Direktur Diktis: Kurikulum PTKIN Perlu Pertajam Nalar Kritis Mahasiswa

Direktur Diktis: Kurikulum PTKIN Perlu Pertajam Nalar Kritis Mahasiswa

Ruang Diorama, BERITA UIN Online— Kurikulum pembelajaran di lingkungan PTKIN perlu menekankan pendidikan bernalar kritis atau critical thinking education. Ini diperlukan agar mahasiswa dan lulusan PTKIN mampu memfilter informasi berlimpah yang didapat dari berbagai media.

Demikian disampaikan Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kemenag RI, Prof. Dr. Arskal Salim GP MA, saat menjadi pembicara pada Forum Rektor PTKIN di Ruang Diorama, Gd. Harun Nasution, Senin (18/2/2019). Selain Rektor UIN Jakarta, Prof. Dr. Amany Lubis MA, forum kali ini diikuti sejumlah rektor PTKIN dari berbagai daerah.

“PTKIN perlu memperkenalkan critical thinking education. Bagaimana mahasiswa lebih bernalar kritis. Sebab mengapa orang mudah terpapar (hoax, red.)? Karena kurangnya nalar kritis untuk memverifikasi informasi yang diterima,” paparnya.

Arskal menuturkan, perkembangan teknologi informasi menghadirkan kemajuan komunikasi dan arus informasi. Kemajuan ini idealnya disikapi bijak dengan nalar kritis, termasuk sivitas akademik.

Namun, tingkat penerimaan masing-masing individu cukup beragam. Sedang informasi yang tersebar, terutama di media-media sosial terdiri dari banyak jenis informasi. Selain informasi palsu atau hoax, tidak sedikit diantaranya merupakan informasi yang mendorong sikap-sikap radikalisme sempit, intoleransi, bahkan perlawanan terhadap nilai-nilai kebangsaan.

Mengutip survey Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta tahun 2017, radikalisme sempit masyarakat terbanyak dibangun dari informasi media sosial dengan nilai 58.8 persen. Selanjutnya disumbangkan bacaan buku-buku, televisi, dan pengajian.

Akibatnya, masih menurut survei yang sama, 33.3% mahasiswa –sebagai salah satu kelompok responden penelitian— berpendapat bahwa intoleransi terhadap minoritas bukanlah sebuah masalah. Bahkan deteksi Badan Intelijen Negara tahun 2018 mencatat bahwa 31% mahasiswa Indonesia terpapar radikalisme dan 7 perguruan tinggi diduga terpapar radikalisme.

Kondisi demikian, sambungnya, perlu diperhatikan bersama seluruh PTKIN.  Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian RI amat berharap institusi PTKIN benar-benar mendorong pendidikan nalar kritis. “Sehingga saat menerima informasi, mereka sivitas bisa memperhatikan validitas, bukan kecepatan informasi,” tandasnya lagi. (zae)