dijadikan dasar negara untuk berkeadaban dalam keragaman. Dasar negara ini menyelamatkan Indonesia dari keragaman yang rumit, antara nasionalisme dan keagamaan. Maka keunikan politik kita sampai saat ini membaurkan nilai-nilai budaya, seperti terbuka, menghargai dan kekeluargaan yang berkeadaban. Nilai dan etika partai harus berkaca dari cara Pendiri Bangsa berpolitik di masa awal Indonesia.

Jika keindonesiaan menjadi arah politik Indonesia, apakah praktik politik saat ini dibangun pada etika yang berasas nalar Indonesia, atau nalar masa pra-Republik Indonesia yang mendasarkan pada sukuisme dan model kerajaan?

Praktik demokrasi kita masih sangat belia untuk akhirnya mewujud menjadi negara demokrasi yang mapan. Persaingan para kontestan, baik partai maupun capres-cawapres harus selalu mengedepankan etika luhur yang konsisten dalam ucapan dan perbuatan.

Tampilan politik yang bermuka ganda dan apalagi tak beretika keindonesiaan, akan jadi contoh buruk buat generasi selanjutnya. Kumandang lagu Indonesia Raya dalam setiap pertemuan resmi atau kendurian di berbagai tempat harus jadi renungan dan pijakan penting dalam etika politik. Jika lagu kebangsaan itu sering kita lantunkan setiap saat namun kita berpraktik politik dengan cara lain, nilai apalagi yang akan kita yakini?

 

"Civil society" untuk keadilan politik

Civil society atau masyarakat sipil memiliki peran sangat penting dalam mengembangkan dan memperkuat sistem politik suatu negara. Keterlibatan aktif dari berbagai elemen masyarakat sipil, seperti organisasi non-pemerintah, LSM, kelompok advokasi, dan komunitas sukarelawan, adalah kunci menciptakan dan memelihara politik yang ideal di suatu negara.

Pemberdayaan politik yang ideal melalui keterlibatan civil society merupakan fondasi bagi masyarakat yang lebih demokratis, inklusif, serta bertanggung jawab. Upaya ini untuk menjembatani membekunya kemandirian partai-partai dalam menyuarakan idealismenya yang sudah tersandera lingkaran kekuasaan.

Civil society berperan sebagai kontrol sosial terhadap pemerintah dan parpol. Mereka bertindak sebagai pengawas yang kritis terhadap kekuasaan, khususnya kebijakan pemerintah, mendorong transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam proses politik.

Pemilu yang jujur dan adil saat ini menjadi taruhan yang harus dikontrol bersama. Keterlibatan civil society juga memberikan wadah bagi partisipasi masyarakat dalam proses politik.

Dengan memberikan edukasi politik dan mengkritisi kebijakan publik, civil society mendorong partisipasi yang inklusif dari seluruh lapisan masyarakat.

Pemberdayaan politik yang ideal melalui keterlibatan civil society juga membangun jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Melalui kolaborasi yang konstruktif, civil society dapat menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.

Dengan mendorong partisipasi, pengawasan, dan advokasi yang berkelanjutan, civil society menjadi agen perubahan yang mampu menciptakan politik yang lebih responsif, inklusif, dan berpihak pada kepentingan masyarakat.

Salah satu filosof Jerman yang memiliki pandangan sangat relevan dalam konteks politik dan pemberdayaan masyarakat adalah Jürgen Habermas. Dalam bukunya, The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), ia menekankan pentingnya dinamika komunikasi sehat dan rasional di masyarakat.

Merujuk pada pandangannya, pada pesta demokrasi 2024 ini kita harus meletakkan ruang publik sebagai ruang terbuka untuk berdiskusi, dan menghasilkan pemahaman kolektif tentang masalah-masalah politik tanpa ada rasa ketakutan atau intimidasi.

Namun kita perlu mewaspadai adanya "opini publik palsu" (pseudo-public spheres), di mana narasi politik dan kebijakan dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu, terkadang tanpa keterlibatan yang sebenarnya dari masyarakat. Ini diakibatkan oleh permainan ruang publik oleh kekuatan politik, komersialisasi media dan perkembangan teknologi. Untuk membendung arus politik yang bisa mendegradasi nilai-nilai demokrasi ini kita harus memperkuat pemberdayaan masyarakat melalui partisipasi aktif di ruang publik yang sehat.

