Demokrasi Mau ke Mana? Rekonsolidasi Masyarakat Sipil

Demokrasi Mau ke Mana? Rekonsolidasi Masyarakat Sipil

Guru Besar Sejarah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Rektor IAIN/UIN Syarif Hidayatullah selama dua periode (IAIN,1998-2002, dan UIN, 2002-2006. Guru Besar kehormatan Universitas Melbourne (2006-2009). Dewan Penyantun, penasehat dan guru besar tamu di beberapa universitas di mancanegara; dan juga lembaga riset dan advokasi demokrasi internasional. Gelar CBE (Commander of the Most Excellent Order of British Empire) dari Ratu Elizabeth, Kerajaan Inggris (2010) dll.

Demokrasi Indonesia pun telah berlalu lebih 20 tahun. Menjadikan Pemilu demokratis pertama 7 Juni 1999 sebagai momentum awal kebangkitan demokrasi Indonesia di pasca-otoritarianisme Orde Baru, kini setelah dua dasawarsa berlalu kian banyak kalangan di dalam dan luar negeri yang kritis dan skeptis terhadap masa depan demokrasi negara ini.

Mereka mengakui, sejumlah indikator memperlihatkan dinamika demokrasi di Indonesia. Menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia sejak 1999 (setelah India dan Amerika Serikat), Indonesia telah mampu melaksanakan Pemilu nasional (legislatif dan presiden) dan Pemilu lokal (kepala daerah) secara reguler dengan lancar dan aman (1999, 2004, 2009, 2014 dan 2019).

Titik Terendah

Dari satu segi, partai politik cukup hidup dan bergairah (vibrant). Tetapi dari satu Pemilu ke Pemilu berikut selalu muncul parpol-parpol baru; umumnya pecahan dari parpol (induk) yang terlanda konflik dan perpecahan. Keadaan ini tidak menggembirakan untuk konsolidasi demokrasi Indonesia.

Pada segi lain, masyarakat sipil (civil society/CS) dalam bentuk ormas non-politik dan LSM advokasi dalam berbagai bidang kehidupan nampaknya tidak lagi vibrant. Walaupun ada elit pimpinan dan aktivis CS yang terseret ke dalam politik kekuasaan, secara umum CS Indonesia tetap menjadi tulang punggung civic culture dan civility yang membuat demokrasi bisa tumbuh dan bertahan.

Terakhir, pers juga masih bebas dan vibrant, walau media arus utama terpercaya semakin sulit bersaing dengan media on-line dan media sosial. Oplah suratkabar dan majalah yang dulu pernah memainkan peran penting mendorong tumbuhnya demokrasi kian berkurang; bahkan satu persatu di antara mereka terpaksa gulung tikar.

Semua indikator di atas, boleh jadi membuat kalangan masyarakat awam merasa tak ada yang kurang dengan perkembangan demokrasi Indonesia. Tetapi, melihat aspek-aspek tertentu perkembangan politik, demokrasi dan hukum selama beberapa tahun terakhir, kian banyak kalangan ahli yang mengajukan pertanyaan; demokrasi Indonesia mau ke mana? Quo vadis Indonesian democracy?

Untuk sekadar contoh saja, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, dua ahli terkemuka politik Indonesia, menyatakan demokrasi Indonesia kini berada pada titik terendah dalam 20 tahun (The Jakarta Post, 21/9/2019). Mereka juga menyatakan dalam tulisan lain tentang apa yang mereka sebut sebagai ‘paradoks demokrasi Indonesia’ yang kian nyata.

Mengamati berbagai aspek kehidupan dan dinamika politik sejak tahun-tahun terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berlanjut dengan era Presiden Joko Widodo, keduanya menyimpulkan, Indonesia tidak (lagi) demokrasi penuh (full democracy). Sebaliknya telah berevolusi menjadi semacam bentuk tidak liberal pemerintahan demokrasi (illiberal democracy) atau bahkan ‘demokrasi cacat’ (flaw democracy).

Dalam konteks itu, Indonesia masih memenuhi persyaratan sebagai demokrasi elektoral. Tetapi berbagai fitur lain untuk dapat disebut sebagai demokrasi penuh terus mengalami kemerosotan, di antara semakin berkurangnya kebebasan berpendapat dan berorganisasi; dan juga kian lemahnya perlindungan terhadap kelompok minoritas.

Banyak pengamat asing dan nasional dan lembaga internasional dan nasional yang memantau pertumbuhan dan dinamika demokrasi hampir secara tipikal menilai kondisi demokrasi berdasarkan kebijakan rezim penguasa dan ekspresi politik masyarakat apakah melalui parpol atau ormas non-politik.

Atas dasar kerangka berpikir itulah banyak ahli politik dan pengkaji demokrasi asal Indonesia sendiri atau orang asing sampai kepada penilaian, misalnya demokrasi Indonesia tengah mengalami kemunduran. Atau berada pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir.

