Bangga Menjadi Santri

Bangga Menjadi Santri

[caption id="attachment_205150" align="aligncenter" width="300"] Oleh Fauzan Asy, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta Periode 2015-2019.[/caption]

Bangga menjadi santri mungkin kata yang tepat untuk memperingati Hari Santri Nasional. Pesantren identik dengan lembaga tradisional yang senantiasa hidup dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia. Sejak awal kelahirannya, pesantren identik dengan lembaga yang mengajarkan nilai-nilai tasawuf, mempertahankan kemurnian ajaran Islam, sehingga tujuan utama pendirian lembaga inipun sederhana yakni menyiapkan generasi muslim Indonesia yg memiliki kemampuan pendidikan agama dan berakhlak al-karimah.

Hal ini sebagaimana ungkapan Manfred Ziemek bahwa pendidikan dalam sebuah pesantren bertujuan untuk mempersiapkan akhlak dan keagamaan. Para santri diharapkan ketika pulang ke masyarakat bisa menjadi pemimpin yang bisa mengayomi dengan kemampuan keagamaan dan akhlak yang baik.

Sebagai lembaga yang sudah dikenal sejak abad 16, pesantren sudah mampu menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga yang berkontribusi besar dalam Sistem Pendidikan Nasional (SPN).

Tujuan pendidikan nasional sendiri berfokus pada pilar pembentukan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, berilmu, sehat jasmani dan rohani, serta cakap dan kreatif.

Sebuah target pencapaian pembentukan pribadi-pribadi santun (al-akhlak al-karimah) antar sesama manusia (hablum minannas) maupun ketundukkan kita kepada Allah SWT (hablum minallah) yang dibarengi dengan kompetensi pengetahuan dan skill yg memadai.

Disadari atau tidak, lembaga pendidikan pesantren sejak dahulu kala ecara substansi (program dan kurikulum) sudah menerapkan kebutuhan tujuan SPN. Betapa tidak, pembentukan akhlak al-karimah (baca: sikap spritual dan sosial dalam kurikulum 2013) butuh proses panjang, keterlibatan semua pihak, dan semua sistem/program pendidikan harus "terstel" dengan baik.

Indikator lainnya (sekarang sudah menjadi kenyataan), banyak sekolah/madrasah yang tidak lagi melihat pendidikan parsial yang hanya pembelajaran formal, muncullah sekolah berasrama/boarding school.

Terakhir ada kebijakan yang cukup menarik, yakni penerapan sistem Full Days School. Kelembagaan pendidikan keagamaan yang terus memberikan model tersendiri bagi keberlangsangsungan pendidikan nasional. Keberadaannya pun terus diberikan ruang dan legalitas yang pasti (lihat Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 tentang Pendidikan dan Keagamaan).

Secara kelembagaan, pesantren sudah memberikan kontribusi dan peran yang tidak sedikit, yaitu:

  1. Sebagai lembaga pendidikan keagamaan (Islam); jika dulu lembaga ini hanya mampu memproduksi ahli-ahli agama dengan target akhir keilmuan Islam semata, tentu tidak pada masa sekarang. Pesantren sudah menawarkan gagasan tentang pentingnya integrasi keilmuan, pola yang memadukan keunggulan ilmu keislamanan (tafaqquh fil din) di pondok pesantren dengan konsep pengembangan ilmu pengetahuan yang biasa diajarkan di sekolah/madrasah.
  2. Secara sosial, pesantren juga sudah berusaha menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga pendidikan inklusif dengan menghilangkan skat-skat sosial yang berkembang di masyarakat, hanya ada komponen utama dalam pesantren, yakni Kyai (ustadz) dan Santri. Kyai berperan sebagai pendidik, pembimbing, pembina, pengasuh, panutan, sekaligus bisa sebagai orang tua. Sementara santri biasanya berposisi sebagai subjek pembelajar yang sedang mencari ilmu pengetahuan, pribadi yang masih butuh bimbingan dan pembinaan dari orang-orang di sekitarnya. Keduanya kerap menjadi unsur utama pesantren yang saling membutuhkan (patron klien) satu sama lain.

Semoga pesantren (almamaterku) yang telah membesarkanku selama ini terus berkontribusi, menginspirasi perjalanan pendidikan di negeri ini. (mf)