Din Syamsuddin: New Normal Life, Positif atau Negatif? (1)

Din Syamsuddin: New Normal Life, Positif atau Negatif? (1)

Ciputat, BERITA UIN Online-- Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) UIN Jakarta menggelar acara Halal Bi Halal (HBH) virtual Idul Fitri 1441 H pada Jumat, 29/05/2020 melalui aplikasi Zoom Meeting dengan tema Ukhuwah Islamiyah di Era New Normal Life.

Didapuk sebagai narasumber, Guru Besar Ilmu Politik Islam FISIP UIN Jakarta Prof Dr KH Din Syamsuddin MA. Dalam paparannya, Din yang juga sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengupas makna di balik istilah new normal life yang menurutnya didengungkan sejumlah ekonom dan pengusaha bisnis. Dalam menyikapi hal tersebut, dalam kondisi seperti ini berdasarkan perspektif agama, new normal life bisa positif dan bisa negatif. Berikut pemaparannya:

Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) UIN Jakarta adalah fakultas penting terlebih menghadapi pandemik Covid-19 yang masih melanda dunia. Masalah kesehatan merupakan masalah utama umat manusia dewasa ini dan menjadi bagian penting United Nation (UN). Munculnya virus ini tidak terlepas dari kerusakan ekologis yang berimbas pada kehidupan dunia terhadap perubahan iklim dan krisis lingkungan hidup yang serius.

Kaum bijak di dunia ini berpikir keras dan mengajukan program-program untuk mengatasinya dan nyaris tidak berhasil. Melihat kerusakan ekologis ini, kaum agamawan turun tangan untuk mencari jalan keluarnya dengan mengadakan pertemuan di New York membahas masalah ini. Mereka menemukan, krisis ekologi ini adalah krisis moral karena salah dalam memperlakukan dan mempersepsikan alam yang dianggap sebagai objek yang mudah diekploitasi dan membawa dampak kehidupan global.

Artinya, pada tingkat problem solving meniscayakan pendekatan yang bersifat komprehensif dan fundamendal bahkan radikal dalam arti memotong akar tunjang dari permasalahan. Tidak hanya sekedar mengatasinya dengan vaksin atau pendekatan lain. Inilah yang coba dipikirkan dalam tingkat lokal dan global.

Di tengah pandemik yang belum ada tanda-tanda selesai, bahkan menurut pakar kesehatan dari UI, UNHAS, FKM, memberikan pencerahan bahwa laju Covid-19 ini belum melandai dan puncaknya terjadi akhir Mei, setelah itu mulai menurun. Ada yang mengatakan akhir Juni, Agustus, bahkan hingga September dan Oktober tahun ini.

Di Indonesia sendiri ternyata tingkat penularan masih tinggi, mendekati 1000 orang perhari. Hal ini karena rapid test belum massif dengan keterbatasan peralatan dan adanya silent majority, maka ketika berbicara tentang the new normal harus jelas tesis nalarnya.

New normal adalah sebuah gagasan yang diajukan sejumlah ekonom dan pengusaha bisnis. Pada 2007-2012 terjadi resensi dunia. Betapa Indonesia mengalami krisis baru, krisis energi yang terjadi sebelumnya, terutama fosil, minyak, gas, pangan, krisis ekologi yang sangat berdampak negatif, sistemik yang mengakibatkan krisis keuangan, sehingga beberapa negara diambang keruntuhan dan kegagalan sebagai fail state.

Sekarang ada krisis yang berada di depan mata, maka mereka mencari jalan keluar dengan mengajukan kondisi the new normal, kewajaran baru. Istilah ini dipakai kebalikan dari abnormal. Krisis ini dianggap sebagai abnormalitas, maka harus segera diganti dengan sesuatu yang normal.

The new normal itu gagasan yang interpretable, bisa berarti kembali ke keadaan sebelum abnormalitas, sebelum wabah atau krisis. Ada juga yang mengatakan keadaan yang baru bukan hanya sebelumnya, tapi sesuatu yang baru yang lebih baik. Tafsir ini lebih bersifat ekonomis yang menginginkan stagnasi bisnis perdagangan segera beroperasi. Menurut pakar ekonomi di seluruh dunia, terjadinya stagnasi ekonomi dan bisnis karena perusahaan tidak bisa beroperasi, sehingga terjadi PHK massal. Diramalkan PSI, di Indonesia bakal ada sekira 5,2 juta penganggur bahkan lebih banyak mencapai belasan juta. Itu tidak termasuk yang informal, hari itu dapat uang (1 USD perhari) hari itu habis, seperti pedagang asongan, buruh, tukang sapu, tukang parkir, jumlahnya puluhan juta yang terdampak secara ekonomi.

Dalam konteks Indonesia, setelah konfirmasi dengan UI, FKM, FK, dan BPNB bahwa penularan Covid masih jauh dari berakhir karena penerapan PSBB yang tidak ketat. Sementara, jika PSBB diterapkan berdasarkan Undang-Undang Darurat Kesehatan, maka negara betanggungjawab menjamin dan mesubsidi sembako bukan hanya pada rakyat, tapi juga hewan ternak dipastikan kecukupan pakannya. Namun negara tidak akan sanggup, maka dimodifikasi istilahnya menjadi PSBB yang tidak dilakukan secara konskwen dengan membuka bandara, mal-mal, sementara di sisi lain dilakukan pengetatan tempat-tempat ibadah.

Melihat hal demikian, sebagian umat Islam meminta kepada MUI untuk diberlakukan relaksasi pelaksanaan ibadah untuk sholat Idul Fitri karena pemerintah dianggap tidak berkeadilan dalam hal ini. MUI menghimbau kepada umat Islam untuk tidak melakukan hal yang sama karena menurut ahli kesehatan saat ini justeru sedang memuncak zona hijau menjadi zona merah, sehingga belum waktunya memberlakukan the new normal. Dalam kondisi seperti ini, diharapkan umat Islam menjadi qudwah hasanah bukan karena anjuran pemerintah, tapi sebagai bentuk implementasi hadis Nabi SAW saat terjadi wabah untuk melakukan phsycal distancing termasuk lockdown di suatu daerah agar tidak terjadi penyebaran.

Dalam latar belakang itulah, maka bukan hanya ukhuwah Islamiyah (baca: kebersamaan umat Islam), tapi ukhuwah insaniyah (kebersamaan umat manusia), ukhuwah wathoniyah (kebersamaan bangsa) menjadi sesuatu yang niscaya dilakukan, karena ini persoalan kemanusiaan dan orientasi terhadap manusia dan kemanusiaan menjadi sangat penting. (zm/mf)