Energi Keberlimpahan Kota dan Transisi Desa

Energi Keberlimpahan Kota dan Transisi Desa

PADA 2010, National Geographic  merilis sebuah video me­nge­nai realitas de­mo­grafis masyarakat dunia. Salah satunya prediksi bahwa 70% penduduk dunia akan (sudah) tinggal di kota pada 2040. Inilah yang oleh para ilmuwan sebut sebagai proses urbanism. Apa itu urbanism? Secara se­derhana urbanism  adalah “tata cara hidup (way of life) warga kota” yang ditandai dengan be­berapa ciri: serbacepat, (kadang cenderung) instan, kontestatif, dan potensi kesejahteraannya tinggi. Tata cara hidup seperti ini sangat berkaitan dengan pola dan struktur ruang kota itu sendiri sehingga fakta sosio-antropologis ini akan meng­hasilkan modus kultur ter­sendiri.

Berkebalikan dengan pre­diksi di atas, desa-desa justru terancam kehilangan sumber daya poten­sial­nya: manusia. Sebagaimana kita ketahui, kehidupan di desa, sampai se­jauh ini, belum me­miliki pros­pek yang sama de­ngan kota. Sudah menjadi asumsi umum bahwa kehidup­an di desa “lebih sulit” bila diban­dingkan ke­hidupan di kota, terutama pada aspek-aspek yang ber­kait­an dengan akses sumber-sum­ber kesejahteraan dan kehidupan.

Beberapa tahun belakangan Indonesia juga disuguhi pre­diksi bonus demografi. Bonus demografi adalah realitas kom­posit penduduk Indonesia yang sebagian besar umurnya berada di kisaran 17 sampai kurang dari 30-an. Artinya dengan bonus demografi tersebut kita punya energi produktif yang luar biasa besar.

Tentu saja dalam konteks analisis kota dan desa, kedua entitas (urbanisme dan bonus demografi) ini memiliki hu­bung­an cukup kuat. Pertama,  ka­rena sebagian besar masya­rakat tinggal di kota, maka kota memiliki limpahan penduduk produktif paling besar. Konse­kuensinya adalah para pemang­ku kebijakan, aparat peme­rin­tah, harus merespons kebutuh­an ini dengan cepat dan tepat. Misalnya birokrat dan peren­cana pembangunan segera mem­bangun visinya di atas ke­pentingan untuk mengaktivasi energi kaum muda produktif ini.

Sementara di desa urbanis­me justru akan membuat desa-desa semakin berat untuk men­capai produktivitas optimal­nya. Sebab sumber daya utama­nya, yakni manusia, lebih ba­nyak yang melakukan urbani­sasi. Akibatnya desa-desa di­kelola dengan cara-cara kon­ven­sional dan mengalami ke­kurangan visi kaum muda. Maka jika kota bisa diprediksi mengalami keli­m­pah­an (abundance) energi, desa meng­alami defisit energi. Akibat­nya kecepatan perkem­bangan per­desaan akan se­makin sulit me­nyamai kota.

Kedua, seperti disinggung di atas, kultur kaum muda pro­duktif dalam “bonus demo­grafi” ini membasiskan diri pada suatu modal yang tidak bisa habis: kreativitas. Kreativitas adalah energi potensial yang dihasil­kan dari beragam faktor: ke­be­basan, pengetahuan, budaya/ iklim, dan lingkungan sosial. Para perencana pembangunan kota di era bonus demografi dituntut untuk terus kreatif. Visi kreatif ini harus men­ciptakan ruang kreatif bagi warga. Bahkan jika perlu, alo­kasi anggaran pem­bangunan diarahkan untuk men­dorong, mewadahi, dan mem­fasilitasi ide-ide dan sema­ngat kreativi­tas warga muda ini.

Adapun desa, karena basis ruang kreativitasnya terbatas, bisa jadi akan semakin ke­hilangan energi magnetiknya. Desa hanya menjadi pengobat rasa primordialisme seseorang yang tertahbiskan sesekali da­lam rutinitas mudik. Desa, lama kelamaan, karena jarak epis­temisnya yang semakin jauh dari kota, menciptakan diametrasi budaya: kota versus desa.

Lalu bagaimana ske­nario me­nye­im­bangkan antara ke­ber­limpahan dan defisit ener­gi di dua entitas (kota dan desa) ter­sebut?