Kasus yang sering dikutip dalam konteks itu adalah penerbitan Perppu No 2 2017 sebagai pengganti UU No 17 Tahun 2013 tentang ormas. Perppu itu melarang adanya ormas yang melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI dan/atau menganut, mengembangkan serta menyebarkan paham atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila. Perppu yang kemudian lebih dikenal sebagai Perppu ‘anti-radikalisme’ dan diadopsi DPR RI sebagai UU No 16 Tahun 2017 menjadi landasan hukum pelarangan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Ada cukup banyak kalangan ahli politik, ahli hukum dan aktivis advokasi yang memandang Perppu/UU (dan UU Ormas) tersebut sebagai ancaman terhadap demokrasi karena membatasi kebebasan berekspresi dan berserikat. Penulis sendiri memandangnya sebagai ketentuan yang esensial dan urgen untuk menjaga eksistensi NKRI dan Pancasila, dan pada gilirannya untuk menjamin demokrasi tetap menjadi sistem politik yang berlaku.

Tetapi persepsi tentang demokrasi Indonesia yang tengah mengalami kemunduran tidak terbatas pada ketentuan tentang keormasan yang dianggap membatasi kebebasan. Dalam perkembangan lebih akhir, semakin banyak kalangan publik melihat setback demokrasi dengan meningkatnya wacana dan usaha pemerintah membasmi radikalisme misalnya dengan mengharuskan registrasi Majelis Taklim, sertifikasi penceramah agama, dan pengawasan ceramah oleh aparat kepolisian. Di sini negara seolah menjadi ‘big brother orwellian’—saudara besar yang ingin mengontrol dan mengendalikan setiap tarikan nafas warganya.

Dalam segi lain persepsi tentang kemunduran demokrasi Indonesia juga terkait dengan meningkatnya politik identitas atas dasar agama. Politik identitas yang mulai menguat sejak Pilkada Provinsi DKI Jakata pada akhir 2017 cenderung meningkat pada Pemilu 2019 dan terus bertahan hingga sekarang ini.

Nampaknya gejala kemunduran demokrasi terus berkecambah. Salah satu perkecambahan itu terkait wacana penambahan masa jabatan Presiden sampai tiga kali. Penambahan masa jabatan Presiden dari dua kali menjadi tiga kali itu terkait rencana amandemen UUD 1945 untuk kelima kalinya dapat mendorong tumbuhnya oligarki politik dan otoritarianisme.

Penolakan Presiden Jokowi atas wacana masa jabatan Presiden sampai tiga kali belum menjamin bakal tidak terjadinya upaya ke arah sana dari fraksi-fraksi tertentu di MPR ketika amandemen UUD 1945 nanti dilakukan. Bukan tidak mungkin terjadi political deals di antara para aktor politik yang menghasilkan penambahan masa jabatan presiden sampai tiga kali.

Oleh karena itu, perlu peningkatan kewaspadaan CS dan LSM advokasi mengantisipasi fenomena ke arah sana. Kemunduran demokrasi tidak bisa dibiarkan berlanjut. Sekali lagi, perlu peningkatan kepedulian dan kewaspadaan CS, LSM advokasi dan warga untuk memperkuat kembali demokrasi demi masa depan NKRI yang secara genuine demokratis.

Revitalisasi Masyarakat Sipil

Mengikuti perbincangan para ahli dan pengamat dari dalam dan luar negeri, kemunduran demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir terkait banyak dengan stagnasi masyarakat sipil (civil society). Jika stagnasi masyarakat sipil terus berlanjut, masa depan demokrasi Indonesia dapat pula semakin tidak menentu.

Demokrasi Indonesia pernah dipuji berbagai lembaga pemantau dan advokasi demokrasi internasional sebagai ‘full democracy’ karena adanya vibrant civil society—masyarakat sipil yang hidup, dinamis dan bersemangat. Tetapi berbagai perkembangan terkait politik umumnya dalam beberapa tahun terakhir, lebih khusus demokrasi dan pemerintahan membuat civil society kian kehilangan elannya.

Bahkan dalam pandangan tertentu, kondisi masyarakat sipil sudah sampai pada tahap mengenaskan. Peter van Tujil, aktivis demokrasi dan civil society yang lama tinggal di Indonesia menulis: ‘Indonesian Civil Society: Struggling to Survive’ (2019).

Dalam kaitan dengan perkembangan politik menjelang Pemilu April 2919, van Tujil, visiting fellow di The Kroc Institute for International Peace Studies, Universitas Notre Dame, Amerika Serikat,  mencatat, masyarakat sipil Indonesia kini berada dalam posisi defensif. Dalam posisi itu, masyarakat sipil lebih sibuk mengritik kelompok masyarakat intoleran atau ‘uncivil society’; atau menangkis tuduhan sebagai ‘anti-relijius’ atau bahkan ‘anti-Indonesia’.

Persepsi bahwa masyarakat sipil kini berjuang untuk sekadar bisa bertahan, dikonfirmasi jajak pendapat Kompas (2/3/2020). Lebih separo (52,1 persen) dari seluruh responden menilai kekuatan masyarakat sipil sekarang mengalami stagnasi dibanding dengan masa awal reformasi, Sebaliknya, kurang setengah (43,5 persen) total responden menganggap masyarakat sipil lebih baik.

