Diversifikasi Peran Perguruan Tinggi Islam

Diversifikasi Peran Perguruan Tinggi Islam

Nanang Syaikhu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (UIN Jakarta) kini genap berusia 66 tahun. Prof Dr Komaruddin Hidayat saat masih menjabat Rektor UIN Jakarta sempat mengungkapkan harapannya agar UIN Jakarta mengemban peran ganda. Ia mengatakan sebagai lembaga pendidikan Islam, UIN Jakarta juga bisa berperan sebagai ‘lembaga fatwa’ semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Menurut Rektor, dirinya selama ini kerap diminta media massa untuk menanggapi sejumlah isu nasional terkait masalah sosial keagamaan, bahkan politik. Dalam konteks tersebut, ia terkadang tidak mewakili sebuah institusi, tetapi lebih sebagai gagasan pribadi. Karena itu, menurut Komaruddin, pada masa mendatang UIN Jakarta harus pula memerankan diri sebagai lembaga fatwa seperti halnya Universitas Al-Azhar Kairo melalui lembaga kemuftian.

Meski demikian, Komaruddin menyadari bahwa UIN Jakarta selama ini belum mampu memerankan diri sebagai pemberi fatwa. Peran UIN Jakarta masih sebatas sebagai lembaga penyelenggara pendidikan dan pengajaran.

Apa yang dikemukakan Komaruddin (Rektor UIN Jakarta periode 2026-2015) tampaknya menarik. Paling tidak untuk melihat sejauh mana dunia perguruan tinggi berperan bagi masyarakat dan dalam batas-batas mana pula peran tersebut diberikan.

Menurut UU No 22/1961 tentang Perguruan Tinggi Pasal 1, perguruan tinggi ialah lembaga ilmiah yang mempunyai tugas menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran di atas perguruan tingkat menengah dan yang memberikan pendidikan serta pengajaran berdasarkan kebudayaan kebangsaan Indonesia dan dengan cara ilmiah.

Sementara itu, tujuan perguruan tinggi (Pasal 2) ialah (1) membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila dan bertanggung jawab akan terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur, materiel, dan spiritual; (2) menyiapkan tenaga yang cakap untuk memangku jabatan yang memerlukan pendidikan tinggi dan yang cakap berdiri sendiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan; dan (3) melakukan penelitian serta usaha kemajuan dalam lapangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kehidupan kemasyarakatan.

Secara garis besar, peran perguruan tinggi dibagi ke dalam tiga ranah yang disebut tridarma perguruan tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun, dari tiga ranah peran perguruan tinggi itu, ranah akademik (pendidikan/pengajaran) tampaknya masih mendominasi di banyak perguruan tinggi. Hal itu berasumsi bahwa bidang akademik merupakan core suatu perguruan tinggi sehingga karenanya peran lain menjadi sedikit ‘kurang perhatian’.

Dalam konteks peran diversifikasi di atas, perguruan tinggi sejatinya memang tidak menjadi menara gading. Pengabdian kepada masyarakat bagaimanapun harus tetap mendapat penanganan yang sama dengan bidang akademik (baca: pendidikan dan pengajaran), termasuk dalam bidang penelitian. Sayangnya, lagi-lagi mengingat adanya kecenderungan yang lebih memperhatikan bidang pendidikan dan pengajaran tadi, peran perguruan tinggi di ranah masyarakat acap tertinggal. Bidang pengabdian kepada masyarakat selama ini hanya bertumpu kepada program kuliah kerja nyata (KKN) yang kegiatannya sangat normatif dan konvensional.

Dalam hal ini, respons perguruan tinggi terhadap masyarakat umumnya hanya ‘dilayani’ melalui program KKN yang sudah menjadi agenda tahunan. Padahal, jika dilihat dari kompleksitas permasalahannya, fenomena di masyarakat jelas sangat memerlukan penanganan secara multidisiplin dan holistik, yakni bukan hanya dari satu aspek, melainkan banyak aspek. Demikian pula tak hanya dilakukan melalui terapi sesaat, melainkan harus berjangka panjang dan berkesinambungan.

Karena itu, peran perguruan tinggi seyogianya memang tak melulu berkutat dengan program-program yang bersifat ad hoc seperti model KKN. Peran lain dapat dilakukan dalam lingkup yang lebih luas dan bersifat proaktif, semisal ikut merespons berbagai fenomena aktual yang terjadi di tengah masyarakat, khususnya di bidang sosial keagamaan atau dalam hal-hal tertentu yang membutuhkan kepastian hukum.

UIN Jakarta sebagaimana yang diharapkan Komaruddin tampaknya cukup beralasan jika melakukan upaya diversifikasi peran terhadap masyarakat. Lebih-lebih sebagai perguruan tinggi Islam, peran itu jelas akan banyak dibutuhkan mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Karena itu, UIN Jakarta dan perguruan tinggi Islam lainnya harus berkomitmen bahwa apa pun permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia merupakan juga tanggung jawab segenap insan akademis di perguruan tinggi, personal, maupun komunal.

Tantangan ke depan

Sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam, baik UIN Jakarta maupun perguruan tinggi Islam lainnya, diversifikasi peran kemasyarakatan tersebut sudah seharusnya menjadi perhatian serius. Bahkan, dalam tantangan ke depan, masalah yang dihadapi masyarakat tak hanya terkait dengan isu-isu aktual di bidang sosial keagamaan ansich. Tak kalah pentingnya ialah bagaimana menghadapi isu-isu global di bidang sains dan teknologi informasi.

Di era disrupsi, berkembangnya sains dan teknologi tak dapat dinafikan. Di satu sisi, kemajuan bidang sains dan teknologi telah berkontribusi besar bagi kemaslahatan hidup manusia. Namun, di sisi lain digitalisasi pada semua aspek kehidupan juga bisa membawa akibat yang tidak wajar dan di luar nalar. Sekarang ini berkembang apa yang disebut kecerdasan buatan (AI) seperti ChatGPT atau yang lainnya. AI dalam kenyataannya telah berkembang cukup jauh bahkan melampaui batas-batas kemanusiaan itu sendiri.

Oleh karena itu, dalam menghadapi era disrupsi yang serbacanggih, sekali lagi, peran dan tanggung jawab perguruan tinggi Islam ‘dipertaruhkan’. Setidaknya, tanggung jawab perguruan tinggi Islam tidak semata secara akademis, tetapi juga moral dan nilai-nilai kemanusiaan.

Islam sendiri tidak melarang manusia menggunakan akalnya untuk maju dan berkembang serta berperadaban tinggi. Itu disebabkan di banyak ayat Al-Qur’an, Allah SWT justru mendorong agar manusia banyak berpikir, berkreasi, dan berinovasi terhadap makhluk ciptaan-Nya. Cuma satu yang dilarang dalam Islam, yakni manusia memikirkan tentang Tuhan-nya.

Pertanyaannya, apakah perguruan tinggi Islam di Indonesia mampu memerankan diversifikasi dirinya sebagai sebuah ‘lembaga fatwa’? Atau apakah perguruan tinggi Islam seperti UIN Jakarta dapat menjadi penjaga moral dan nilai-nilai kemanusiaan atas kemajuan bidang sains dan teknologi yang dihadapinya?

Untuk menjawab hal itu, tampaknya masih membutuhkan pemikiran mendalam dari kalangan ahli di UIN Jakarta. Demikian pula terkait dengan sistem kelembagaannya dapat dirumuskan secara bersama agar tak tumpang tindih dengan yang lain. Harapan ke depan, semoga UIN Jakarta sebagai salah satu perguruan tinggi keagamaan Islam dapat memerankan diversifikasinya tersebut. Selamat berulang tahun. (ZM)

Penulis adalah Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dimuat Media Indonesia, Selasa 25 Juli 2023. Artikel bisa diakses di https://mediaindonesia.com/opini/599116/diversifikasi-peran-perguruan-tinggi-islam