Berbagi Risiko Di Tengah Pandemik

Berbagi Risiko Di Tengah Pandemik

Ali Rama: Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pada era keterbukaan informasi, akses terkini terkait informasi virus COVID-19 sangat mudah didapatkan. Saat tulisan ini dibuat, COVID-19 telah tersebar di 222 negara dan wilayah dengan jumlah terinfeksi sekitar 2,7 juta orang dengan tingkat kematian (fatality rate) sekitar 6,8%, atau mencapai lebih dari 191.000 kematian.

Di Tanah Air sendiri angkanya belum ada tanda-tanda akan mencapai masa puncak (peak), bahkan pertumbuhannya cenderung eksponensial. Kasus positif terinfeksi sudah mencapai 7.775 kasus dengan jumlah meninggal 647 orang.

Angka yang terungkap, menurut sejumlah pemerintah daerah, masih jauh lebih rendah dari yang sebenarnya. Saat ini, sejumlah daerah sudah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mengurangi penyebaran virus corona ini, walaupun sebenarnya kebijakan ini dianggap sudah terlambat.

DKI Jakarta yang sudah sekitar sebulan memberlakukan kebijakan social distancing, justru memperpanjang masa kebijakan tersebut karena belum efektif membendung penyebaran COVID-19.

Dampak pandemi COVID-19 ini tidak hanya terbatas pada sektor kesehatan, tetapi juga ke sektor ekonomi. Kebijakan pembatasan sosial membuat aktivitas perekonomian hampir berhenti total.

Perekonomian pada hakekatnya adalah satu kesatuan arus aliran (circular flow) yang terdiri dari dua sektor utama: konsumen dan produsen.

Kegiatan produksi akan menghasilkan barang dan jasa untuk siap konsumsi dan sekaligus menjadi aliran pendapatan bagi tenaga kerja rumah tangga (konsumen). Artinya, jika sektor produksi berhenti maka pendapatan juga ikut berhenti. Pada fase ini, kita beralih dari risiko terinfeksi COVID-19 ke risiko ekonomi.

Dalam teori ilmu keuangan, manusia umumnya menghadapi dua jenis risiko, yaitu risiko sistematis dan risiko non-sistematis.

Risiko jenis pertama dipengaruhi oleh kondisi ekonomi secara umum yang tergantung pada faktor makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, kebijakan fiskal dan moneter, inflasi dan suku bunga, serta juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Jenis risiko ini tidak dapat didiversifikasi dan diasuransikan.

Disrupsi ekonomi China sebagai negara terbesar kedua di dunia dan sekaligus pusat rantai produksi global membuat semua negara ikut terdisrupsi, termasuk Indonesia yang sangat tergantung perdagangannya dengan China. Ini contoh risiko sitematis. Perbaikan fundamental ekonomi dan diversifikasi mitra dagang bisa jadi pilihan kebijakan untuk mengurangi efek risiko ini.

Sementara, yang kedua adalah jenis risiko yang bersifat spesifik kepada individu atau perusahaan yang sangat tergantung kondisi masing-masing. Jenis risiko ini dapat dimitigasi, didiversifikasi dan bahkan dibagi (shared).

Risiko kecelakaan, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), risiko terjangkit virus atau risiko bangkrut termasuk jenis risiko non-sistematis. Kelompok yang rentan terhadap jenis risiko ini adalah mereka yang mengandalkan pendapatan harian dan tidak memiliki tabungan yang memadai. Pekerja sektor informal dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) termasuk yang rentan.

Kelompok yang rentan ini justru proporsinya mayoritas dalam struktur perekonomian nasional. Sekitar 57% tenaga kerja nasional bekerja di sektor informal. Menurut data BPS 2018, terdapat sekitar 64 juta unit usaha UMKM yang menyerap 117 juta tenaga kerja, atau sekitar 94% dari total tenaga kerja.

Artinya, jika kedua sektor ini kolaps, maka perekonomian nasional juga ikut ambruk. Selama ini, kedua sektor inilah yang menjadi penggerak perekonomian rakyat dan nasional dan bahkan penyelamat di saat-saat krisis seperti krisis 1997/1998.