Pertama, me­masuk­kan kaum mu­­da menjadi bagi­an dari sis­tem biro­krasi ha­nya menjadi se­bagian kecil dari res­pons tersebut. Sebab, selain struktur ruang yang tersedia pada biro­­krasi masih ter­batas, dinamika kultur kaum muda ini juga kadang ku­rang cocok de­ngan kultur biro­krasi. Terkadang kaum muda krea­tif pro­duktif ini hanya mem­bu­tuh­kan ruang saja untuk berpro­duksi.

Ruang-ruang krea­tif ini bisa bera­gam wujud: taman-taman kota de­ngan internet yang high-speed, kafe-kafe, ruang pameran, ruang pertun­juk­an indoor dan outdoor, dan sebagai­nya. Selain itu perlindungan atas karya intelektual mereka juga diper­lu­kan agar ketika hasil produk­tivitas mereka ternyata masuk pasar komersial, mereka bisa mendapatkan benefit yang pantas.

Kedua, memaksa kaum muda untuk kembali ke desa pun tidaklah mudah. Dana desa yang ada saat ini hanya bisa meng­undang kaum muda untuk menjadi pendamping desa saja. Itu pun kapasitasnya sangat terbatas jika dibandingkan dengan kebutuhannya. Bahkan lebih krusial lagi, perspektif yang terbangun dalam diri para pendamping ini pun masih kota sehingga bias cara pandang ini sangat berpengaruh pada pola kerja di lapangan.

Kolaborasi Kritis 

Meski tidak mudah, tawaran kolaborasi kritis kota-desa berikut ini bisa dipertim­bang­kan dalam mempertemukan keberlimpahan dengan defisit energi antarentitas ini.

Pertama, kolaborasi saling. Kolaborasi antara kota dan desa harus dideliberasikan secara sistematis. Konsepnya bukan “orang kota” berinvestasi di (kawasan) desa karena hal ini kadang tereduksi menjadi orang kota membeli aset di desa. Tapi orang kota dan orang desa duduk bersama, berbagi peran, serta berbagi ka­pa­sitas untuk saling memaju­kan. Misalnya jika orang kota tiap pekan butuh tempat “tetirah” melepas kepenat­an, bisakah desa menye­dia­kan kebutuhan ter­sebut, apa­kah dalam bentuk home stay de­ngan pelayanan yang ber­standar?

Kedua, kolabo­rasi mem­per­kuat. Artinya dalam se­tiap pro­ses dan upaya ko­laborasi, para pihak harus berniat ber­kola­borasi untuk memperkuat relasi antara kota dan desa dengan cara menyamakan visi kesejah­teraan bersama. Dalam ke­rang­ka ini, relasi kota-desa hadir agar keduanya sama-sama kuat sehingga bisa sama-sama nya­man dan sejahtera. Misalnya ketika orang kota meng­inginkan kenyamanan ala kota, tetapi suasana desa, para pihak di desa kemudian mem­per­laku­kan permintaan itu atas dasar saling mem­perkuat.

Ketiga, kolaborasi untuk, yakni kolaborasi yang dengan penuh rasa empati diarahkan untuk menciptakan per­ubah­an-perubahan positif. Kolaborasi untuk perubahan positif, kola­borasi untuk kemajuan ber­sama, kolaborasi untuk kesejahteraan bersama, dan kolaborasi untuk kemakmuran bersama.

Kola­borasi untuk kebersamaan ini bisa mengikis berbagai pan­dang­an negatif antara entitas kota dan desa sehingga kemu­dian bisa menjelma menjadi gerakan masif yang sistematis. Dengan format kolaborasi untuk ini, entitas desa-kota bisa bersinergi membangun dan mengelola transisi antara ke­duanya.

Optimisme dan atau pesi­misme yang bertunas pada masyarakat di kota maupun desa akan keringnya pema­ham­­an para pemegang ama­nah kekua­sa­an dalam menge­lola wilayah­nya sejatinya di­pahami sebagai energy barrier yang suatu saat bisa “meledak”. Oleh karena itu, se­belum se­mua­nya terlambat, ada baik­nya kita kembali me­lakukan titik balik atas fakta ke­ber­limpahan dan defisit energi ini agar menjadi dampak positif bagi masyarakat kota dan desa secara bersama

Tantan Hermansah

Pengajar Sosiologi Perdesaan dan Perkotaan di UIN Jakarta serta Sekjen Perkumpulan Pengembangan Kemasyarakatan Islam (P2MI) Se-Indonesia.

Artikel ini telah dimuat pada kolom Opini harian Sindo, edisi Jumat 13 Juli 2018. (lrf)