Buta Aksara Alquran

Buta Aksara Alquran

Masyarakat buta aksara Alquran di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan hasil riset Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ), sekitar 65 persen masyarakat Indonesia masih buta aksara Alquran, terutama di daerah pedesaan atau wilayah pelosok (Republika, 18/01/2018).

Fakta ini patut menjadi perhatian umat muslim Indonesia, karena Alquran adalah kitab suci yang berisi petunjuk hidup (way of life) setiap muslim dalam mengarungi hidup ini. Barangsiapa menjadikan Alquran sebagai kompas hidupnya, maka ia akan selamat dan bahagia. Sebaliknya, muslim yang tidak mengenal dan tidak mengamalkan Alquran akan celaka hidupnya. Membaca Alquran adalah satu di antara pengamalan Alquran itu sendiri.

Berikut adalah sebab-sebab buta aksara Alquran masih tinggi, dan bagaimana cara mencegahnya. Pertama, paradigma orang tua terhadap agama yang keliru, khususnya alquran sebagai kitab suci umat Islam. Membaca Alquran dianggap tidak penting bagi seorang muslim sehingga tidak menuntut anak untuk belajar membacanya. Bisa jadi orang tua lebih cemas anaknya tidak bisa membaca huruf latin daripada tidak bisa membaca Alquran.

Orang tua lebih fokus pada memilih sekolah atau madrasah favorit atau unggul daripada memilih guru mengaji atau Taman Pendidikan Alquran (TPA). Padahal membaca Alquran merupakan kunci utama untuk menghafal ayat-ayatnya. Menghafal beberapa ayat-ayat Alquran diperlukan saat shalat. Demikian juga bacaan-bacaan dalam shalat memerlukan keterampilan membaca huruf Arab bahkan harus dihafal.

Membaca Alquran berbeda dengan membaca buku, majalah, koran, dan sosial media. Pembacanya akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah Swt. Paradigma orang tua terhadap Alquran harus diubah sehingga anak-anak mereka wajib terampil membaca Alquran.

Kedua, profesi guru mengaji di mata masyarakat. Pendirian TPA bertujuan mulia mengajar anak-anak sekitar mengaji. TPA biasanya menyatu dengan masjid, musola, rumah pribadi, atau memiliki bangunan sendiri. Di tengah kebutuhan hidup yang serba mahal saat ini, berapa banyak guru-guru mengaji di TPA atau di rumah-rumah pribadi yang masih bertahan?

Jika ada kesempatan mendapatkan pekerjaan selain guru mengaji, mereka pasti akan meninggalkannya. Apa sebab? Gaji guru mengaji sangat kecil. Di TPA tempat saya tinggal saat ini, satu bulan anak membayar 20.000 rupiah. Anak-anak mengaji sore selama lima hari dalam seminggu. Bandingkan dengan biaya kursus Bahasa Inggris di English First (EF) untuk anak-anak. Biayanya satu jutaan perbulan. Kursus dua sampai tiga kali dalam seminggu. Belum biaya antar-jemputnya.

Faktor utamanya kembali kepada orang tua. Meski biaya resminya 20.000 rupiah perbulan misalnya, mereka harus membayar lebih agar guru-guru mengaji memperoleh pendapatan yang layak. Jika para orang tua sepakat dengan ini maka profesi guru mengaji akan menjadi pilihan banyak orang, termasuk anak-anak muda bahkan yang sarjana.

Kecuali itu, pengelola TPA harus mulai melakukan inovasi untuk menarik minat masyarakat. Contoh, menyediakan fasilitas bermain dan tempat mengaji yang bersih dan nyaman, kemudian melakukan sosialisasi intensif ke masyarakat. Fasilitas yang memadai, nyaman, dan bersih, memungkinkan TPA menarik biaya bulanan yang wajar, yang cukup membayar guru-guru sesuai Upah Minimum Regional (UMR).

Ketiga, kekurangan penyuluh agama. Meski demikian, mereka bisa terlibat sebagai agen perubahan kecintaan masyarakat terhadap Alquran. Penyuluh agama bekerjasama dengan TPA mensosialisasikan gerakan cinta Alquran. Mereka bisa menjadi konsultan atau mitra strategis pengembangan TPA di setiap desa dan kecamatan.

Penyuluh agama bisa memetakan kemampuan baca-tulis Alquran anak-anak di desa tertentu melalui riset. Melalui riset ini juga bisa diketahui akar masalah, faktor pendukung, dan faktor penghambat lemah-tidaknya kemampuan baca-tulis Alquran di wilayah tertentu. Melaui riset bisa dihasilkan rekomendasi dan jalan keluar masalah buta aksara Alquran.

Keempat, perhatian pemerintah daerah. Pembangunan sumber daya manusia sama penting dengan pembangunan fisik daerah, seperti jalan, jembatan, gedung sekolah, dan gedung perkantoran. Para pejabat daerah di Indonesia seharusnya prihatin jika banyak warganya yang tidak bisa baca-tulis Alquran.

Kemampuan baca-tulis Alquran harus menjadi program prioritas setiap daerah. Misalnya, Pemda mengalokasikan dana untuk membayar tunjangan guru-guru mengaji. Prinsipnya sama dengan tunjangan profesi guru dan dosen. Bekerjasama dengan Kementerian Agama, Pemda mendata dan memberikan Nomor Induk Khusus (NIK) kepada guru mengaji. Dengan demikian bisa dihitung dengan cermat berapa kebutuhan dana yang perlu disiapkan oleh masing-masing daerah. Pemerintah pusat menyiapkan payung hukum program ini.

Kelima, implementasi kurikulum agama di madrasah dan sekolah masih lemah. Kemampuan membaca Alquran harus jadi perhatian guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Sekolah Dasar (SD). Jika ada siswa yang belum bisa atau belum lancar membaca Alquran harus diberikan guru khusus. Membaca Alquran setiap hari di sekolah dan madrasah harus dijadwalkan sehingga menjadi budaya.

Selain untuk melancarkan bacaan siswa, tadarus juga akan membentuk sifat mencintai Alquran sejak dini. Kehadiran gawai, games, dan sosial media (Facebook, Instragram, WhatsApp), tidak boleh mengalahkan keutamaan anak-anak membaca Alquran.

Kurikulum agama di sekolah dan madrasah perlu diperhatikan karena masih ada misalnya mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang belum bisa membaca Alquran. Ini kelalaian dari orang tua dan guru. Keluarga muslim dan guru agama harusnya fokus pada Alquran. Jangan sampai Alquran hanya menjadi pajangan di rumah dan sekolah karena generasi muslim tidak pandai membacanya.

Tantangan sesungguhnya umat muslim abad ini adalah melahirkan generasi pembaca dan pencinta Alquran di satu sisi, dan menjadikan membaca Alquran sebagai budaya pada sisi yang lain. Kemudian, yang lebih utama tentu adalah bagaimana umat muslim mengamalkan nilai-nilai Alquran dalam hidup keseharian. Dengan demikian akan tercipta masyarakat yang madani (civil society).

Masyarakat madani adalah masyarakat yang tidak menolak kemajuan sains dan teknologi, bahkan menjadi pengembang ilmu pengetahuan, tetapi pada saat yang sama tetap tidak meninggalkan Alquran. Masyarakat madani adalah masyarakat yang membudayakan membaca Alquran di rumah, di kantor, di stasiun, di bandara, dan di mana pun karena mencari keseimbangan hidup dunia dan akhirat.

Dr. Jejen Musfah, MA: Ketua Magister MPI FITK UIN Jakarta, Tim Ahli PB PGRI (mf)