Dilema Guru Honorer

Dilema Guru Honorer

Sepi dari liputan media, sekitar 10.000 tenaga honorer dari 34 provinsi melakukan demo di sekitar Istana Negara selama 2 hari (30-31 Oktober 2018). Mereka bahkan menginap di sana, beralaskan aspal dan beratapkan langit. Mereka tidak diterima presiden tetapi staf kepresidenan. Tuntutan mereka agar honorer K2 diangkat PNS tanpa tes seperti halnya honorer K1 tidak bisa dipenuhi.

Masalah tenaga honorer, khususnya guru, setidaknya sebagai berikut. Pertama, guru honorer K2 menuntut diangkat PNS tanpa tes karena telah mengabdi belasan bahkan puluhan tahun. Sementara pemerintah pada tahun 2018 ini membuka lowongan 112.000 CPNS guru melalui jalur tes dan syarat usia di bawah 35 Tahun, sesuai regulasi UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Tidak ada indikasi Pemerintah mengabulkan permohonan honorer K2 tersebut. Banyak guru honor K2 yang tidak bisa ikut tes CPNS karena usia lebih dari 35 tahun. Dari sekitar 157.210 guru honor K2, hanya 12.883 guru yang layak menurut ASN, atau usia maksimal 35 tahun.

Kedua, dilema pengabdian guru dan kompetensi. Pemerintah bergeming bahwa honorer K2 dan nonkategori harus mengikuti seleksi. Selain tuntutan regulasi, ujian merupakan instrumen untuk mengetahui kompetensi CPNS. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) dalam jabatan menunjukkan hasil yang tidak menggembirakan. Melalui tes, diharapkan tersaring guru-guru kompeten.

Dari 3,2 juta guru, jumlah guru honorer K2 sekitar 1,53 juta. Indonesia kekurangan guru PNS sebanyak 988,133 orang. Pengabdian guru selama belasan tahun menunjukkan pengorbanan dan kecintaan terhadap profesi guru. Meskipun digaji sangat kecil—di bawah satu juta rupiah, mereka tetap menjalaninya dengan harapan ada afirmasi dari pemerintah. Bukan tidak tulus, sikap itu wajar dan manusiawi. Pahlawan tanpa tanda jasa yang disemangatkan kepada guru—tepatnya honorer, bukan isapan jempol.

Ketiga, pemerintah melarang kepala sekolah merekrut guru honorer karena melanggar PP 48/2005 Jo PP 43/2007. Hal ini ambigu dengan kondisi banyaknya guru pensiun setiap tahun, sementara terjadi moratorium CPNS. Akibatnya, sekolah-sekolah akan selalu kekurangan guru. Meskipun dilarang, kepala sekolah akan terus merekrut guru-guru honorer.

Pemerintah sebenarnya telah menyiapkan skema penyelesaian honorer K2. Mereka yang berusia di bawah 35 tahun mengikuti tes seleksi CPNS. Jika tidak lulus, mereka dan honorer K2 yang berusia 35 tahun ke atas bisa mengikuti ujian ASN kategori Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Gaji mereka setara PNS minus uang pensiun. Jika tidak lulus juga, mereka bisa mengikuti ujian guru pengganti, dan akan dibayar sesuai Upah Minimum Regional (UMR) oleh pemerintah daerah masing-masing. Saat ini pemerintah sedang merampungkan Peraturan Pemerintah tentang P3K sebagai payung hukum rekrutmen honorer K2.

Formula penyelesaian guru honorer K2 tersebut sesungguhnya bertumpu pada kesejahteraan. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru adalah profesi yang harus mendapatkan penghasilan yang mencukupi kebutuhan hidupnya. Guru honorer tidak mendapatkan upah yang layak karena pemerintah abai dan tidak segera mencari solusi.

PP P3K harus segera diselesaikan agar skema di atas bisa dilaksanakan. Alih-alih melarang perekrutan guru honorer, sebaiknya pemerintah membuat standar perekrutan dan gaji mereka. Kebutuhan akan guru honorer akan terus ada sepanjang pemerintah tidak melaksanakan perekrutan guru setiap tahun sesuai jumlah guru yang pensiun. Entah itu dengan status PNS atau P3K.

Standar perekrutan dan gaji penting untuk mendapatkan guru berkualitas, sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas. Keraguan pemerintah dan masyarakat pada kualitas guru honorer adalah karena sistem perekrutan yang tidak standar. Cenderung asal-asalan karena imbalannya pun tidak standar. Menurut pemerintah, skema penyelesaian guru honorer K2 akan tuntas 2024.

Jaminan kesejahteraan guru honorer bukan hanya tanggungjawab pemerintah dan Pemda, tetapi juga masyarakat. Kepala sekolah dan komite harus dimungkinkan mengelola keuangan dari orangtua siswa yang mampu untuk membayar guru honorer. Pemerintah segera menetapkan upah minimum guru sehingga Pemda dan sekolah bisa menjadikannya acuan. Jika Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi, kebutuhan gaji guru honorer cukup ditangani Pemda. Jika PAD kecil, maka pelibatan orangtua yang mampu harus ditempuh. Kontribusi orangtua siswa bisa untuk pengembangan akademik atau fasilitas sekolah.

Kompetensi akan sulit diraih tanpa mensejahterakan guru. Gelar pahlawan tanpa tanda jasa harus disudahi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Guru honorer sudah berani dan berkorban belasan tahun untuk dunia pendidikan. Mereka menanti keadilan dan perhatian pemerintah. Atlet peraih medali dalam olahraga tingkat internasional dan nasional menerima bonus uang, rumah, bahkan PNS, mengapa guru tidak?

Dr Jejen Musfah MA, Kepala Prodi Magister Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Jakarta. Diterbitkan pada 5 Januari 2019. (lrf/mf)