Brexit di Tangan Boris Johnson

Brexit di Tangan Boris Johnson

Boris Johnson akhirnya terpilih menjadi ketua Partai Konservatif dan secara otomatis akan menduduki posisi Perdana Menteri Inggris menggantikan Theresa May yang pada hari Rabu (24/7) resmi mengundurkan diri. Boris menang sebanyak 66.4 percen dari pesaingnya, Jeremy Hunt, dari seluruh anggota Tory pada pemilihan di hari Selasa (23/7).

Mantan walikota London ini memang sudah difavoritkan bakal menjadi perdana menteri Britania Raya paska pengunduran diri Theresa May. Perbincangan dalam mencari sang perdana menteri kali ini memang agak relatif menyita banyak perhatian publik Inggris. Terutamanya dipicu oleh sosok Boris Johnson yang dianggap sebagai politikus yang sangat kontroversial. Dia dijuluki sebagai Donald Trumnya Inggris. Makanya, Trump termasuk pemimpin dunia pertama yang mengucapkan selamat atas keterpilihan Boris sebagai perdana menteri.

Julukan sebagai “Britain’s Trump” yang disematkan ke Boris bukan hanya karena kesamaan gaya rambut tetapi juga sejumlah kesamaan pandangan terutama terkait dengan pernyataan kontroversial tentang Isalm. Dalam artikel opininya di The Telegraph, Boris menyebut perempuan bercadar (burka) seperti kotak surat (letter box) dan juga menyamakannya mirip perampok bank (bank robber). Meskipun sebenarnya tulisan Boris ini sebagai kritik terhadap pemerintah Denmark yang melarang penggunaan burqa di depan publik yang dianggapnya terlalu opresif dan memalukan. Tulisan tersebut telah memicu terjadinya sejumlah sikap anti Islam terutama bagi kalangan wanita di Inggris. Media setempat memberitakan setidaknya terjadi lima kasus penyerangan dan pelecehan verbal terhadap wanita Muslim karena menggunakan niqab, mereka dilecehkan dengan dipanggil sebagai “letter box”, sebuah istilah yang diciptakan oleh Boris, ketika mereka berada di atas kendaraan umum.

Jauh sebelumnnya, Boris juga punya pandangan kontroversial tentang Islam yang dia tuangkan dalam bukunya berjudul “The Dream of Rome” terbit pada tahun 2006. Dia menyatakan bahwa Islamlah yang menjadi penyebab dunia Muslim terbelakang dibandingkan dengan dunia Barat. Dari pandangan-pandangan tersebut, sejumlah komunitas Muslim di Inggris menilai Boris sebagai politisi yang phobia Islam.

Selama ini masyarakat Inggris dan komunitas-komunitas Muslim secara umum sudah hidup damai dan saling menghormati. Bahkan walikota London saat ini adalah merupakan seorang Muslim moderat yang umumnya disukai oleh masyarakat London. Olehnya, dengan terpilihnya Boris sebagai perdana menteri diharapkan tidak mengusik kedamaian dan toleransi agama yang sudah dibangun bertahun-tahun di kalangan masyarakat Inggris selama ini. Jangan seperti Trump yang justru menggunakan “isu anti Islam” sebagai jualan politik dan kampanye. Salah satunya terlihat baru-baru ini yang menyerang Anggota Kongres Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Ilham Omar, yang notabene sebagai salah satu Wanita Muslim di Kongres dengan menyuruhnya untuk pulang kembali ke negara asalnya, yaitu Somalia.

Boris Johnson juga dianggap kontroversi terkait dengan Brexit. Dia termasuk pendukung kuat Brexit atau disebut hardline Brexiter. Saat kampanye agar Inggris meninggalkan Uni Eropa tahun 20016, dia dainggap berbohong kepada publik dengan mengatakan bahwa Inggris terbebani dengan harus membayar sekitar 350 miliar poundsterling setiap pekan sebagai konsekuensi anggota Uni Eropa. Pernyataan ini dikampanyekan berulang-ulang di berbagai media termasuk ditulis di sejumlah bus umum yang ada di London. Kampanye ini akhirnya sukses mengubah opini publik untuk menyatakan ‘yes’ untuk Brexit saat referendum. Anehnya, saat dia bergabung sebagai menteri luar negeri di kabinet pemerintahan Theresa May, justru dia mengundurkan diri di tengah jalan di saat politik Brexit mengalami kebuntuan dan penolakan di parlemen Inggris.

Saat kampanye untuk menjadi ketua partai Konservatif dan perdana menteri dia menjanjikan Brexit akan benar-benar terjadi pada 31 Oktober tahun ini dengan slogan “do” or “die”. Jika Uni Eropa tidak mau melakukan negosiasi ulang atas draf Brexit yang sudah ditandatangani dengan perdana menteri sebelumnya, dia menjanjikan UK keluar dengan status tanpa perjanjian, atau “no deal Brexit”. Boris menggunakan “biaya perceraian” sebayak 39 triliun poundsterling yang harus dibayar oleh UK paska keluar dari UE sebagai daya tawar. Dia mengirim sinyal kalau UK tidak akan bayar biaya tersebut jika UE tidak mau mengubah draf kesepakan Brexit. Bahkan lebih jauh, dia akan mensuspensi parlemen jika menolak rencananya keluar dari UE pada tanggal 31 Oktober tersebut.

Rencana “no deal Brexit” yang diinginkan oleh Boris Johnson saat terplilih jadi perdana menteri akan menjadi mimpi buruk bagi perekonomian Inggris. Hampir semua analis ekonomi memperkirakan ekonomi Inggris akan mengalami goncangan kuat dalam jangka pendek jika kebijaka ini terjadi. Bank Sentral Inggris mengingatkan akan adanya ancama resesi ekonomi yang jauh lebih buruk dibandingkan dengan krisis keuangan pada tahun 2008 jika Inggris keluar tanpa ada kesepakatan yang jelas dengan Uni Eropa terutama terkait dengan lalu lintas barang, uang dan manusia.

Dampak dari ketikpastian Brexit dan sosok calon perdana menteri Inggris sudah terlihat pada pergerakan poundstertling yang mengalami depresiasi tajam selama paska pengumuman pengunduran diri Theresa May. Nilai tukar pundsterling terhadap dolar Amerika turun sekitar 6 persen selama tiga bulan ini. Ini baru sentimen awal atas respon dari keinginan perdana menteri baru untuk keluar dari pasar tunggal Eropa dengan status tanpa kesepakatan.

Namun di sisi lain, sosok Boris Johnson ini dianggap sebagai antithesis dari Theresa May yang lebih mengedepankan perundingan dan kesepakatan. Sementera Boris lebih mirip Trump yang lebih agresif dan berani ambil resiko. Boleh jadi Boris Johnson adalah sosok yang tepat untuk keluar dari kemelut Brexit yang tidak jelas kapan terealisasinya. Boris bisa mengangkat harga diri UK dalam negosiasi dengan Uni Eropa. (lrf/sam)

Ali Rama

Penerima Beasiswa 5000 Doktor Kementerian Agama untuk studi S3 di Universitas Aberdeen Inggris dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 "Brexit di Tangan Boris Johnson" terbit di koran Sindo, Jumat (26/7).  https://nasional.sindonews.com/read/1423915/18/brexit-di-tangan-boris-johnson-1564097204