Berbagi Risiko

Apa strategi yang bisa dilakukan untuk mengelola risiko non-sistematis dalam volume besar di tengah masyarakat, seperti kondisi pandemik saat ini? Salah satu solusi yang tepat adalah dengan melakukan tindakan berbagi risiko atau risk sharing secara massal.

Gerakan filantropi dalam berbagai bentuk seperti potong/sumbang gaji, peduli tetangga, sembako online, dan lainnya merupakan contoh sederhana risk sharing yang bertujuan mengamankan level konsumsi masyarakat yang kesulitan ekonomi.

Praktik risk sharing sebagai instrumen jangka pendek dalam mengatasi persoalan guncangan ekonomi sudah terinstitusi dalam agama (Islam), yaitu dalam bentuk instrumen zakat, infak, sedekah dan wakaf. Instrumen ini merupakan redistribusi pendapatan yang punya fungsi ekonomi dan sosial tinggi.

Risk sharing ini merupakan manifestasi dari kesatuan manusia (unity of mankind). Fenomena globalisasi dan digitalisasi yang menghilangkan jarak antara manusia seharusnya dimaknai sebagai upaya untuk menyatukan manusia dalam berbagai hal, termasuk dalam hal distribusi risiko (rugi dan untung) yang umat manusia hadapi.

Bukan sebaliknya, kaum lapisan paling bawah yang harus bertubi-tubi menanggung risiko ekonomi di saat goncangan ekonomi, sementara kaum kelas menengah justru panik belanja dan melakukan penimbunan bahan-bahan konsumsi.

Menurut Professor Abbas Mirakhor, kebijakan dalam mengelola risiko umumnya ada tiga pendekatan, yaitu transfer risiko (risk transfer), geser risiko (risk shifting) dan berbagi risiko (risk sharing).

Risiko yang merupakan tabiat dasar hidup manusia umumnya hanya ditransfer ke pihak-pihak tertentu atau digeser ke para pemberi pajak melalui kebijakan bail-out pemerintah. Tingkat risiko seharusnya dibagi secara optimal di antara pelaku pasar sesuai dengan kemampuan mereka menanggung risiko (Mirakhor, 2014).

Dalam konteks kebijakan publik, pemerintah merupakan “manager” tertinggi dalam mengelola risiko bagi masyarakatnya. Umumnya, pemerintah berperan “menanggung” risiko atas nama kepentingan masyarakat, seperti menyediakan jaminan sosial, bantuan langsung dan tunai, subsidi dan berbagai bentuk sosial pemerintah lainnya.

Kehadiran intervensi pemerintah di tengah ekonomi merupakan bentuk koreksi atas kegagalan sistem pasar untuk melindungi kaum miskin yang terpinggirkan. Intervensi pemerintah tersebut merupakan bentuk partisipasi risk sharing terhadap masyarakat yang rentan terkena risiko ekonomi.

Idealnya, dalam kondisi pandemik, kebijakan risk sharing tidak hanya disemarakkan oleh setiap individu yang mampu berbagai risiko tetapi juga oleh pemerintah.

Pemerintah sebagai “pengelola risiko tertinggi” sudah sepatutnya garda terdepan dalam mengalokasikan sumber dayanya untuk mengurangi guncangan pendapatan dan konsumsi masyarakat di tengah pandemik melalui berbagai bentuk kebijakan sosial, seperti bantuan tunai, beras dan pangan. Realokasi anggaran merupakan pilihan kebijakan yang harus dilakukan.

Secara umum, konsep risk sharing ini jangan hanya dijadikan sistem bamper di saat krisis untuk mengatasi guncangan jangka pendek, tetapi harusnya dijadikan sebagai sistem pengelolaan sumber daya ekonomi utamanya dalam mengurangi kesenjangan ekonomi.

Secara sistem, risiko dibagi kepada semua pihak-pihak yang terlibat dalam pasar dan dipastikan tidak ada pihak yang menikmati keuntungan (gain) tanpa menangung risiko. (sam/zm)

Terbit juga dikoran Bisnis Indonesia, Sabtu 25 April 2020