Berislam demi Elektabilitas

Berislam demi Elektabilitas

Adi Prayitno 

DINAMIKA Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 menyuguhkan sejumlah ironi. Bukan semata visi-misi kandidat tak membumi, melainkan saling nyinyir  dengan diksi sarkastis kian vulgar dipamerkan. Substansi perdebatan dicampakkan karena yang prioritas hanyalah narasi saling menegasi. Potret politik semacam ini jelas menjadi penegas mundurnya kualitas demokrasi elektoral.

Pilpres sebagai panggung adu gagasan nyatanya pepesan kosong. Pilpres penuh kebahagiaan sebatas retorika pemanis permukaan politik. Praktiknya, sindiran bernada pejoratif dan saling merendahkan lebih mengemuka ketimbang debat substansi isu seperti utang luar negeri, arah kebijakan ekonomi, ketahanan energi, ketersediaan pangan, hingga pemerataan pembangunan. Justru isu remeh-temeh yang diproduksi elite politik setiap saat.

Teranyar, calon presiden Jokowi dan Prabowo diadu kadar keislamannya. Berebut klaim paling saleh dan paham agama. Nyaris tak ada hari tanpa tantangan menjadi imam salat dari timses kandidat, ajakan membaca Alquran, hingga ritus Islam lain semacam tata cara berwudu menjadi komoditas politik paling panas dewasa ini. Padahal, publik tahu persis corak keislaman Jokowi dan Prabowo cenderung abangan, bukan santri.

Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) mendefinisikan abangan sebagai penganut Islam kurang saleh, tak paham Islam secara mendalam, dan masih percaya pada dunia mistis. Sederhananya, kaum abangan identik dengan "Islam KTP" yang dalam realitasnya kurang taat menjalankan ajaran Islam. Berbeda dengan kaum santri yang lekat dengan kesalehan beragama, fasih memahami keseluruhan ajaran Islam, serta mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Lalu, untuk apa berebut klaim paling islami jika Jokowi dan Prabowo abangan? Beragama tak bisa direkayasa. Ia natural butuh penghayatan tulus ikhlas kepada Yang Mahakuasa. Bacaan Alquran, imam salat, dan sejenisnya bukan barang sulap yang bisa dicerna dalam sekejap. Tak bisa simsalabim  mendadak islami demi kepentingan elektabilitas.

Jelas ironi. Agama tak lagi dimaknai sebagai ajaran tentang kebaikan, kejujuran, dan ketulusan. Agama beralih menjadi komoditas politik untuk memengaruhi pemilih. Agama disulap menjadi satu instrumen politik demi memobilisasi dukungan politik. Ini fakta politik mutakhir penuh paradoks yang menyebalkan.

Rasanya baru pilpres kali ini kriteria calon presiden harus bisa menjadi imam salat dan fasih melanggamkan bacaan Alquran. Sebuah kriteria pemimpin yang nyaris tak pernah ditemui dalam literatur politik mana pun. Substansinya dangkal karena yang dicari calon presiden sejati yang paham pemerintahan, bukan imam masjid.

Publik akan lebih menghargai jika Jokowi dan Prabowo terbuka soal kualitas keislaman mereka. Apa adanya tanpa rekayasa. Toh , Islam juga melarang umatnya mempertontonkan ketaatan dalam beribadah. Perbuatan riya  (berharap pujian) dibenci agama. Cukup Allah saja yang tahu, tak perlu yang lain.

Ukuran Keislaman    Harus diakui sangat sulit mengukur kadar keislaman seseorang. Indikatornya banyak. Perlu hati-hati memilih variabel sebagai ukuran. Saiful Mujani dalam Muslim Demokrat (2007) menyodorkan "alat bantu" yang memudahkan mengukur derajat keislaman dengan melihat dua variabel, yakni ketaatan menjalankan ibadah wajib dan sunah.

Berbeda dengan agama lain, Islam mengenal diferensiasi antara ibadah wajib dan sunah. Ibadah wajib merupakan ibadah yang mesti dijalankan sebagai barometer kesalehan seperti salat lima waktu, puasa, zakat, dan haji. Salat dan puasa paling mungkin dijadikan ukuran kesalehan karena dua ibadah ini tak memerlukan biaya mahal seperti zakat dan haji. Cukup berbekal iman kepada Allah.

