Efek Domino Paslon Tunggal

Efek Domino Paslon Tunggal

FASE krusial kandidasi pilkada serentak 2018 sudah dilalui.

Menurut data KPU, ada 569 pasangan calon (paslon) yang diterima mendaftarkan diri untuk mengikuti kontestasi pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota pada pilkada serentak 2018.

Sebanyak 57 paslon mendaftarkan diri untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur di 17 provinsi, 373 paslon untuk pemilihan bupati/wakil bupati di 115 kabupaten, dan 139 paslon mendaftar untuk pemilihan wali kota/wakil wali kota di 39 kota.

Dari jumlah paslon tersebut, semula ada 13 daerah yang memiliki paslon tunggal.

Setelah masa pendaftaran diperpanjang (15-17 Januari), akhirnya paslon tunggal ada di 12 daerah yang berpilkada tahun ini.

Hanya ada satu daerah yang bertambah kandidatnya, yakni pasangan calon yang mendaftarkan diri di pilkada Kabupaten Karanganyar, Jateng.

Satu hal menarik untuk dikritisi dalam proses kandidasi pilkada serentak 2018 ialah semakin banyaknya paslon tunggal.

Sebagai komparasi, di pilkada serentak 2015 hanya ada tiga paslon tunggal.

Di pilkada serentak 2017 jumlah paslon tunggal naik menjadi sembilan.

Kini, di pilkada serentak 2018, paslon tunggal naik lagi menjadi 12 daerah.

Kalau melihat pola itu, paslon tunggal itu akan memiliki efek domino pada pilkada serentak di masa mendatang.

 

Jejak kuat petahana

Benang merah semakin banyaknya paslon tunggal ada pada paslon petahana yang melaju ke periode kedua atau orang yang didukung politik kekerabatan dari kepala daerah yang sudah dua periode dalam kekuasaannya dan tak bisa maju lagi di daerah tersebut.

Data menunjukkan 12 paslon tunggal di pilkada serentak 2018, mayoritasnya (11 paslon) ialah petahana dan 1 orang keluarga inti (anak) dari kepala daerah yang sudah dua periode.

Paslon petahana di Kota Prabumulih Sumatra Selatan Ridho Yahya-Ardiansyah Fikri, didukung 10 partai politik yang memiliki 25 kursi di DPRD Prabumulih.

Dengan didukung 10 partai, praktis semua partai politik yang ada di Prabumulih dikuasainya.

Di Kota Tangerang, pasangan Arif-Sachrudin didukung 10 partai yang ada di DPRD Kota Tangerang. Partai yang mendukung tersebut ialah PDIP, Golkar, NasDem, PKB, Demokrat, Hanura, PAN, PPP, Gerindra, dan PKS.

Plus tambahan dua partai nonparlemen yang ikut mendukung pasangan tersebut, yakni PKPI dan PBB.

Kondisi serupa terjadi di Kabupaten Tangerang, Ahmad Zaki Iskandar-Mad Romly didukung koalisi 12 partai yang ada di Kabupaten Tangerang, yaitu PDIP, Golkar, NasDem, Demokrat, Hanura, PKS, PPP, PKB, Gerindra, PKPI, PAN, dan PBB. Praktis petahana melaju sendirian.

Masih di Provinsi Banten juga, di Kabupaten Lebak pasangan Iti Octavia Jayabaya dan Ade Sumardi menjadi calon tunggal.

Mereka didukung 11 partai politik, yakni Partai Demokrat, PDIP, Golkar, PAN, PKB, PBB, PKS, Hanura, NasDem, PPP, dan Gerindra.

Petahana di Kabupaten Pasuruan, yakni pasangan Irsyad Yusuf-Mujib Imron, resmi didukung 8 partai pemilik kursi DPRD, yakni PKB, NasDem, Golkar, Gerindra, PPP, PKS, Hanura, dan PDIP. Total kekuatan yang mengusung pasangan itu 44 kursi.

Syarat minimal dukungan ialah 10 kursi.

Pilkada Kabupaten Enrekang dipastikan diikuti satu pasangan calon.

Pasangan petahana Muslimin Bando dan Asman mengamankan rekomendasi hampir dari seluruh parpol di Enrekang.

