Dokter (bukan) ‘Manusia Setengah Dewa’

Dokter (bukan) ‘Manusia Setengah Dewa’

DULU, dokter ibarat dewa. Ia dipercaya bisa membuat orang sekarat kembali sehat. Begitu dipercayanya, dokter pun dimitoskan seperti dewa, yang selalu benar. Karenanya, apapun yang dilakukan, dokter dianggap tak pernah salah. Masyarakat percaya, jika sudah ditangani dokter semua penyakit akan sembuh. Kalau pun tidak sebuh, atau meninggal dunia, orang akan bilang itu sudah menjadi ajalnya. Padahal, bisa jadi, seorang dokter salah mendiagnosa atau salah memberi resep kepada pasiennya sehingga meninggal dunia. Praktis jarang ditemui keluarga pasien yang memprotes dokter.           

Tapi itu dulu, ketika masyarakat belum kritis seperti sekarang. Kini, dokter tak bisa berbuat ‘seenaknya’. Selain diawasi kode etik profesi, -bukan berarti dulu tidak- pasien pun kini berani mengevaluasi kinerja dokter. Ketika penyakit yang diderita pasien makin parah, atau justru bertambah penyakitnya, masyarakat mencurigai ada malapraktek. “Sekarang dokter tidak lagi dianggap setengah dewa,” tutur Sholahuddin Wibisono, Direktur Rumah Sakit Syarif Hidayatullah kepada DINAMIKA di kantornya, beberapa waktu lalu.             Pria kelahiran Klaten 15 April 1961 ini, melihat profesi kedokteran kini tengah menjadi sorotan publik. Publik berharap, jika masuk rumah sakit maka penyakit yang diderita pasti sembuh. Padahal, bisa jadi saking parahnya suatu penyakit, sehingga mungkin saja tak lagi bisa tertolong. Paradigma pasien kini memang telah berubah. Wibi, demikian ia biasa disapa, mengibaratkannya seperti mobil penyok yang di-service di bengkel. “Kita nggak mau tahu, yang penting keluar dari bengkel mulus lagi,” tukasnya. Itu pula yang dikatakan pasien ke rumah sakit. Pasien kini seperti raja dan kami adalah pelayan mereka.           

Merespons paradigma yang telah berubah itu, melalui RS Syarif Hidayatullah, Wibi menawarkan perawatan yang prima. Semua prosedur penanganan terhadap pasien diterapkan. Untuk mengawasi kinerja dokter, ia membentuk Komite Medik. Mereka memastikan bahwa prosedur dan cara pengobatan telah dijalankan dengan benar. Di samping itu, rumah sakit ini juga menawarkan pengobatan yang tak sekadar menyembuhkan secara fisik. Aspek psikis dan spiritualnya pun ke depan menjadi prioritasnya.Wibi berusaha menghadirkan sebuah oase, rumah sakit yang bernuansa Islam dan mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien. Meski RS Syarif Hidayatullah terbilang baru dan masih kecil tapi tekad itu terus dipegangnya. “Tidak perlu terlalu besar,  kami ingin memberikan pelayanan yang paripurna, yang terbaik,” tegasnya. Dengan pelayanan yang prima, ia berharap RS Syarif Hidayatullah memiliki citra yang positif dan dipercaya masyarakat.            

Sejak dipercaya memimpin RS ini, ia mulai mengembangkan sejumlah program. Mulai dari pembenahan sumber daya manusia (SDM), pelayanan, hingga pembentukan sejumlah badan yang mengawasi kinerja dokter. Dokter yang murah senyum ini, ingin menjadikan RS yang dapat melayani segala jenis pelayanan, mulai dari promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. Jika sebelumnya ketika masih menjadi poliklinik, belum bisa melayani kuratif, kini setelah menjadi RS ia bisa merawat inap pasien. Untuk rehabilitatif, ia mengakui karena usia RS yang masih muda, belum sepenuhnya dapat ditangani. Misalnya, orang yang sudah cacat jantungnya RS Syarif Hidayatullah belum bisa menangani. “Tapi minimal kita sudah bergerak lebih maju dari sebelumnya,” tegasnya. 

Dorongan Orang Tua

Profesi dokter yang kini dilakoni ayah dua anak ini, mulanya bukan pilihan pribadinya. Melainkan keinginan kedua orang tuanya. “Dulu saya tidak tertarik pada kedokteran. Itu keinginan orang tua saya. Saya lebih senang teknik,” tegasnya. Karena itu pula, ia sempat berpindah-pindah kuliah.            