Sementara ibadah sunah merupakan ibadah sekunder jika ditinggalkan tak berdosa. Bagi yang melaksanakan diganjar pahala. Variasi ibadah sunah relatif banyak seperti tahlilan, ziarah kubur, qunut salat subuh, dan seterusnya. Setiap muslim memiliki pandangan berbeda soal ibadah sunah. Kalangan tradisionalis menganggap penting amalan sunah sebagai bentuk ijtihad  mendapat rida Allah. Kalangan modernis menganggap ibadah sunah bidah yang mesti ditinggalkan.

Pada level inilah perlu kiranya melacak model ketaatan Jokowi dan Prabowo dalam menjalankan ibadah wajib dan sunah. Variabelnya sudah jelas sebagai upaya menemukan titik temu siapa yang paling saleh. Tak perlu beradu paling islami, tinggal dicek rekam jejak keislaman keduanya. Semacam tracking  silsilah keislaman mereka sejak kecil dan lingkungan yang memengaruhinya.

Jika dirasa kurang, perlu juga melihat kefasihan Jokowi dan Prabowo dalam membaca dan memahami Alquran, Hadits, dan teks klasik. Dalam tradisi Islam, kualitas keislaman juga diukur dari seberapa fasih memahami naskah-naskah tertulis ajaran Islam. Jawabannya mudah ditebak, keduanya pasti gelagapan memahami setiap makna teks Islam semacam itu.

 

Selera Politik    Klaim paling Islam mesti diletakkan dalam konteks pilpres. Tujuannya jelas sebagai kampanye mendekati pemilih Islam demi menderek elektabilitas. Personifikasi politik islami menjadi penting di tengah mengerasnya politik identitas. Jokowi dan Prabowo berkepentingan memoles diri terlihat saleh meski anasir keislaman keduanya abangan.

Satu-satunya figur yang memiliki kualitas keislaman memadai hanyalah Ma’ruf Amin. Problemnya, Jokowi dan Ma’ruf Amin masih susah payah mendekati komunitas Islam. Alasannya tentu bukan soal paham Islam atau tidak, melainkan ada faktor lain yang tak pernah muncul ke permukaan yang perlu diungkap.

Pertama, strategi elektoral. Klaim paling Islam hanya siasat mendekati pemilih Islam yang agresif mempertontonkan identitas keislaman di ruang publik. Karena itu, desain strategi yang dimainkan mesti "terlihat islami" seperti menjadi imam salat, berwudu, atau mengutip ayat suci saat berpidato. Meski pada dasarnya sang kandidat tak terlampau memahami esensi ajaran Islam secara mendalam.

Kedua, selera politik. Jika kriteria utama calon pemimpin harus paham Islam, tentu pilihannya adalah Jokowi dan Ma’ruf Amin. Nama terakhir memiliki napas dan warna keislaman paripurna. Nyatanya, hingga saat ini Jokowi dan Ma’ruf susah payah merebut hati pemilih Islam. Mereka malah dikesankan sebagai calon pemimpin yang berjarak dengan umat, melakukan kriminalisasi ulama, dan seterusnya.

Itu artinya, penolakan terhadap Jokowi dan Ma’ruf terkait dengan selera politik. Bukan soal islami atau tidak. Karena itu, bisa dipahami sikap politik kelompok Islam alumni 212 mendukung Prabowo dan Sandi karena dianggap lebih aware  dan memperjuangkan aspirasi politik Islam yang kerap bersitegang dengan pemerintah.

Pada tahap ini, perlu sedikit kesimpulan bahwa Prabowo dan Sandi hanya alat proxy aktivis "alumni 212 Monas" untuk mengaksentuasikan kepentingan mereka di panggung utama politik Tanah Air. Sekali lagi, publik mesti jeli melihat klaim paling islami Jokowi dan Prabowo sebatas konsumsi politik elektoral demi menaikkan elektabilitas. Bukan soal orisinalitas kesalehan dalam memahami keseluruhan dimensi Islam.

Penulis adalah Dosen Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia. Artikel dimuat di Koran SINDO, Kamis 27 Desember 2018. (lrf)