Dilema Mesir Pasca-Mubarak

Dilema Mesir Pasca-Mubarak

Transisi dari otoriterisme kepada demokrasi hampir selalu melibatkan proses sangat kompleks dan mencemaskan. Sementara banyak pendukung rezim lama masih bertahan, pada saat yang sama kekuatan reformasi tidak terkonsolidasi dan bahkan sebaliknya, kecurigaan timbal balik kian meningkat. Apalagi, tidak ada figur-figur sentral yang dapat membuat berbagai kalangan tersebut dapat menumbuhkan saling percaya sedikit demi sedikit.

Gejala seperti ini juga berlaku di Mesir pasca-Mubarak. Tumbangnya kekuasaan Mubarak, orang kuat Mesir ini selama tiga dasawarsa, menyisakan banyak masalah yang tidak mudah dipecahkan. Bukan tidak mungkin, masyarakat sipil yang telah berjuang mati-matian selama beberapa pekan Januari lalu di Maydan Tahrir akhirnya gagal mewujudkan pemerintahan pilihan rakyat, dan sebaliknya Mesir dapat kembali ke dalam kekuasaan militer.

Kegalauan itu banyak terungkap dalam pertemuan Dewan Penasihat International IDEA Stockholm pada awal pekan kedua April lalu. IDEA yang memberikan perhatian khusus bagi transisi damai menuju demokrasi di Mesir menghadirkan beberapa aktivis yang terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap Husni Mubarak. Dalam percakapan, sangat jelas terlihat fragmentasi dan friksi akut di antara berbagai kekuatan masyarakat yang tak mudah terkompromikan.

Ada DR Essam el-Haddad, salah seorang pemimpin muda al-Ikhwan al-Muslimun (IM), yang juga aktif dalam organisasi Muslim Relief Internasional yang berpusat di London, Inggris. Ia agaknya tipikal banyak aktivis IM; memiliki gelar dokter, tapi juga doktor dalam bidang bisnis dari Universitas Birmingham dan punya usaha bisnis pula.

Menurut el-Haddad, masa pasca-Mubarak sangat krusial bagi masa depan Mesir baik politik maupun ekonomi. Kini, waktunya bagi rakyat mendapatkan haknya yang sah menentukan masa depan Mesir. Hanya dengan begitu, Mesir dapat melepaskan kebergantungannya pada kekuatan asing, khususnya Amerika Serikat. Bagi dia, Sadat dan Mubarak paling bertanggung jawab dalam 'menggadaikan' kedaulatan Mesir kepada negara adidaya tersebut.

Apakah 'kekuatan rakyat' itu dia maksudkan adalah IM yang menurut banyak pengamat kini merupakan satu-satunya pengelompokan masyarakat yang paling terorganisasi selain militer yang tengah memegang kendali pemerintahan transisi? Sangat boleh jadi ya. Kalangan dalam dan luar negeri memang banyak memprediksikan, IM bakal memenangkan pemilu yang direncanakan berlangsung September nanti. Mereka-baik di dalam maupun luar negeri-terlihat nervous dengan prospek 'kemenangan' IM dalam pemilu tersebut.

Bagaimana IM menepis kecurigaan itu? Apakah jika menang, IM bakal menjalankan agenda Islamisnya? Apakah IM memiliki kepemimpinan lebih muda dari pimpinan puncak IM Syaikh Muhammad al-Badi' yang sudah berumur lebih 70 tahun? Pertanyaan-pertanyaan ini saya ajukan kepada el-Haddad. Ia melihat kecurigaan kepada IM berlebihan dan Mesir adalah milik rakyat Mesir secara keseluruhan, bukan hanya IM. Karena itu, IM berusaha akomodatif dan kompromistis demi kepentingan lebih besar. El-Haddad mengakui kepemimpinan IM selama setengah abad terakhir selalu dipangkas Mubarak, tetapi generasi demi generasi pemimpin muda IM selalu muncul dan siap memikul tanggung jawab kepemimpinan negara.

Sebaliknya, Dalia Zakhary, pengacara dan aktivis perempuan beragama Katolik yang aktif dalam LSM Egyptian Community Participation Enhancement, memandang Mesir pasca-Mubarak semestinya memastikan agar kaum minoritas agama maupun ideologis seperti sekuler dan liberal mendapatkan tempatnya yang sah. Ia cemas dengan meningkatnya berbagai tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas keagamaan, seperti gereja Koptik dan denominasi Kristianitas lain.

Perbedaan dan tarik-menarik kepentingan seperti terlihat dalam pandangan dan posisi el-Hadad dan Zakhary adalah cermin dinamika politik Mesir yang pasti kian meningkat dalam bulan-bulan mendatang. Sepatutnya berbagai perbedaan kepentingan itu dapat dikompromikan. Jika tidak, bukan tidak mungkin krisis politik Mesir bakal terus berlanjut.

Mesir sejak masa pasca-Perang Dunia II merupakan salah satu kekuatan penting dan strategis di Timur Tengah. Sebagai negara yang memiliki penduduk terbesar di kawasan ini dengan tradisi keilmuannya yang begitu lama, ia menjadi kekuatan politik dan sosial-intelektual sangat krusial bagi Dunia Arab. Sebab itu, penting untuk Mesir berhasil dalam transisi politiknya bagi Dunia Arab dan Timur Tengah, juga bagi dinamika intelektual di Dunia Islam.

Indonesia bagi banyak kalangan Mesir kini sering menjadi rujukan penting; bukan Turki yang mereka anggap terlalu sekuler dan juga bukan Saudi yang 'teokratis'. Sebab itu, Pemerintah Indonesia bersama figur-figur masyarakat sipil perlu berbagi pengalaman dalam transisi demokrasinya dengan berbagai pihak Mesir, seperti diharapkan el-Hadad.

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan dimuat pada Harian Republika, Kamis, 14 April 2011.

Â