Drama Debat Ketiga

Drama Debat Ketiga

Ibarat sebuah alur drama, debat ketiga yang akan mempertemukan KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno menjadi salah satu debat yang ditunggu pemirsa.

Publik sudah punya referensi terkait penampilan Jokowi dan Prabowo di panggung debat mereka berdua sudah bertarung sejak 2014.

Sementara itu, bagi KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno, ini kali pertama mereka akan berdebat tanpa capresnya. Akankah mereka tampil impresif di panggung debat ketiga?

Momentum pembuktian Saat debat perdana dalam formasi lengkap capres dan cawapres, KH Amin dan Sandiaga Uno sudah berjumpa.

Namun, pemikiran, gagasan dan peran mereka belum optimal yang disebabkan perhatian publik lebih banyak tertuju ke para capresnya.

Dari sudut manajemen forum, keduanya belum leluasa mengelaborasi banyak hal terkait tema karena keterbatasan waktu dan peran.

Kini, kesempatan telah tiba untuk membuktikan diri masing-masing bahwa mereka layak di posisi saat ini. Sebagai calon wakil presiden yang akan mendampingi pemimpin nasional jika mereka terpilih, posisinya sangat strategis. Debat ketiga menjadikan momentum menjadikan pembuktian diri bahwa mereka berdua bukanlah pelengkap apalagi pengembira.

Kekuatan gagasan, basis data, artikulasi argumentasi, balutan bahasa dan bingkai sikap serta tindakan mereka akan menjadi bahan utama dipanggung drama debat ketiga.

Paling tidak, ada dua faktor yang harus dibuktikan oleh keduanya di panggung debat ketiga. Pertama, pengusasaan isi pesan (content of message) terkait tema yang menjadi pembahasan.

Debat ketiga mengangkat tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, serta sosial, dan kebudayaan. Tema-tema ini sangatlah fundamental.

Bahkan, dalam ragam survei persepsi kerap d-rangking sebagai isu penting dan menyentuh kehidupan khalayak luas. Gagasan dan program tentang tema-tema ini sangatlah strategis didengar rakyat Indonesia.

Denton dan Woodward dalam bukunya, Ethical Dimensions of Political Communication (1991) mengingatkan, komunikasi politik bukan semata sumber atau komunikator, melainkan juga isi pesan dan tujuannya.

Jika isi pesannya tidak jelas akibat penguasaan yang lemah terhadap data dan argumen, sangatlah mungkin paparan cawapres tak akan pernah bisa menggambarkan tujuan mereka untuk memperbaiki Indonesia lima ahun ke depan.

Bagi KH Ma’ruf Amin, sebagai cawapres dari pejawat, penting memberikan keyakinan kepada khalayak dari apa yang sudah diperbuat Jokowi selama hampir lima tahun ini dan perbaikan sejumlah kekurangan jika mereka terpilih.

Di tema pendidikan, misalnya, ada persoalan tentang kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum optimal, fasilitas pendidikan yang merata, sistem kurikulum yang harus mengadaptasi perubahan, dan lain-lain.

Di tema kesehatan, misalnya, problem BPJS dan lain-lain yang masih bermasalah. Persoalan menyangkut perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, serta ragam persoalan sosial dan kebudayaan yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah.

Sementara Sandiaga Uno, wajib artikulatif menyodorkan proposal baru perbaikan ke depan. Jika tidak menghadirkan hal-hal baru, biasanya publik cenderung lebih memilih melanjutkan yang sudah ada saat ini.

Kedua, aspek menajemen forum yang pasti akan terhubung dengan manajemen kesan (impression management) di panggung debat.

Terlepas dari hakikat debat yang ditunjukkan untuk pendidikan politik bagi khalayak, tak bisa disangkal dimensi manajemen kesan juga menjadi hal berarti.

Dalam cara pandang Teori Dramaturgi, Erving Goffman di bukunya, Presentation of Self in Everyday Kife (1959), Dramaturgi berorientasi pada manajemen kesan. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor dituntut mempersiapkan kelengkapan pertunjukan.

Kelengkapan ini, antara lain, setting, kostum, penggunaan kata (dialog), dan tindakan nonverbal lain dengan tujuan meninggalkan kesan baik pada penonton guna memuluskan jalan pencapaian tujuan.

Dalam Dramaturgi, tujuan hakiki presentasi diri adalah penerimaan penonton. Selama enam segmen debat, kedua cawapres diharapkan tampil prima dan menunjukkan performa komunikatifnya secara optimal.

Kedua sosok cawapres memiliki banyak hal yang kontras, KH Ma’ruf Amin sosok politikus ulama senior yang sudah berpengalaman, baik di aras politik partai, DPRD, DPR RI, ataupun organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yakni NU.

Sementara Sandiaga Uno, muda dan energik, pebisnis andal, baru saja memenangi kontestasi di wilayah prestisius DKI Jakarta bersama Anies Baswedan.

Perbedaan inilah yang mengharuskan keduanya bisa menjalankan strategi yang tepat di atas panggung, agar debat menjadi insentif elektoral bagi mereka.

Hambatan psikologis

Salah satu yang harus diatasi di debat ketiga oleh keduanya adalah hambatan psikologis (psychological barriers). Bagi KH Ma’ruf Amin, hambatan psikologis yang mungkin ada adalah posisinya sebagai ulama, tentu banyak yang berharap KH Ma’ruf Amin menjadi contoh sosok dengan keluhuran budi pekerti termasuk saat berdebat.

Bagi Sandiaga Uno, hambatan psikologis yang bisa muncul adalah penghormatan terhadap sosok KH Ma’ruf Amin sebagai tokoh senior sekaligus ulama yang dihormati di kalangan umat Islam, khususnya NU.

Dari situasi ini, sepertinya kedua cawapres tak akan mengambil pilihan agresivitas verbal dalam berdebat. Pengemasan argumentasi dan artikulasi gagasan akan mengarah ke pilihan aman, tidak asertif, dan drama lebih banyak dibumbui aspek sentuhan psikologis.

Mungkin KH Ma’ruf Amin akan lebih banyak menampilkan sosok politikus senior yang bijak dan tenang, sementara Sandiaga Uno cenderung akan lebih banyak berbicara taktis ke data dan program dengan gimmick penghormatan mendalam pada sosok kiai yang menjadi lawan debatnya.

Konsekuensinya, debat ketiga ini sepertinya tak akan melahirkan banyak kejutan berarti selain konfirmasi-konfirmasi atas banyak hal yang selama ini sudah berseliweran di ragam kanal-kanal warga terkait tema. Drama debat ketiga baru akan memuncak menjadi kejutan, jika ada salah satu dari keduanya mengambil cara tidak bisa, yakni tampil menyerang di isu-isu yang tak terduga. Debat membutuhkan dialektika bukan semata drama yang ala kadarnya.

Dr Gun Gun Heryanto Msi, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Koran Republika, 15 Maret 2019. (lrf/mf)