Mereka maju dengan dukungan 26 dari total 30 kursi DPRD setempat, yakni dari Golkar, PAN, Demokrat, Gerindra, NasDem, Hanura, dan PDIP.

Petahana pasangan calon Bupati-Wabup Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara, James Sumendap-Jesaja Legi mendapatkan dukungan dari mayoritas partai. Delapan dari sembilan partai di daerah tersebut mendukung mereka.

Kedelapan partai pengusung ialah PDIP, Partai Golkar, PKPI, Partai Gerindra, PPP, Partai Demokrat, Partai Hanura, dan PAN.

Pasangan petahana di Kabupaten Tapin, Arifin Arpan-Syafrudin, memborong dukungan dari delapan partai politik, yakni Golkar, PDIP, Gerindra, PKB, PAN, Demokrat, PKS, dan PPP.

Di Papua, ada Willem Wandik dan Alus Murib yang mencalonkan diri kembali sebagai Bupati dan Wakil Bupati Puncak, Papua, periode 2018-2023.

Sebagai petahana dia mendapat dukungan 10 partai politik yang secara otomatis membuat tak satu pun tokoh di luar paslon itu yang mendaftar untuk menjadi penantang.

Pilkada Kabupaten Mamasa 2018 hanya akan diikuti satu pasangan calon. Bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Mamasa, Ramlan Badawi-Marthinus Tiranda, memborong 10 rekomendasi parpol pengusung, yakni Golkar, PPP, PDIP, PKB, PKS, PAN, NasDem, Demokrat, PKPI, dan PBB.

Sebenarnya pasangan itu awalnya mendapat penantang, yakni Obed-Benyamin, tetapi mereka hanya mendapatkan dua partai pengusung, yakni Partai Hanura dan Gerindra dengan total 5 kursi.

Hal tersebut tak memenuhi syarat minimal 20% atau 6 kursi di DPRD Mamasa.

Bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Jayawijaya, Papua, yakni Jhon Richard Banua-Marthin Yogobi, memborong dukungan dan usungan dari 10 parpol, di antaranya PDIP, Demokrat, Gerindra, PKB Hanura, dan PAN.

Partai lainnya PKS, NasDem, PKPI, dan PBB atau setara dengan dukungan 26 kursi di DPRD Kabupaten Jayawijaya yang berjumlah 30 jumlah kursi.

Terakhir, paslon di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), Sumut, Andar Amin Harahap-Hariro Harahap, yang didukung Pilkada Paluta 2018, yakni Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PKB, PDI Perjuangan, PAN, NasDem, PPP, Hanura, PBB, dan PKPI.

Perlu menjadi catatan, calon Bupati Andar merupakan anak Bachrum Harahap yang saat ini menjabat Bupati Padang Lawas Utara.

Dengan demikian, itu memperteguh pola berkembangnya paslon tunggal, kalau tidak petahana, pasti kerabat dekat petahana.

 

Basis justifikasi

Jika pilkada serentak digelar lagi di kemudian hari, hampir bisa dipastikan paslon tunggal akan semakin banyak lagi.

Hal itu berlandaskan pada justifikasi payung hukum, politik dan sosial.

Di payung hukum, memang tidak ada larangan paslon tunggal.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi soal calon tunggal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

MK membolehkan daerah dengan calon tunggal untuk melaksanakan pilkada serentak periode pertama pada Desember 2015.

Dalam pertimbangannya, MK menyebut perumusan norma UU Nomor 8 Tahun 2015, yang mengharuskan adanya lebih dari satu pasangan calon tidak memberikan solusi.

Hal itu dapat menyebabkan kekosongan hukum. Dapat berakibat pada tidak bisa diselenggarakannya pilkada.

Jadi, syarat mengenai jumlah pasangan calon dianggap berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih.

Justifikasi politik kerap disandarkan mereka yang menjadi paslon tunggal dan pendukungnya pada model konsensus dalam demokrasi berbasis kemufakatan.

Kurang lebih argumennya ialah bermufakat dengan mayoritas partai, bahkan seluruh partai, untuk memilih pemimpin dianggap menjadi solusi lebih baik.

Padahal, jelas, pilkada serentak saat ini tidak melalui DPRD, tetapi rakyat memilih langsung.

