Dunia dalam Transisi

Dunia dalam Transisi

Bagaimana cara menghadapi korupsi dalam entitas politik di masa kita? Kenapa transisi demokrasi di negara berkembang seperti Indonesia sering membuat banyak kalangan frustrasi, khususnya kalangan anak muda? Bagaimana seharusnya strategi dan teknik mencegah terjadinya kekerasan dan perekrutan anak-anak muda ke dalam kelompok kekerasan? Inilah beberapa pertanyaan yang diajukan kepada saya dalam The Sankofa Lecture Series bertajuk "Sebuah Dunia dalam Transisi" yang digelar Graduate School of Education, Alliant International University, Fresno, California, April lalu. Serial ceramah 'Sankofa' itu berangkat dari filsafat masyarakat Akan, Ghana, tentang 'Sankofa' yang mengandung makna bahwa sukses di masa depan tergantung dari kemampuan memahami dengan tepat kebijakan di masa silam.

Dunia dalam transisi yang penuh gejolak dan ironi. Ada kemajuan sains, teknologi, khususnya dalam bidang informasi, yang tidak pernah terbayangkan di masa silam. Tetapi, pada pihak lain, kemajuan teknologi informasi juga menimbulkan berbagai ekses yang mengganggu sendi-sendi dan keutuhan masyarakat. Informasi instan di TV, internet, atau HP dengan segera dapat menimbulkan gejolak sosial, politik, dan bahkan kekerasan di berbagai tempat di dunia.

Teknologi informasi instan juga menimbulkan respons instan yang sering sulit diantisipasi. Dunia dalam transisi juga terlihat dalam perubahan politik yang begitu cepat, dramatis, dan berjangka panjang di dunia, seperti yang dialami Indonesia yang masuk dalam transisi ke masa demokrasi sejak Mei 1998. Dalam proses selama 10 tahun itu, Indonesia tidak ragu lagi telah menjadi sebuah negara demokrasi, bahkan sering disebut sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di muka bumi. Tetapi, transisi politik ini belum berhasil mengembangkan Indonesia yang bebas dari korupsi. Clean and good governance belum juga terbentuk meski pemberantasan korupsi berlangsung sangat gencar. Sebaliknya, terlihat meningkatnya gejala korupsi dalam entitas politik yang ada sejak dari parpol, lembaga legislatif, eksekutif, dan bahkan yudikatif pada berbagai levelnya.Di tengah perkembangan itu, demokrasi kita kelihatannya masih juga terus berada dalam transisi meski 2008 ini kita merayakan 10 tahun beralihnya Indonesia dari negara otoriter menjadi demokrasi.

Keseimbangan yang seharusnya tercipta dalam proses demokrasi itu belum juga tercapai. Sebaliknya, masih terlihat berbagai ekses khususnya dalam Pilkada, mulai dari ketegangan sosial-politik sampai berbagai bentuk kekerasan dan anarkisme. Demokrasi memang tidak bisa berjalan baik jika tidak disertai dengan kepatuhan kepada hukum, rule of the game, dan penyelesaian masalah secara damai. Dan, tak kurang pentingnya, proses politik dalam transisi menuju demokrasi itu belum mampu mempercepat proses penguatan kembali negara-bangsa Indonesia yang mengalami kemerosotan sejak bermulanya 'Masa Reformasi', 10 tahun lalu.

Meski stabilitas sosial-politik bisa tercapai dalam lima tahun terakhir, penguatan kembali kapasitas negara masih juga belum tercapai sepenuhnya. Akibatnya, negara belum sepenuhnya mampu, misalnya, menegakkan hukum. Dan, dari waktu ke waktu, kita bisa menyaksikan terjadinya tindakan kekerasan yang dilakukan sekelompok warga negara terhadap kelompok warga negara lainnya.Bila hukum tidak tegak, kepastian hukum sulit didapat yang berkombinasi dengan bertahannya kemiskinan dan pengangguran. Maka, anak-anak muda menjadi sangat rentan terhadap rekrutmen ke arah radikalisasi. Janji pemecahan berbagai masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari secara instan dan pintas membuat anak muda mudah tergiur untuk terekrut ke dalam bermacam bentuk radikalisme yang boleh jadi berbungkus politik ataupun agama.Karena itu, penguatan kembali negara menjadi agenda paling krusial dan esensial bagi pencapaian keseimbangan dalam proses demokrasi. Bukan hanya menyangkut kekuatan politik di masyarakat; bukan hanya pada lembaga negara--eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tetapi, juga dalam perkembangan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, agama, dan sebagainya.

Kepincangan dalam bidang-bidang kehidupan itu menimbulkan berbagai masalah yang pada gilirannya mengganggu penguatan demokrasi.Indonesia jelas tidak bisa terus berada dalam masa transisi. Momentum yang paling tepat untuk mengakhiri transisi itu adalah Pemilu 2009. Untuk mewujudkan agenda tersebut, dalam waktu tersisa sekitar belasan bulan saja, langkah-langkah konsolidatif dalam kehidupan sosial politik mulai dilakukan. Kalau tidak, hasilnya hanyalah peningkatan friksi dan konflik masyarakat yang dapat berujung pada kegagalan kita dalam penguatan demokrasi dan sekaligus mengakhiri transisi tersebut.
 

Artikel ini pernah dimuat di Harian Umum Republika, Kamis 22 Mei 2008Â