Diawali tahun 1980, selepas lulus SMA, ia melanjutkan pendidikan di Jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB). Tapi, di sana ia hanya tahan setahun. Sebab, ia kerap dicibir beberapa teman sepermainannya. “Mau jadi apa kuliah di jurusan Fisika? Mau jadi guru,” tutur  Wibi menirukan cibiran teman sepermainannya dulu. Karena tak tahan, ia memutuskan untuk berhenti dari ITB. Atas dorongan orang tuanya, tahun 1981 Wibi mengikuti ujian saringan masuk Universitas Indonesia (UI), ia pun diterima di Fakultas Kedokteran.           

Tapi, meski telah dua tahun menjalani kuliah di Fakultas Kedokteran, jiwa teknik Wibi tak bisa diam, di tahun kedua kuliahnya itu ia memutuskan untuk kembali mengikuti ujian saringan masuk UI, kali ini yang dibidik adalah Jurusan Teknik Sipil. Dan benarlah, ia diterima di jurusan itu. Maka, ia pun kuliah di dua jurusan sekaligus. Hanya, itu tak sempat berlangsung lama.Sebab, rupanya, lambat laun kedua orang tuanya khawatir. Mereka sedari awal lebih menginginkan Wibi menjadi dokter. Pantas saja, ketika Wibi hendak memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya di kedokteran dan memilik teknik, mereka menentangnya. Ibunya, bahkan sampai menangis untuk menahannya. “Sudahlah jangan pindah-pindah terus,” kata Wibi menirukan ucapan Ibunya, Muntamah (Alm.) berpuluh tahun silam.           

Wibi pun akhirnya mengikuti anjuran orang tuanya. Ia menyadari, keinginannya yang terlampau banyak, justru akan membuat konsentrasinya terpecah. Dengan kesadaran itu, ia menjadi mantap untuk melanjutkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran hingga lulus tahun 1987. Sejak saat itu, ia pun mulai enjoy menjalani profesi di dunia kedokteran.           

Karirnya di Rumah Sakit (dulu Puskes, berganti Poliklinik) Syarif Hidayatullah dimulai sejak tahun 1990. Sebelumnya, selama dua tahun, selepas menamatkan pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran UI, ia sempat bekerja di sejumlah poliklinik. Pada tahun itu, ia mendapat tawaran untuk bekerja di  Pusat Kesehatan (Puskes) Syarif Hidayatullah. “Saya diminta Pak Ali Ibrahim (Ketua Yayasan) untuk bekerja di sini,” kenangnya. Ia pun menyanggupi, dengan syarat ia diakui secara resmi bekerja di sana. Maka, sejak tahun 1990 ia memulai karirnya di Puskes IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.            

Kondisi Puskes Syarif Hidayatullah, ketika Wibi pertama kali masuk, tak sebagus sekarang. “Lantainya hanya plester biasa, di sana-sini banyak tambalan,  catnya pun sudah memudar, sangat tidak menarik. Karena itu pasien per hari rata-rata hanya 10-12 pasien, itu pun kebanyakan dari IAIN. Pasien umum sangat sedikit,” tuturnya.            

Di awal karirnya ia dipercaya menjadi sekretaris klinik, ketuanya ketika itu dijabat dr. Dibyo, yang kemudian diganti dr. Waluyo. Amanat itu tak ia sia-siakan. Ia segera ikut membenahi klinik sehingga menjadi menarik. Awalnya, pembenahan fisik dilakukan, lantainya diganti keramik. Profesionalitas pelayanan ditingkatkan. Kemudian, ia pun memberanikan diri untuk memberi gaji/honor kepada dokter.           

Wibi dan Klinik Syarif Hidayatullah sepertinya berjodoh, hingga kini ia telah 18 tahun berkiprah di sana. Ia terlibat sejak masih bernama Puskes, Klinik, hingga kini menjadi Rumah Sakit. Sepanjang karirnya itu, Wibi telah makan asam garam dunia kedokteran bersama keluarga besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.            

Kini dengan jabatannya sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Syarif Hidayatullah Jakarta, Wibi mengabdikan sebagian besar waktunya untuk mengembangkannya. Ia ingin dengan berubah menjadi rumah sakit, akan lebih banyak manfaatnya bagi masyarakat. RS Syarif Hidayatullah ingin menjadi rumah sakit bernuansa Islam. Karena itu, ke depan para dokter diharapkan tak sekadar menyembuhkan secara fisik, tapi juga secara psikis diharapkan dapat menyentuhnya. “Saya ingin dokter melayani pasien dengan ramah, memberikan penjelasan yang jelas, dan waktu yang cukup,” harapnya. Namun mencari dokter yang demikian, kini dirasa masih langka.            

