Candu Kleptokrasi

Candu Kleptokrasi

[caption id="attachment_8494" align="alignleft" width="282"]DR. Gun Gun Heryanto Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi (ISKI) DR. Gun Gun Heryanto Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi (ISKI)[/caption] Oleh : Gun Gun Heryanto*

Korupsi tak ada matinya. Setiap periode kekuasaan, seakan meneguhkan pernyataan populer dari Lord Acton, bahwa kekuasaan cenderung korup. Para pelaku korupsi bisa berbeda setiap zamannya, tapi modusnya hampir serupa yakni menggunakan kuasa yang ada di tangannya untuk memperkaya diri atau kelompoknya.

Ibarat candu, korupsi membuat ketagihan dan ketergantungan, terlebih jika sistem pengawasan hukum lemah dan kekuasaan dikendalikan para pemburu rente! Pada dasarnya, pemburu rente senantiasa mencari dan mendapatkan peluang untuk menjadi penerima rente yang diberikan birokrasi. Caranya, menyerahkan sumber daya yang mereka miliki, menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang tertentu yang diaturnya. Saat kecanduan para koruptor lupa daratan! Tanpa malu, mereka menjadi mata rantai kaum pencuri dan menjadi penunggang bebas kekuasaan yang teramat merugikan.

Politisi Pencuri? 

Saat ini sudah tiga anggota DPR periode 2014-2019 yang diproses hukum oleh KPK. Mereka adalah Andriansyah (PDIP), Patrice Rio Capella (NasDem), dan Dewie Yasin Limpo (Hanura). Ironisnya, politisi tersebut berasal dari barisan partai pendukung kekuasaan Jokowi-JK yang harusnya menjadi contoh dan memiliki tanggung jawab moral untuk membangun tata kelola yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government). Potret buram seperti ini juga kita rasakan pada era kekuasaan SBY. Saat itu, meski iklan Partai Demokrat (PD) tegas mengatakan ”Katakan Tidak pada Korupsi”, nyatanya sederet kasus korupsi seperti proyek Hambalang menyeret elite PD. Di antaranya Muhammad Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Angelina Sondakh, dan lainnya.

Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK kepada sejumlah politisi lintas partai pada era sebelum Jokowi pun sudah berulang dilakukan. Tapi, nyatanya, korupsi tetap mengalir sampai jauh. Kejahatan tingkat atas (top-hat crimes ) bernama korupsi ini hampir merata menjangkiti seluruh simpul pokok negara dari hulu ke hilir dan berkelindan dengan kekuasaan di legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Korupsi nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes ) karena kerap mewujud dalam suatu kemapanan pola dan sukses menjadi totalitas historis atau, meminjam istilah Jurgen Habermas, menjadi bentuk kehidupan (lebensform) politisi pencuri di negeri ini.

Berbagai contoh terkini soal ditangkapnya politisi korup menjadi bukti kuat bahwa kejahatan oleh mereka yang memiliki kekuasaan tak pernah ada jedanya. Bahkan ada kecenderungan kekuasaan yang mereka miliki semakin terjebak ke dalam pusaran kleptokrasi (kleptocracy). Secara etimologi, istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang berarti diperintah oleh para pencuri. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri. Praktik korupsi, nepotisme, dan persekongkolan kejahatan dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk memengaruhi kebijakan.

Kita tentu ingat, sebuah nasihat populer dari ekonom dan pemikir Prancis, Frederic Bastiat yang mengatakan bahwa jika lembaga negara penuh dengan praktik ilegal dan korupsi, negara pun berubah menjadi institusi kleptokrasi. Istilah kleptokrasi dipopulerkan oleh Stanislav Andreski dalam karya klasiknya, Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968), yang menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah pengayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik. Sebuah negara yang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutifnya tunduk pada para koruptor tentu hanya akan berjalan menuju titik nadir.

Korupsi Politik 

Kleptokrasi sangat erat hubungannya dengan korupsi politik bahkan tak bisa dipisahkan. Makna korupsi politik adalah penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan publik berdasarkan peraturan perundang- undangan oleh pejabat publik demi kepentingan pribadi.

Lingkup korupsi politik sendiri mencakup antara lain suap-menyuap, jual-beli pengaruh, patronase, kecurangan pemilu, gratifikasi, penggelapan, pemufakatan jahat, dan keterlibatan dalam kejahatan terorganisasi. Aktor korupsi politik bisa saja parpol, pengurus dan kader parpol, anggota legislatif, kandidat anggota legislatif dan eksekutif yang diusung parpol, serta pelaku bisnis atau swasta.

Korupsi politik akan menjadi momok krisis kepercayaan di sebuah negara dan menjadi penyebab krisis di bidangbidang lain karena biasanya dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan politik. Para pelaku menyalahgunakan kewenangan, sarana, atau kesempatan yang melekat pada kedudukan dan posisi sosial-politik mereka.

Saat ini korupsi politik dilakukan oleh siapa saja dan kelompok politik mana saja mengingat fragmentasi kekuatan politik pada era demokrasi elektoral. Sejumlah pintu masuk masih menganga lebar hingga kerap menarik minat para koruptor. Pertama, sirkulasi jabatan strategis di pemerintahan seperti di sejumlah kementrian yang memungkinkan pengendalian uang rakyat untuk berubah fungsi menjadi basis logistik parpol atau kandidat.

Hal ini juga berlaku pada posisi-posisi penting di perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), Bank Indonesia, dan sejumlah aset negara lainnya yang biasanya teramat rentan untuk dikuasai dan dikendalikan oleh para koruptor. Kedua, korupsi dalam penyusunan, pengalokasian, dan pendistribusian anggaran. Kerapkali terjadi politik transaksional, mark up proyek, dan pengaturan ilegal dalam anggaran.

Hal semacam inilah yang dapat kita lihat dari operasi tangkap tangan terhadap Dewi Yasin Limpo karena diduga menerima fee 7% dari proyek yang diklaim bisa diamankan olehnya. Ketiga, korupsi politik juga kerap terjadi dalam proses penyusunan dan pengesahan UU, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan sejumlah kebijakan publik lainnya.

Korupsi terjadi karena kepentingan para pihak baik pengusaha swasta, pihak asing, maupun institusi pemerintah sendiri dalam lolosnya sebuah regulasi. Persoalan hukum yang menjerat Andriansyah, Rio Capella, dan Dewi Yasin Limpo hanyalah puncak gunung es dari praktik korupsi politisi dan kekuasaan. Kita tentu tidak ingin fase konsolidasi dan pelembagaan demokrasi terus-menerus tersandera oleh tindakan korupsi politik.

Karena itu, KPK, kejaksaan, maupun kepolisian jangan pernah terjebak ke dalam praktik obstruction of justice atau pengadilan dan pertanggungjawaban pidana hanya berlaku pada orang-orang yang korup, tetapi tak berkuasa. Sementara jika berkuasa, seringkali para ”God Father ” tak tersentuh.

Jangan sampai virus korupsi menjangkiti masyarakat, dengan menihilkan rasa malu saat ikutan korupsi. Bagi mereka yang diamanahi mandat kekuasaan, jangan jadikan birokrasi di legislatif, yudikatif, maupun eksekutif menjadi bagian utuh dari kleptokrasi itu sendiri!

DR. Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute

Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

Artikel ini telah dimuat pada kolom Opini Koran Sindo Edisi 27-10-2015.