Cita Kaum Muda Muslim

Cita Kaum Muda Muslim

Berulang kali saya mendapat pertanyaan dari berbagai peneliti asing dan kalangan media massa internasional tentang 'hasil' survei lembaga Jerman Friedrich Naumann Stiftung (FNS) dan Goethe Institute belum lama ini. Survei komparatif tentang tata nilai, impian, cita-cita pemuda Muslim Asia Tenggara (Indonesia dengan 1.496 responden dan Malaysia 1.060 responden), disebut-sebut menunjukkan kecenderungan meningkatnya 'konservatisme' keagamaan (Islam) di antara anak-anak muda Muslim di kawasan ini.

Sebelum membaca survei itu dengan lengkap, secara instan --berdasarkan pengamatan selama ini-- saya menjawab, memang terdapat gejala meningkatnya 'kedekatan keagamaan' (religious attachment) di kalangan anak-anak muda Muslim. Gejala ini biasa pula saya sebut sebagai 'santrinisasi'. Tetapi, gejala ini tidak sama dengan 'konservatisme' keagamaan secara menyeluruh --apalagi untuk menyebutnya sebagai 'fundamentalisme' dan 'radikalisme'.

Sejauh menyangkut apa yang disebut sebagai 'konservatisme' keagamaan, survei itu memberikan gambaran yang bukan tidak kontradiktif. Misalnya saja, lebih 90 persen responden kaum muda Muslim Indonesia menyatakan, percaya kepada Tuhan adalah penting; sebaliknya hanya sekitar 60 persen menganggap menjadi Muslim yang baik adalah penting. Lebih kontradiktif lagi ketika hanya 28,7 persen saja yang menyatakan selalu menjalankan shalat lima waktu dan 39,7 kadang-kadang; dan hanya 59,6 persen berpuasa pada bulan Ramadhan.

Jika angka-angka ini bisa dipegangi, jelas tidak terlihat 'konservatisme' di sini. Malah sebaliknya memperlihatkan sikap 'longgar' mereka dalam menjalankan ibadah-ibadah wajib. 'Rendahnya' tingkat kesetiaan kaum muda Muslim Indonesia dalam menjalankan ibadah seperti diungkapkan survei ini bertolak belakang dengan sejumlah penelitian beberapa ahli tentang 'religious observance' di kalangan kaum Muslimin di berbagai negara.

Nikki Keddie, guru besar di UCLA, misalnya, pada pertengahan 1980, dalam penelitian di Indonesia, Iran, dan Mesir menemukan, kaum Muslim Indonesia jauh lebih taat menjalankan ibadah shalat dan puasa dibanding di kedua negara lainnya. Gejala yang sama juga ditemukan Riaz Hassan, guru besar Universitas Flinders, Australia, dalam penelitiannya pada 1990-an tentang faithlines, yang menguji ketaatan kaum Muslimin dalam ibadah. Terakhir sekali, Robert W Hefner, antropolog Universitas Boston, belum lama ini, yang juga menemukan tingginya persentase pengamalan ibadah di kalangan kaum Muslimin Indonesia.

Maka, jika ada 'konservatisme' kaum muda Muslim Indonesia itu agaknya lebih terkait dengan jawaban mereka tentang kawin antaragama; 84,7 persen responden laki-laki  dan 95,4 persen responden perempuan tidak bersedia menikah dengan calon istri atau suami dari agama berbeda. Jika ada di antara mereka yang bersedia, kebanyakan mereka meminta calon pasangannya masuk Islam. Selanjutnya, hanya 38,1 persen yang menyatakan jilbab wajib bagi wanita; serta cuma 13,5 persen yang dapat menerima poligami.

Persentase terkait  isu 'konservatisme' itu tampaknya berhubungan dengan cita mereka (96,4 persen) untuk membangun keluarga bahagia. Karena, mereka percaya keluarga merupakan sarana pencapaian kebahagiaan, perlindungan psikososial, dan naungan dari tekanan dan ketidakpastian hidup yang kian sulit di Indonesia. Dalam kaitan itu, mereka (96,4 persen) menyatakan ingin punya anak; dan 71,6 persen menginginkan sedikitnya sepasang anak.

Sikap keagamaan seperti itu, seperti disimpulkan laporan survei, terkait dengan kondisi masyarakat Indonesia hari ini dan masa depan yang  masih galau dan penuh masalah. Karena itu, di tengah kegalauan itu, mereka mencari dan berusaha mendapatkan pegangan dari agama --khususnya dalam keluarga. Dalam mencari pegangan dan ketenangan keagamaan itu memang bukan tidak mungkin mereka terbawa ke dalam arus pemahaman yang sempit dan konservatif.

Berita baik lainnya adalah, meski sering menghadapi situasi galau,  kaum muda Muslim Indonesia terdeteksi tetap optimistis, nyaman dengan kehidupan mereka, dan percaya diri dengan keberadaan dan masa depan mereka. Bahkan, mereka hampir sepenuhnya (93,8 persen) merasa bahagia dengan kehidupan mereka. Karena, meski keadaan tidak selalu mudah, mereka merasa dapat belajar dan bekerja dalam bidang yang mereka inginkan.

Bila sikap optimistis ini bisa diperkuat, tidak hanya melihat sisi galau masalah dan tantangan kehidupan yang sulit dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini, maka kita juga bisa lebih optimistis dengan masa depan umat-bangsa ini. Karena, jika kegelapan dan pesimisme yang dominan dalam diri kaum muda Muslim, seperti sering terlihat dalam beberapa kasus, mereka menjadi rentan terhadap pikiran pendek yang dapat menggiring ke dalam tindakan dan aksi yang kontraproduktif bagi diri mereka, masyarakat, dan bangsa-negara.

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan dimuat pada Harian Republika, Kamis (7/7).