Di tahun 2008 ini, Wibi juga berharap program bimbingan rohani bagi pasien sudah dapat berjalan. Terutama bagi pasien-pasien yang akan dioperasi. Mereka dibimbing untuk berdoa agar cepat sembuh. Apalagi, lanjutnya, Ketua Yayasan sendiri (Prof Abudin Nata), sangat mendorong hal itu. Di dunia kedokteran, dokter yang memilki moto hidup membuat semua orang senang ini, tergabung dalam sejumlah organisasi, diantaranya Majelis Syura Kesehatan Islam (MUKISI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), dan Persatuan Manajer Rumah Sakit Indonesia (Permakin). Ia pun aktif mengikuti sejumlah seminar perumahsakitan.           

Minatnya yang begitu tinggi pada teknik, mengantarkannya pada berbagai hoby yang terkait dengan teknik. Salah satunya aeromodelling atau permainan pesawat model yang terbang dengan kendali radio kontrol. Ia mulai tertarik pada permainan yang masih terbilang mewah ini, sejak SMP bersama teman-temannya di al-Azhar. Dulu ia bisa merakit sendiri pesawat itu, tapi sekarang ia membelinya dalam bentuk jadi, karena tak sempat lagi. Hingga kini, ia acapkali bermain di Pondok Cabe, Alam Sutera, dan Halim Perdanakusuma.Sejak tiga tahun lalu, ia bahkan selangkah lebih maju, tak sekadar pesawat mainan yang ia operasikan, pesawat  sungguhan pun ia sudah bisa menerbangkannya. Pesawat itu ia dapatkan dari pinjaman pasien yang kebetulan hoby aeromodelling. “Suatu ketika ada pasien yang pernah saya lihat di majalah aeromodelling, saya coba tegur ternyata benar, dia malah menawari saya untuk menggunakan pesawatnya yang sudah tak dipakai,” tuturnya. Tawaran itu pun ia sambut. Berbekal pesawat pinjaman itu, Wibi belakangan kerap mengikuti terbang bermotor di Pondok Cabe. Area terbangnya masih terbilang dekat, seperti ke Lido, Puncak, atau terjauh ke Anyer. “Itu sekadar menyalurkan hoby, untuk mengurangi stress,” tegasnya. Meski ia lahir di Klaten, Jawa Tengah, tapi masa kecilnya ia habiskan di Ciputat. Sejak usianya setahun, orang tuanya yang bertugas mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta membawanya ke Ciputat. Sejak kecil, orang tuanya menanamkan disiplin dan kemandirian. Pembagian tugas dalam keluarga dilakukan. Wibi sendiri, kebagian untuk menyapu dan mengepel lantai. Di samping itu, terkadang ia pun ikut membantu ibu berjualan kue. Orang tua Wibi sangat menekankan pendidikan bagi anak-anaknya.

Setiap hari ia harus meluangkan waktu untuk belajar. Ada peristiwa yang hingga kini masih membekas dalam benak Wibi. Suatu ketika orang tuanya tahu Wibi lemah dalam pelajaran fisika. Ayahnya pun menyuruh Wibi mengikuti kursus Fisika dengan salah seorang teman Ayahnya yang tinggal di kompleks dosen IAIN. Karena malas, orang tuanya memarahinya hingga ia menangis. “Memang dari segi pendidikan orang tua menanamamkan kita harus bisa. Semua adik-adik saya alhamdulillah sudah sukses dalam pendidikan. Meskipun kerjanya biasa-biasa saja, tapi orang tua kami sudah berhasil mendidik anak-anaknya,” tegasnya. Suasana Ciputat tahun 1960-an ketika Wibi kecil, berbeda dengan sekarang, kondisi Ciputat ketika itu masih sangat asri. “Pulang sekolah biasanya saya pergi mancing di Danau Gintung atau mencari burung di ladang. Saya sangat menikmati masa kecil dulu,” ungkapnya. Ia membandingkan, kenikmatan bermain di alam yang ia rasakan dengan anak-anak generasi sekarang jauh berbeda. “Kalau dulu saya mancing di danau, anak sekarang mancingnya di layar televisi, saya kasihan pada mereka” tukasnya. Sebagai dokter, ia mengamati perbedaan anak-anak sekarang dan dulu. Anak sekarang memang tampak cerdas, agresif, tapi dalam banyak hal mereka malas mengerjakan hal-hal yang teknis di rumah, seperti melipat baju sendiri, menaruh di kerjanjang. “Sekarang, semua dikerjakan oleh pembantu, mereka menjadi manja,” ungkapnya.  

Dunia kedokteran kini telah menjadi aktivitasnya sehari-hari, meski pada awalnya pilihan itu didorong orang tuanya, tapi kini ia menikmatinya. “Jadi dokter ibarat tukang cukur, ia mengerjakan pekerjaan dari awal hingga akhir. Dokter mengobati dari awal hingga pasien sembuh. Ada kepuasan tersendiri jika pasien yang kita tangani sembuh,” tuturnya. [] Moh. Hanifudin Mahfuds