Indonesia sebenarnya sangat beruntung memiliki empat kelompok besar masyarakat sipil. Pertama, kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam advokasi masyarakat di berbagai bidang; kedua, kelompok masyarakat profesional yang bergerak untuk kepentingan profesinya.

Selanjutnya ketiga, kelompok mahasiswa, akademisi dan intelektual; dan keempat organisasi masyarakat, khususnya berbasis agama seperti Nadlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, organisasi berbasis gereja dan semacamnya.

Kelompok pertama, ketiga dan keempat, meski bukan organisasi politik, tetapi sebagai masyarakat sipil memainkan peran penting dalam penumbuhan budaya sipil (civic culture), civility yang esensial bagi demokrasi untuk bisa tumbuh. Mereka juga menjadi kekuatan masyarakat dalam penghadapan dengan negara; memainkan peran sebagai kekuatan kritis, cek dan keseimbangan terhadap kekuasaan dan rejim politik.

Masyarakat sipil Indonesia pernah memainkan peran penting dalam menumbuhkan demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Meski Soeharto sering melakukan represi, masyarakat sipil terus menyemai civic culture sebagai nucleus demokrasi untuk tumbuh dan bertahan.

Jelas masyarakat sipil juga memainkan peran penting dalam berakhirnya masa Orde Baru untuk digantikan masa Reformasi. Berkat masyarakat sipil yang kuat, transisi Indonesia dari otoritarianisme ke dalam demokrasi sejak 1998-1999 dan seterusnya dapat berlangsung relatif lancar dan damai.

Tetapi demokrasi dan liberalisasi politik masa reformasi juga menjadi awal terjadinya disorientasi kalangan masyarakat sipil. Godaan dan tarikan kekuasaan membuat banyak tokoh dan kelompok masyarakat sipil, terutama intelektual, akademisi dan aktivis,  terjun ke dalam politik.

Inilah proses yang penulis sebut sebagai ‘unmaking of civil society’. Kalangan masyarakat sipil yang menempuh jalan ini sebagian besar gagal dalam proses politik demokrasi; mereka ‘terlalu naif’ berpolitik dan juga ‘kekurangan gizi’ dalam proses politik yang terus semakin transaksional dan kian mahal.

Mengalami disorientasi dan dislokasi peran dalam proses politik yang juga kian manipulatif dengan kelembagaan politik kian ketat, masyarakat sipil semakin tersisihkan dan marjinal. Masyarakat sipil semakin tidak berdaya menghadapi jaring-jaring kekuasaan yang terus mengunci rapat berbagai bidang kehidupan.

Fenomena ini bisa terlihat dalam beberapa kasus mutakhir. Masyarakat sipil tersingkir dalam proses pelemahan Komisi Anti Korupsi (KPK) melalui revisi UU KPK No 30 Tahun 2002 menjadi UU No 19 Tahun 2019. Masyarakat sipil dan publik sejauh ini juga tidak disertakan dan tidak terlibat dalam pembahasan dan perumusan RUU Omnibus Law misalnya.

Perkembangan lain juga terlihat kian tidak menguntungkan bagi masyarakat sipil. Belakangan semakin menguat gejala ‘police state’ dan resentralisasi negara seiring merosotnya kontrol, cek dan keseimbangan dari masyarakat sipil.

Selain itu, masyarakat sipil juga harus berhadapan dengan ‘koalisi politik’—untuk tidak menyebut ‘konspirasi politik’—yang lebih menempatkan kepentingan politik masing-masing di atas segalanya; mereka mengabaikan publik di luar diri mereka. Menghadapi gejala ini, masyarakat sipil hampir tidak berdaya apa-apa.

Menghadapi fenomena tidak kondusif, masyarakat sipil perlu revitalisasi. Tanpa revitalisasi masyarakat sipil, masa depan demokrasi dan lebih-lebih lagi masa depan negara-bangsa Indonesia menjadi pertaruhan sangat mahal. Oleh karena itu, sudah saatnya semua pihak pemangku kepentingan untuk bersama-sama mendorong revitalisasi masyarakat sipil.

Dari pihak masyarakat sendiri ada kesediaan cukup kuat untuk merevitalisasi dan memberdayakan kembali masyarakat sipil. Jajak pendapat Kompas menemukan, dua pertiga responden dari kelompok umur 17-30 dan juga 31-40 tahun bersedia langsung terlibat dalam gerakan masyarakat sipil. Selain itu, 6 dari 10 responden berpendidikan tinggi menyatakan tertarik dalam gerakan masyarakat sipil.

Dengan begitu dukungan untuk revitalisasi masyarakat sipil cukup kuat. Sekali lagi, hanya dengan masyarakat sipil yang kuat, Indonesia dapat tumbuh menjadi demokrasi terkonsolidasi dengan pemerintahan bertatakelola yang baik untuk lebih memajukan negeri ini.

Prof Dr Azyumardi Azra MA CBE, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bahan Presentasi Sekolah Demokrasi LP3ES, 29 Agustus, 2020. Sumber: https://geotimes.co.id/kolom/fiqh-siyasah-indonesia-siasat-politik-kontemporer/. (mf)