Disonansi Pemilih Mekanistik

Disonansi Pemilih Mekanistik

PERHELATAN pemilu dalam praktik demokrasi prosedural di Indonesia hingga kini masih menempatkan elite politik sebagai pusat. Kelompok elite senantiasa menjadi kekuatan dominan yang menyubordinasi rangkaian proses tindakan sosial dalam pemilu tanpa memberi akses leluasa bagi publik untuk mendapatkan pemberdayaan politik (political empowerment) yang memadai.

Pemilu dengan segala ingar-bingarnya seolah menjadi momentum milik para pemimpin partai, caleg,capres,serta cawapres. Penetrasi elite dilakukan mulai dari berbagai varian media massa hingga ke lingkup keluarga,organisasi, dan kelompok masyarakat.Akan tetapi berbagai sentuhan politik yang dilakukan elite berjalan linear menuju pencapaian kepentingan mereka sehingga pemilu sangat berpotensi besar mengakibatkan terjadinya disonansi kognitif daripada menjadi momentum transformasional.

Pendekatan Instrumental

Bila kita amati perkembangan aktual belakangan ini,perbincangan publik tentang pemilu telah memberi ruang luar biasa pada berbagai manuver, intrik,serta strategi para capres dan cawapres. Energi kita tersedot ke dalam pusaran pemetaan kelompok elite di empat poros utama,yakni blok S (SBY), blok J (Jusuf Kalla),blok M (Megawati), blok T (Poros Tengah yang hingga kini belum jelas konsolidasi politiknya).

Berbagai lobi dan negosiasi secara intensif dilakukan elite dalam kuadran yang memungkinkan mereka merasa everybody happy everybody lucky. Sebuah mekanisme dagang politik yang menempatkan para inisiator berada dalam wilayah aman Zona of Possible Agreement (ZOPA) dan leluasa mengantongi hasil maksimal atau paling tidak berada di titikterendah tawaran yang bisa ditoleransi hingga dapat ikut serta ke dalam kesepakatan (reservation price).

Media massa pun turut dalam proses pengarusutamaan (mainstreaming) elite dengan melakukan pembingkaian pada setiap pergerakan mereka. Berbagai pernyataan,aneka rupa acara silaturahmi,sejumlah rapimnas partai politik dan lain-lain praktis menjadi menu utama media massa. Mari kita amati bagaimana perbincangan publik soal keterlambatan sosialisasi pemilu oleh KPU justru berada di wilayah isu pinggiran. Dalam berbagai simulasi, banyak warga pemilih yang belum paham apakah mereka mencontreng atau mencoblos,tapi hal itu dianggap bukanlah sesuatu yang mendesak untuk diatasi.

Padahal sosialisasi pemilu––terlebih di Indonesia sebagai negara kepulauan–– membutuhkan kerja intensif, sistematik, serta tepat sasaran. Setali tiga uang dengan KPU, partai politik pun lebih sibuk menghitung peluang dan menjadikan pemilih sebagai sekumpulan jumlah layaknya benda yang menjadi komoditas partai untuk memenangi pertarungan. Logika berdemokrasi melalui pendekatan instrumentalistik yang menjadikan pemilih hanya sebagai instrumen pencapai tujuan elite dan partai politik.

Meminjam formula dari pemikir Martin Burber yang membedakan Ithou relationship (hubungan saya dengan Anda sebagai manusia) dan I-it relationship (hubungan saya dengan Anda sebagai benda),sikap elite politik kita dalam memperlakukan pemilih jelas bertipe kedua. Sebuah langkah yang menempatkan pemilih dalam kategori mekanistik atau bisa diset layaknya mesin dan disesuaikan dengan kebutuhan elite serta partai yang pada saat pencoblosan tiba pemilih akan dikonversi menjadi sejumlah hitungan kuantitatif.

Pemilih Mekanistik

Pemilu 2009 yang kian dekat ternyata juga masih didominasi berbagai faktor yang kian memapankan dan melembagakan jenis pemilih mekanistik ini. Paling tidak ada tiga factor dominanyang menyumbang proses pemapanan ini. Pertama,kita melihat adanya upaya sengaja, intensif, dan berkelanjutan ya n g dilakukan oleh elite untuk terus memelihara basis massa tradisional dengan pendekatan manipulasi ideologi dan kekuatan referensi (reference power).

