Dilema Sikap Politik Golkar

Dilema Sikap Politik Golkar

Oleh: Iding R. Hasan

 

Sebagaimana telah diprediksikan banyak kalangan Aburizal Bakrie (Ical) akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang baru menggantikan Jusuf Kalla (JK) pada Musyawarah Nasional (Munas) VIII Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, dari 5 -8 Oktober. Perbedan perolehan suaranya dengan Surya Paloh (SP) sebenarnya tidak terpaut terlalu jauh, yakni 296 untuk Ical dan 240 untuk SP, tetapi karena suara Ical melebihi 50%, maka pemilihan cukup dilakukan satu putaran saja.

 

Pertanyaan yang patut dikedepankan adalah bagaimana masa depan Golkar di bawah kepemimpinan Ical. Akankah partai beringin ini mendapatkan kembali kepercayaan dari masyarakat paling tidak untuk masa lima tahun ke depan sehingga secara perlahan-lahan mampu bangkit dari keterpurukan, ataukah sebaliknya partai ini akan kian terperosok secara lebih mendalam dari sekarang?

 

Problem Pencitraan

Kemenangan Ical dalam perebutan kursi orang nomor satu di partai beringin ini tentu disambut gembira oleh para pendukungnya. Eforia kegembiraan begitu membahana di Hotel Labersa, tempat diselenggarakannya Munas sesaat setelah Ical dinyatakan sebagai pemenang. Namun, orang-orang Golkar seyogianya tidak berlebih-lebihan dalam menyambut kemenangan ini. Pasalnya, kemenangan Ical sesungguhnya menyisakan banyak problem yang jika tidak dikelola dengan baik justeru akan menjadi bumerang bagi Golkar. Antara lain adalah yang terkait dengan citra partai dan Ical secara personal.

 

Setidaknya ada beberapa hal yang patut diwaspadai terkait dengan citra tersebut. Pertama, kemenangan Ical secara gamblang mempertontonkan bahwa kecenderungan pragmatisme politik sangat dominan di tubuh Golkar. Sebagaimana diketahui bahwa Ical yang didukung oleh Akbar Tandjung (AT) dan Agung Laksono (AL), sehingga dikenal dengan Triple A, adalah kandidat yang menjanjikan Golkar akan tetap berada dekat dengan kekuasaan, atau tidak akan menjadikannya partai oposisi. Sesaat setelah dinyatakan menang, Ical kembali mengatakan hal tersebut. Bahkan saat ditanya jika ada kader Golkar yang ditarik ke dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, Ical mempersilahkannya tanpa harus mengundurkan diri dari kepengurusan DPP jika yang bersangkutan adalah pengurus.

 

Pernyataan ini memperlihatkan dengan jelas sikap politik Golkar di bawah kepemimpinan Ical paling tidak untuk lima tahun yang akan datang. Harapan publik bahwa partai ini bisa memainkan peran sebagai oposisi sehingga dapat mengawasi jalannya pemerintahan musnah sudah. Sayangnya inilah justeru yang akan mempuburuk citra Golkar di mata publik. Publik boleh jadi akan menilai bahwa partai beringin tidak pernah bisa lepas dari jaring kekuasaan dalam hal eksistensi diri. Ia seolah anak kecil yang tidak pernah bisa dewasa karena selalu tergantung pada ibunya. Citra seperti ini tentu sangat merugikan bagi Golkar di masa depan.

 

Kedua, politik uang (money politics). Pada Munas VIII di Pekanbaru, Riau kali ini aroma politik uang begitu menusuk. Secara terang-terangan para pendukung kandidat ketua umum mengakui bahwa memang uang berseliweran di hadapan mereka sebagai iming-iming untuk memilih seorang kandidat tertentu. Yuddy Chrisnandi, kandidat termuda dan diduga paling tidak “bergizi” mengatakan bahwa menjelang hari H, besaran harga satu suara berkisar antara 500 juta sampai 1 milyar. Dalam konteks ini, kemenangan Ical diduga sangat terkait dengan politik uang di atas.

 

Politik uang yang begitu gamblang dipertontonkan dalam Munas VIII tersebut sesungguhnya akan memperburuk citra Golkar di mata publik. Apalagi ada di antara para elite Golkar yang mengatakan bahwa politik uang tidak masalah seperti yang diungkapkan Muladi, salah seorang petinggi partai dan juga pendukung Ical. Sinyalemen ini tentu terasa sangat menyakitkan bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang justeru tengah menderita baik karena adanya musibah seperti di Padang, Sumatera Barat, maupun karena hidupnya memang berada di bawah garis kemiskinan. Uang sebanyak itu dihamburkan hanya untuk satu malam jelas sangat mencabik-cabik perasaan masyarakat. Jangan salahkan kalau mereka nanti antipati pada partai ini.

 

Ketiga, citra personal Ical. Citra Ical sendiri pada tahun-tahun terakhir ini tidak cukup bagus khususnya jika dikaitkan dengan kasus Lapindo meski para pendukungnya selalu mengatakan hal itu tidak berkaitan. Tetapi bagaimanapun publik sudah terlanjur mengetahui bahwa Ical bertanggungjawab terhadap kasus Lapindo. Apalagi ketika sebelum Munas Ical pernah berjanji ia akan menggelontorkan uang Rp. 1 triliun untuk kepentingan sekretariat Golkar dan operasional. Bagi para korban lumpur Lapindo kenyataan ini tentu terasa sangat menyakitkan karena untuk mendapatkan ganti rugi yang tidak seberapa saja mereka harus bersusah payah bahkan sebagian ada yang belum berhasil. Sementara orang yang dianggap paling bertanggungjawab begitu mudahnya menggelontorkan uang milyaran untuk kepentingannya sendiri.

 

Kerja Keras

Dari catatan di atas jelas Golkar di bawah kepemimpinan Ical harus bekerja ekstra keras jika ingin mendapatkan ciitra yang baik di mata rakyat. Janji Ical sebelum Munas bahwa Golkar akan mengedepankan berbagai program prorakyat harus benar-benar direalisasikan. Kalau tidak, tentu Golkar akan semakin ditinggalkan rakyat.

 

Sayangnya sikap politik Golkar yang memilih untuk tetap berdekatan dengan kekuasaan dalam derajat tentu akan menyulitkannya untuk menunjukkan citra kerakyatannnya itu. Saat pemerintahan SBY-Boediono mendapatkan apresiasi dari rakyat karena berbagai program kerakyatannya, sudah pasti yang akan mendapatkan keuntungan politik adalah Partai Demokrat yang notabene pengusung SBY. Sebaliknya saat pemerintah gagal, Golkar pun akan ikut kena getahnya sementara untuk melakukan kritik terhadap program tersebut sulit dilakukan karena ada kadernya di kabinet. Inilah dilema Golkar dengan sikap politiknya itu.

 

*Penulis adalah Deputi Direktur Bidang Politik the Political Literacy Institute dan Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung.

 

(Dimuat di Harian Koran Jakarta Senin 12-10-09)