Creative Thinking

Creative Thinking

Kata kreatif kini menjadi sangat populer, apalagi setelah menjadi nama dari sebuah kementerian, yakni Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekref). Kini kosa kata kreatif bukan saja miliki para guru dan dosen di lembaga pendidikan, tapi sudah menjadi kosa kata di semua bidang kehidupan, seni lukis, seni tari, bahkan industri musik merupakan dunia kreatifitas tanpa batas, dan merupakan wilayah perputaran bisnis yang sangat menggiurkan saat ini. Tidak heran kalau banyak anak-anak muda berlomba-lomba memasuki berbagai kompetisi untuk mencari peruntungan dalam perputaran bisnis ini, sehingga ajang kompetisi apapun yang digelar di televisi senantiasa memperoleh respon yang sangat kuat dari masyarakat.

Tidak hanya itu, kreatifitas, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini sudah mulai meningkat dan menjadi variabel pendongkrak ekonomi bangsa. Karya-karya kreatif masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa sudah terasa dan sangat relevan dengan upaya menggapai visi 2025 menjadi bangsa yang maju, mandiri dan sejahtera dengan strategi “Knowledge Based Economy”. Keinginan besar bangsa Indonesia tersebut meniscayakan pengembangan kreatifitas anak bangsa sebagai pilar utama pemajuan ekonomi, dengan tidak terus menerus hanya mengandalkan sumber daya alam tanpa sentuhan kreatifitas sama sekali.

Martin Prosperity Institute (MPI) dari Toronto University, mempublikasikan hasil survey mereka di tahun 2011 tentang negara-negara yang sangat kreatif dan mengandalkan ekonomi mereka dari kreatifitas negaranya. Menurut hasil pengamatan MPI tentang kreatifitas tenaga kerja, hanya ada 14 negara di dunia yang rata-rata kelompok kreatifnya di atas 40 %, yakni di antaranya Singapura tertinggi, kemudian Australia, dan beberapa negara Eropa seperti Netherland, Swedia, Switzerland, Belgium, Denmark, Finland, Norway dan Germany, di luar itu ada Canada di utara Amerika. Akan tetapi urutan ini berubah ketika mengukur kreatifitas bangsa secara keseluruhan, dengan menggabungkan tiga variabel utama technology, talent, dan tolerance. Gabungan ketiganya menghasilkan komposisi  Global Creativity Index (GCI), dengan 10 tertinggi di dunia, masing-masing Swedia, USA, Finland, Denmark, Australia, New Zealand, Canada, Norway, Singapore dan Netherland. Sementara negara Belgium, Ireland, United Kingdom, Switzerland, France, Germany, Spain, Taiwan, Italy dan Hongkong berada pada urutan 10 berikutnya. Itulah negara-negara terkreatif di dunia menurut versi MPI hasil survey yang dipublikasikan tahun 2011.

Indonesia menuju negara kreatif, hanya saja belum termasuk dalam laporan MPI, mungkin belum disurvey, atau mungkin belum menarik untuk disurvey, atau mungkin sudah disurvey tapi urutannya jauh di bawah angka-angka yang pantas dipublikasikan. Untuk menjadi bangsa kreatif perlu didukung oleh anak-anak bangsa yang kreatif. Dan untuk menjadi anak bangsa yang kreatif menurut Kate Ray dari New York University, dalam tulisannya berjudul What is Creativity, seseorang harus memiliki kemampuan untuk membawa ide-ide dan imajinasi serta keinginan-keinginan besar menjadi kenyataan. Untuk menjadi orang kreatif, kita harus memiliki imajinasi, harus memiliki kekuatan ide melahirkan sesuatu yang belum ada sebelumnya, kemudian untuk menjadi orang kreatif, kita juga harus berusaha mencari cara bagaimana ide-ide tersebut diturunkan menjadi sebuah kenyataan. Dengan demikian, untuk menjadi kreatif setiap kita harus memiliki dua variabel utama, ide dan karya. Ide dan gagasan tanpa karya hanya akan menghasilkan mimpi-mimpi indah tanpa membawa perubahan, sebagaimana juga karya tanpa gagasan baru hanya akan menghasilkan stagnasi dan kejumudan.