Yang dimaksud dengan manipulasi ideologi adalah partai politik maupun elite secara terencana “memenjarakan”pemilih di basis-basis kantong pemilihannya dengan membawa mereka pada tema- tema fantasi yang memesona dan menyatukan pemilih pada satu bentuk konvergensi simbolik. Menurut Ernest G Bormann (1983), konvergensi simbolik akan menghasilkan tema-tema fantasi melalui visi retorik. Fantasi sendiri merupakan asumsi pengetahuanbersamayangdidasarkan pada penguasaan realitas di benak anggota kelompok.

Partai menjelang pemilu kembali intensif mencitrakan dirinya sebagai representasi ideologi tertentu,padahal dalam praktiknya sama sekali bertolak belakang. Salah satu pengikat manipulasi ideologi juga bisa dalam bentuk pemanfaatan tokoh besar untuk dijadikan rujukan dan membawa fantasi kian membubung tinggi.

Kita bisa melihat di berbagai spanduk,baliho,iklan media, tokoh- tokoh seperti Soekarno,Hatta,Ali Sadikin,Wahid Hasyim,Hasyim Asy’ari kembali dihidupkan.Upaya menawarkan basis ideologi dan tokoh-tokoh anutan nasional sah-sah saja selama memang memiliki komitmen untuk mengimplementasikan nilai-nilai normatif ideologi dan pemikiran tokoh tersebut dalam pendidikan politik terhadap pemilih yang menjadi kader partai atau elite. Kedua,maraknya elite yang mencalonkan diri dan memersuasi pemilih dengan pendekatan kekuatan hadiah (reward power).

Proses membeli pemilih dengan kekuatan finansial melalui beragam suntikan uang, barang, dan fasilitas. Proses transaksi yang mengharuskan elite memberi dan pemilih bersedia patuh pada kendali,seolah lumrah dalam sebuah kontestasi. Pendekatan ini sama saja dengan terus melembagakan mata rantai dari dosa pemilu yang akan melahirkan kesadaran palsu pemilih. Ketiga, masih kurangnya sensitivitas media massa pada pemilih dalam peranannya sebagai ruang publik.

Media massa kita saat ini memang sedang menikmati peningkatan belanja iklan politik dari partai dan caleg serta kandidat capres-cawapres. Isu “seksi” yang laku jual pun selalu mengalir dari elite sehingga kelompok elite selalu mendapatkan porsi pemberitaan yang lebih memadai,sementara pemilih yang seharusnya menjadi simpul utama demokrasi dalam proses dari oleh dan untuk masyarakat justru kurang mendapat perhatian. Contoh aktual adalah penyusunan DPT yang hingga kini masih karut-marut.Hanya sedikit media yang benar-benar melakukan kontrol atas terlindunginya hak-hak warga negara sebagai pemilih.

Disonansi Kognitif

Jika pemilu hanya melahirkan pemilih mekanistik, sudah barang tentu hal itu dapat mengakibatkan disonansi kognitif. Dalam pandangan Leon Festinger (dalam Shaw & Constanzo,1982), disonansikognitif dipahamis ebagai ketidakcocokan hubungan antarelemen kognisi.

Pengetahuan, pendapat, keyakinan atau apa yang dipercayai tentang dirinya sendiri dan lingkungannya merupakanbagiandarielemen-elemen pokok kognisi. Dalam konteks pemilu,jika masyarakat memahami pemilu sebagai mekanisme demokrasi yang dapat membawa perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik sementara dalam praktiknya hanya menjadi rebutan jabatan antara elite partai politik, hal itu akan melahirkan hubungan disonan atau penyangkalan di tingkatan pemilih.

Ini merupakan keadaan psikologis yang tidak menyenangkan yang timbul saat dalam diri pemilih terjadi konflik antara dua kognisi, yakni antara pengetahuan mengenai pentingnya menggunakan hak pilih sebagai wujud partisipasi politik dalam pemilu dan ketidakyakinan terhadap kualitas pelaksanaan pemilu itu sendiri. Inilah yang oleh para ahli teori disonansi kognitif seperti Festinger disebut sebagai inkonsistensi logis. Disonansi kognitif yang tak teratasi dengan baik bisa menjadikan pemilih apatis, bahkan apolitis, di kemudian hari.

Pemilu seyogianya tidak sematamata melahirkan fantasi-fantasi tak bermakna,melainkan harus menjadi momentum pemberdayaan sehingga terbentuk pemilih rasional (rational voter) yang memiliki daya tawar.(*)

Tulisan ini pernah dimuat di Seputar Indonesia, 10 Maret 2009.Penulis adalah Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Fakultas Dakwa dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta