Covid-19 dan Agama yang Pro-Sains

Covid-19 dan Agama yang Pro-Sains

Oleh Jajang Jahroni, Ph.D

 

KETIKA dunia dilanda krisis seperti ini, akibat wabah Covid-19 yang melanda belahan dunia dan merenggut banyak jiwa, agama seringkali menjadi sesuatu yang menyebalkan. Ini karena ada sekelompok ahli agama yang berpretensi menjelaskan sesuatu yang di luar kemampuannya. Lalu mereka pun mengutip teks-teks agama. Tentu hadis seperti “jika kalian mendengar tentang wabah di satu negeri, maka jangan kalian memasukinya, jika ada wabah di tempat kalian berada, maka janganlah meninggalkan tempat itu,” masih relevan. Nabi tengah mengajarkan sebuah bentuk karantina kepada umatnya. Namun Covid-19 ini pastinya lebih kompleks dari wabah tha’un yang pernah terjadi di zaman Nabi dan para Sahabat.

Yang memprihatinkan adalah sejumlah ahli agama mengabaikan bahkan menolak instruksi pemerintah untuk menghindari kerumunan yang terwujud dalam praktik keagamaan seperti solat Jum’at. Justru, kata para ahli agama ini, dalam keadaan krisis manusia harus mendekatkan diri kepada tuhan dengan meramaikan masjid. Sebagian kelompok masyarakat, karena seruan ini, bersikeras mengadakan solat Jum’at atau tabligh akbar. Mereka tidak menyadari bahwa mereka berpotensi menularkan dan ditularkan. Dan ketika hal itu terjadi jumlah korban akan semakin besar. Kita patut bersyukur acara tabligh akbar yang sedianya akan dilakukan Jama’ah Tabligh di Gowa, Sulawesi Selatan, akhirnya dibatalkan.

Pretensi kalangan agamawan tentang penyakit dan masalah kesehatan pada umumnya sebenarnya sudah lama terjadi dalam Islam. Ada kelompok yang beranggapan bahwa metode pengobatan yang dikembangkan Nabi adalah yang terbaik dan karena itu kaum Muslim tidak perlu mengadopsi pengobatan modern yang tidak bisa dijamin sesuai syari’ah atau tidak. Kelompok ini seringkali menolak berbagai temuan pengobatan modern seperti vaksinasi karena dianggap mengandung najis dan bahan berbahaya bagi manusia. Beberapa waktu yang lalu publik dikejutkan dengan promosi kencing onta oleh seorang ustadz dengan dalih hal tersebut pernah dilakukan Nabi.

Lalu apa yang disebut pengobatan Nabi? Ibn Khaldun (1332-1406) beranggapan bahwa apa yang disebut “pengobatan Nabi” tak lebih dari koleksi pengetahuan masyarakat padang pasir tentang obat dan pengobatan. Lebih lanjut, Fazlur Rahman menulis bahwa tradisi “pengobatan Nabi” mengalami kebangkitan pada abad ke-12, salah satunya berkat jasa Ibn al-Qoyyim al-Jauziyyah (1292-1350), seorang neo-Hanbali yang menginspirasi Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1792), pendiri Wahhabisme. Kebangkitan ini dilakukan untuk mengimbangi dominasi pengobatan ala Galen (130-210 M), dokter dan filosof Yunani, yang dianggap mengandung tradisi pagan. Seperti diketahui penguasa Abbasiyah mendorong penerjemahan karya ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani ke dunia Muslim. Sejak abad ke-12, agama dan ilmu pengetahuan, dalam hal ini kedokteran dan pengobatan, secara perlahan bercerai bahkan hingga hari ini. Agama dan sains seakan dua dunia yang tidak pernah bertemu, agama ke mana sains ke mana.

Menguatnya konservatisme agama dalam beberapa dasawarsa belakangan membuat masyarakat modern yang cenderung sekular menjauhi agama. Mereka tidak tertarik dengan agama karena agama dianggap menawarkan jawaban yang tidak memuaskan mengenai berbagai hal. Sangat dangkal. Agama selalu membawa serta nama tuhan untuk menutupi ketidakbecusannya, membuat orang semakin antipati terhadapnya. Dewasa ini ada oposisi terhadap agama yang dilakukan kaum atheis. Memang ini tidak persis menimpa Islam, paling tidak belum. Namun Kristen di Barat menerima serangan bertubi-tubi dari para ilmuwan atheis seperti Richard Dawkins dan Sam Harris. Menurut Dawkins, sains memiliki metode yang jauh lebih baik dalam menjelaskan fenomena kehidupan termasuk masalah kesehatan. Ini karena sains, menurut Dawkins, adalah evidence-based (berdasarkan bukti), sementara agama atau faith identik dengan fake (kepalsuan). Jadi untuk apa beragama? Untuk apa tuhan?