Di level elite, di tengah fragmentasi kekuatan politik multipartai ekstrem dengan parpol lebih dari lima (highly fragmented multiparty system) seperti Indonesia, rasanya sulit membuat mufakat secara alamiah kecuali ada aspek penyatunya, misalnya politik transaksional, mahar, beli perahu, atau istilah lainnya yang menggambarkan kandidat terutama petahana sedang memborong banyak partai untuk masuk ke gerbong koalisi besar.

Sementara itu, justifikasi sosial yang kerap dikemukakan ialah paslon tunggal bisa menekan konflik horizontal akibat polarisasi dukungan politik di masyarakat. Paslon hanya akan dihadap-hadapkan dengan kotak kosong.

Itu merupakan teknik mencari pembenaran yang berlebihan seolah-olah pilkada yang banyak calonnya akan berbahaya.

Betul saat pilkada akan muncul rivalitas, gesekan, dan konflik, tapi sejarah pilkada serentak kita di 2015 dan 2017 menunjukkan jikapun ada konflik, sifatnya minor, secara umum pilkada serentak kita berjalan aman.

 

Dampak buruk

Paling tidak, ada tiga dampak buruk jika paslon tunggal itu terus bertambah banyak dalam penyelenggaraan pilkada.

Pertama, melemahkan pelembagaan politik di tubuh partai.

Pola borongan partai oleh petahana dalam kandidasi akan menyebabkan mandeknya proses kaderisasi, terutama upaya partai dalam distribusi dan alokasi kader terbaik mereka untuk berkompetisi di pilkada.

Kader-kader potensial di partai akan tertekan dengan model pilihan oligarkis karena penentuan kandidat bisa jadi lebih karena pertimbangan politik transaksional dengan orang berkuasa baik petahana maupun kandidat yang memiliki modal besar yang lebih tertarik membeli dukungan dan usungan partai secara borongan.

Kondisi itu diperparah model kepartaian kita yang masih bergantung kuat pada pemimpinnya.

Kritik Thomas Carothers, dalam tulisannya di Jurnal Carnegie Endowment in International Peace (2006), Confronting the Weakest Link: Aiding Political Parties in New Democracies misalnya, mendeskripsikan partai di Indonesia sebagai organisasi yang sangat leader centric yang didominasi suatu lingkaran kecil elite politikus. Saat elite pragmatis dalam 'mendagangkan' partai jelang perhelatan kontestasi elektoral seperti pilkada, partai akan mengalami deinstitusionalisasi.

Hal senada juga disampaikan peneliti Paige Johnson Tan, dalam tulisannya Reining the Reign of the Parties: Political Parties in Contemporary Indonesia, di Asian Journal of Political Science, vol 20, No 2 2012, yang mendeskripsikan sistem kepartaian Indonesia sedang berada dalam proses deinstitusionalisasi, dan memprediksi partai-partai akan melemah dengan cara yang tak jelas.

Salah satu yang menyebabkan partai melemah, tentu saja, proses pemilihan calon pemimpin di internal maupun eksternal secara serampangan.

Kedua, model borongan itu juga berpotensi buruk bagi tata kelola yang baik (good governance) dan pemerintahan bersih (clean government) di daerah bersangkutan sebagai dampak utang budi pada mayoritas partai yang mendukung, dan ketiadaan kekuatan pengontrol.

Hal itu bisa meneguhkan politik kartel dan demokrasi yang kolusif (collusive democracy).

Terlebih jika kesepakatan koalisi besar itu sejak awal dibarter dengan konsensi kebijakan, kaveling proyek, dan lain-lain yang sifatnya 'bancakan'.

Ketiga, tidak menguntungkan bagi warga.

Sebagai pemilih, warga tak punya banyak pilihan yang kompetitif.

Petahana lawan kotak kosong itu sesungguhnya sekadar menyandarkan cara mekanistik dalam logika demokrasi prosedural akal-akalan.

Meraih suara sah lebih dari 50% bagi paslon tunggal yang melawan kotak kosong sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 bukanlah perkara susah.

Jika kualitas pilkada kita mau naik kelas, saatnya parpol berbenah dan serius memikirkan proses kandidasi yang tidak asal-asalan atau bohong-bohongan!

Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Politcial Literacy Institute Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada Kolom Pakar, harian Media Indonesia edisi, Senin 29 Januari 2018. (lrf)