Deradikalisasi dan Perdamaian

Deradikalisasi dan Perdamaian

[caption id="attachment_10529" align="alignleft" width="300"]Prof. Dr. Andi Faisal Bakti MA Prof. Dr. Andi Faisal Bakti MA[/caption]

Oleh : Prof. Dr. Andi Faisal Bakti MA

Peristiwa penyanderaan 10 warga negara Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina, yang dalam beberapa minggu ini jadi sorotan publik, telah memunculkan usulan dari berbagai pihak agar pemerintah mengambil jalan negosiasi.

Salah satu opsinya pelibatan Umar Patek dalam negosiasi dengan Abu Sayyaf. Umar Patek dianggap figur yang layak jadi negosiator karena sebelumnya pernah melatih milisi Abu Sayyaf dan MILF atau Front Pembebasan Islam Moro di Filipina selatan pada 2006. Ia juga salah satu terpidana kasus terorisme yang relatif dianggap berhasil dalam program deradikalisasi yang dibuat pemerintah.

Dalam kasus penyanderaan WNI oleh Abu Sayyaf, pelbagai cara dapat ditempuh guna mencari jalan terbaik pembebasan. Hal ini relevan ketika warga binaan hasil program deradikalisasi di lembaga pemasyarakatan (lapas) dijadikan jembatan bagi perdamaian. Tentu tak hanya kasus penyanderaan, tetapi juga dapat diterapkan dalam skala yang lebih luas terkait penanggulangan terorisme. Melihat realitas ini, program deradikalisasi yang saat ini tengah gencar dilakukan mesti diperkuat guna menghasilkan "Umar Patek-Umar Patek" lain sehingga dapat meng-counter ancaman terorisme yang masih menghantui bangsa ini.

Jika ditilik secara historis, deradikalisasi telah dimulai sekitar satu setengah dekade lalu, ketika tim Densus 88 dianggap tidak mampu menggali lebih dalam keterangan dari para tersangka terorisme. Pada waktu itu, Densus 88 menggunakan cara-cara yang kurang lebih sama dengan apa yang diterapkan aparat Orde Baru yang represif. Karena cara itu dirasa tidak cukup ampuh dalam proses pengungkapan, kemudian muncul deradikalisasi yang dilakukan dengan cara yang lebih personal dan humanis. Deradikalisasi sendiri dimaknai sebagai proses sosial dan psikologis, yang menekankan pada komitmen individu, sehingga keterlibatannya dalam aksi kekerasan dapat dikurangi hingga batas yang tidak berisiko (Horgan, 2009).

Namun, harus diakui, program deradikalisasi yang ada dan sudah berjalan hingga kini tidaklah mudah dilakukan. Deradikalisasi memerlukan kesabaran ekstra karena yang dihadapi adalah manusia, bukan mesin. Karena itu, mesti dilakukan secara utuh, integratif, dan berkesinambungan.

Ada pertanyaan yang menggantung terkait masalah ini: apakah bisa teroris yang terjerat radikalisasi dapat dicairkan dengan program deradikalisasi? Apakah individu yang jadi teroris dapat jadi warga biasa yang damai?

Menanggapi pertanyaan itu, Bjorgo dan Horgan dalam bukunya Leaving Terorism Behind: Individual and Collective Disengagement (2009) menjawab dengan optimistis. Dijelaskan bahwa deradikalisasi dapat mengubah nilai-nilai dan ide yang telah menjadikan seseorang radikal. Ketika hal itu terwujud, jalan damai dapat muncul sebagai alternatif penyelesaian. Selain itu, penelitian Bjorgo dan Horgan menunjukkan, pelaku teror yang nilai-nilai dan idenya berubah akhirnya memutuskan meninggalkan jalan kekerasan dan aksi teror untuk selamanya.

Dalam konteks Indonesia, program deradikalisasi relatif berjalan meski belum maksimal. Beberapa nama yang tadinya berkutat dalam pemikiran dan aksi terorisme berhasil disadarkan dan kembali ke pangkuan republik ini. Sebutlah seperti Umar Patek, Abu Tholut, Abdul Rahman, Ali Fauzi, Khorul Ghazali, Tony Togar. Mereka yang telah dideradikalisasi diharapkan dapat jadi transmiter perdamaian bagi para teroris lain yang belum berubah ideologi radikalnya.

 

Penanganan holistik

Titik permasalahan kasus terorisme yang kerap muncul di berbagai negara adalah terkait efektivitas pengukuran program deradikalisasi. Beberapa metode deradikalisasi, meskipun dinilai menunjukkan sejumlah keberhasilan, tetapi tidak dapat dipukul rata untuk semua negara. Berdasarkan pengalaman negara-negara yang menerapkan program deradikalisasi untuk narapidana kasus terorisme, belum diperoleh gambaran akan sebuah model yang baku. Karena itu, program deradikalisasi haruslah bersifat spesifik dan holistik sesuai kebutuhan masing-masing negara.

Pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia sendiri telah dirumuskan dalam rangkaian program utuh, integratif, dan berkesinambungan. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang merupakan institusi induk penanganan teroris hingga 2016 telah mengupayakan deradikalisasi dan pengategorisasian tingkat radikal bagi 204 narapidana teroris yang berada di 47 lapas yang tersebar di 13 provinsi.

Berdasarkan rumusan BNPT (2013), ada empat tahapan utama dalam deradikalisasi: identifikasi; rehabilitasi; reedukasi; dan resosialisasi. Identifikasi dilakukan untuk memetakan identitas individu, kelompok, dan keluarga yang terindikasi radikal dan eks napi teroris (anti damai).

Rehabilitasi dimaknai sebagai upaya sistematis untuk melakukan perubahan orientasi ideologi radikal dan kekerasan kepada orientasi ideologi yang inklusif, damai, dan toleran.

Reedukasi dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan pemahaman ulang terhadap napi teroris dan keluarganya tentang ajaran agama yang damai.

Dan, terakhir adalah resosialisasi, yaitu upaya pembinaan yang integratif untuk membaurkan napi teroris dan mantan napi teroris serta keluarga agar hidup dengan masyarakat berdasarkan nilai dan tatanan hidup yang baik, saling menghargai dan penuh kedamaian.

Akhirnya, program deradikalisasi yang tengah gencar dilakukan secara integratif dan holistik dengan melibatkan beberapa lembaga negara, kementerian, dan unsur masyarakat, diharapkan dapat menemukan format yang tepat dalam menangani terpidana kasus terorisme. Meski demikian, deradikalisasi bukan saja dapat memberi perubahan secara psikologis, tetapi juga dapat menghasilkan perubahan sosial dan menciptakan perdamaian.

  Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila. Artikel dimuat dalam kolom opini KOMPAS 26 April 2016 dan bisa diakses di : http://print.kompas.com/baca/2016/04/26/Deradikalisasi-dan-Perdamaian