Di kalangan kaum Muslim, atheisme tidak atau belum menyeruak, tapi sekularisme dalam pengertian proses meninggalkan ajaran agama semakin gencar. Ini terjadi di berbagai negara Muslim termasuk Indonesia. Fenomena ini tentu harus dicermati karena sejatinya agama justru menginspirasi orang untuk mengembangkan sains.

 

Agama Menunjukkan, Sains Menjelaskan

Kalau kita perhatikan al-Qur’an, agama sejatinya adalah petunjuk (al-huda) bagi orang-orang yang beriman. Ia memberi petunjuk bagi manusia tentang arah mana yang harus ditempuh, arah mana yang harus dihindari, mana jalan tuhan, mana jalan setan, dan seterusnya. Memang dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang berupaya menjelaskan banyak hal. Ada ayat yang menjelaskan bintang dan planet, menjelaskan kejadian manusia mulai dari sperma hingga berbentuk manusia, menjelaskan lebah dan madu, menjelaskan buah-buahan, dan seterusny. Namun semuanya dalam konteks agar manusia bersyukur atas nikmat-nikmat yang diberikan dan, yang lebih penting lagi, tidak melupakan hari akhir, hari ketika setiap insan dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatannya di dunia.

Pada sisi lain, sejumlah ayat al-Quran memerintahkan manusia untuk membaca tanda-tanda tuhan yang bertebaran di alam semesta ini. Afala ta’qilun (tidakkah kalian berakal), afala tatabbarun (tidakkah kalian berpikir/mengamati), afala tatafakkarun (tidakkah kalian berpikir), dan seterusnya. Ayat-ayat ini menyeru agar kaum Muslim menggunakan akal atau pikiran semaksimal mungkin untuk mempelajari alam semesta. Di sini lalu muncullah ilmu, dan semangat membangun ilmu pengetahuan tumbuh subur di kalangan kaum Muslim.

Perlu diketahui bahwa dokter-dokter Muslim semisal Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan lainnya, semuanya terdorong mengembangkan ilmu kedokteran sebagai bentuk kewajiban manusia kepada tuhan dan sesama. Juga karena ada kebutuhan yang mendesak. Saat itu kaum Muslim yang terus berkembang tidak punya metode pengobatan yang mapan, hanya ada pengetahuan sederhana seperti yang dimiliki suku Badui seperti telah disebutkan atas. Pengetahuan tersebut tidak cukup untuk mengatasi berbagai persoalan pengobatan yang muncul di kalangan kaum Muslim. Maka mereka pun mengadopsi ilmu pengobatan Yunani, Mesir, dan India seraya menyempurnakan metode dan tekniknya. Metode experintasi ditemukan pada saat itu. Mereka tidak perduli apakah itu dari Islam atau bukan. Yang jelas etika yang diperkenalkan Islam menjadi pegangan dalam mana mereka bekerja. Banyak penemuan baru terjadi, dan pengobatan Islam ini pada gilirannya berkontribusi pada pengobatan Barat modern.

 

Biarkan Ilmuwan Bekerja

Maka pada saat ini, biarkan ilmuwan bekerja untuk menemukan vaksin atau obat wabah ini. Ini adalah porsi mereka. Sementara itu ahli agama mendukung di belakang, sabar menanti, memberi pencerahan kepada para pengikutnya untuk mentaati seluruh instruksi pemerintah. Tinggal di rumah, seperti sabda Nabi “jangan tinggalkan tempat itu.” Saat ini dunia tengah berpacu dengan waktu. Semakin cepat vaksin ditemukan, semakin cepat si sakit disembuhkan. Semakin lama vaksin ditemukan semakin banyak korban berjatuhan. Bagaimana ilmuwan bekerja tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan agama. Ini masalah kecakapan manusia didukung oleh fasilitas yang memadai. Sementara kita rakyat biasa menunggu hasil pekerjaan mereka.

Lalu di mana tempatnya doa? Sekaranglah saatnya berdoa. Setelah kita berupaya semaksimal mungkin, kita serahkan hasilnya kepada tuhan. “Ikat ontamu, setelah itu engkau tawakkal. Begitu sabda Nabi. Dan itulah pesan agama yang sejati. (Ed. Zaenal Muttaqin)

 

 

Penulis adalah Ketua LP2M UIN Jakarta, mengajar di Fakultas Adab dan Humaniora, dan menamatkan pendidikan doktor di Graduate School of Arts and Sciences, Boston University. Disertasinya berjudul “The Political Economy of Knowledge: Salafism in Post-Soeharto Urban Indonesia”.