Komunikasi yang rasional dan argumen yang berlandaskan kebenaran dalam proses politik akan menjaga proses demokrasi itu sendiri. Syarat mutlak demokrasi bukan semata partisipasi, tetapi juga diskusi yang bermakna, informasi yang akurat, dan pertukaran ide yang bersifat kritis dan konstruktif.

Di masa reformasi 1998, telah banyak korban nyawa melayang karena berjuang untuk mencapai demokrasi yang sehat. Kita harus berterima kasih kepada mereka yang telah menjadi korban demi hadirnya demokrasi saat ini. Tanpa mereka, rasanya tak mungkin kita punya presiden seperti Abdurahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudoyono dan Joko Widodo.

Sekarang saatnya kita bertanya, apakah kita akan memutar jarum jam dengan model pseudo demokrasi (demokrasi semu), yaitu demokrasi yang terlihat hanya di tataran muka, namun sebenarnya masih jauh dari tujuan demokrasi itu sendiri?

 

Budaya komunikatif

Menciptakan politik yang santun dan ideal yang mengusung keterbukaan bagi sesama memerlukan serangkaian prinsip, praktik, dan nilai-nilai yang mendasari perilaku politik. Penting untuk memahami bahwa politik yang santun berakar pada etika, rasa hormat, dan tanggung jawab terhadap individu serta masyarakat. Keterbukaan dalam konteks politik melibatkan transparansi, partisipasi, dan kesediaan untuk mendengar dan memahami perspektif yang berbeda.

Salah satu cara menciptakan politik yang santun dan terbuka adalah melalui kultur politik yang didasari nilai-nilai etika, integritas, dan saling menghormati. Para pemimpin dan aktor politik lainnya harus menunjukkan perilaku santun, berkomunikasi secara bijaksana, serta berupaya menjaga norma etika dalam interaksi politik mereka. Kesantunan dalam politik melibatkan pemahaman bahwa perbedaan pendapat adalah hal wajar, bahkan diperlukan dalam membangun keputusan yang lebih baik.

Keterbukaan dalam politik harus diperkuat melalui transparansi dalam pengambilan keputusan. Informasi mengenai kebijakan, keputusan politik, dan proses pengambilan keputusan haruslah tersedia dan dapat diakses masyarakat.

Hal ini tak hanya memungkinkan keterlibatan masyarakat dalam proses politik, tetapi juga memperkuat legitimasi keputusan politik yang diambil.

Selain itu, penting juga menciptakan ruang bagi partisipasi publik yang inklusif. Keterbukaan dalam politik membutuhkan kerangka kerja yang memungkinkan partisipasi aktif berbagai kelompok dan lapisan masyarakat. Dialog yang terbuka, diskusi yang terarah, dan kesem -patan bagi masyarakat untuk memberikan masukan menjadi penting dalam menciptakan politik yang lebih inklusif.

Pada akhirnya, menciptakan politik yang santun dan terbuka memerlukan komitmen bersama untuk membangun budaya politik yang didasari oleh nilai-nilai etika, integritas, dan keterbukaan. Ini melibatkan partisipasi aktif, transparansi, kesediaan untuk mendengar, serta menghormati kepentingan yang beragam dalam masyarakat. Dengan demikian, politik dapat menjadi wahana yang memajukan kepentingan bersama dan menciptakan tatanan yang lebih adil serta inklusif bagi semua.

Menghadapi dinamika politik negeri ini, penting untuk meneguhkan nilai-nilai politik berkeadaban. Keseimbangan antara kepentingan politik, keadilan, kebebasan, dan pertanggungjawaban merupakan fondasi yang akan membawa Indonesia ke arah kemajuan berkelanjutan. Semoga pesta demokrasi damai dan berkeadilan terwujud di 2024. (ZM)

 

Penulis adalah Guru Besar dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat di kolom opini Koran KOMPAS, Rabu 22  November 2023.