Untuk menjadi kreatif, menurut Karlyn Adams, dalam tulisannya berjudul the Source of Innovation and Creativity pada tahun 2006, seseorang harus memenuhi tiga (3) persyaratan utama, yakni memiliki pengetahuan, berfikir kritis dan memiliki motivasi. Ada dua tipe pengetahuan yang harus dimiliki untuk bisa menjadi orang kreatif, yakni pengetahuan yang benar-benar didalami dan ditekuni, menjadi keahlian utama dan dapat memberikan dedikasi layanan dengan keahlian utamanya itu. Kemudian pada saat yang sama dia juga harus memiliki pengetahuan lain di luar keahliannya yang bisa terkoneksi dengan profesi lain, sehingga bisa memperkuat keahlian dan profesinya dengan area keilmuan yang lebih luas, agar lebih kokoh dan dapat diterima oleh masyarakat banyak.

Untuk menjadi kreatif, seseorang juga harus memiliki kemampuan dan tradisi berfikir kritis, dengan empat kriteria; yakni memiliki kebiasaan berfikir berbeda dengan kebanyakan orang dan mencari solusi untuk keluar dari keadaan status quo, memiliki kemampuan untuk mensintesiskan berbagai pengetahuan dan informasi dari berbagai bidang keilmuan yang berbeda, memiliki ketekunan bekerja untuk masalah-masalah sulit dan memberikan solusi penyelesaian, terakhir, memiliki kemampuan inkubasi, yakni keluar sementara dari upaya penyelesaian masalah untuk berfikir secara lebih tenang, dan datang kembali dengan pemikiran segar.

Kemudian, untuk menjadi kreatif seseorang harus memiliki motivasi, yakni sebuah dorongan kuat dari dalam jiwa (motivasi intrinsic) untuk melakukan sesuatu khususnya untuk melakukan sesuatu yang baru agar membawa perubahan dan peningkatkan produktifitas dalam lingkungan pekerjaan. Memang motivasi intrinsic menjadi sangat penting dalam pengembangan dan peningkatan kreatifitas. Seseorang akan tumbuh menjadi sangat kreatif ketika ada ketertarikan, ada kepuasan dan ada tantangan untuk bekerja lebih produktif, bukan dengan tekanan dari luar (motivasi extrinsic). Tekanan, paksaan atau bahkan mungkin hadiah yang diajnjikan jika seseorang lebih produktif, tidak akan menambah kreatifitas, karena seseorang bekerja keras dan bekerja serius hanya untuk mengejar hadiah di akhir pekerjaan, dan setelah itu selesai. Sementara motivasi intrinsic berupa dorongan jiwa dari dalam akan selalu melahirkan berbagai cara, berbagai strategi untuk meningkatkan produktifitas kerja, karena ada ketertarikan, keinginan keras serta kepuasan dengan peningkatan prestasi.

Perguruan tinggi sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi, secara institusional, memiliki mandat untuk melahirkan sarjana-sarjana yang cerdas, berkeahlian, berketerampilan untuk memasuki pasar tenaga kerja, dan pada saat yang sama juga diberi mandat untuk mendidik dan melatih para mahasiswa agar menjadi anak-anak bangsa yang kreatif, sehingga visi bangsa menjadi negara berparadigma “Knowledge Based Economy”, menjadi sebuah kenyataan. Untuk itulah, para dosen diminta untuk secara konsisten mendampingi para mahasiswanya belajar, mengarahkan para mahasiswanya melakukan eksplorasi bahan-bahan ajar, mendampingi para mahasiswa melakukan penelitian, melaporkan hasil penelitian di dalam kelas, dan melakukan proses pembelajaran dengan saling mengajarkan pengetahuan dan ketrampilan mereka pada temannya, sehingga mereka terlatih untuk menjadi anak-anak kreatif dalam proses pembelajaran mereka. Wallahu a’lam bi al shawab

*Artikel pernah dimuat dalam kolom Suara Kampus Harian Tangsel Pos, Senin 13 April 2015