Australia dan Islam Indonesia

Australia dan Islam Indonesia

Indonesia dan Australia sebagai negara yang bertetangga secara geografis, telah menjalani interaksi regional dalam banyak aspek. Tak terkecuali dalam masalah pendidikan dan kajian sosial.

Gedung FISIP, Berita UIN Online – Hari itu gedung FISIP masih tampak ramai. Beberapa mahasiswa masih asyik berdiskusi dan berbincang di teras fakultas. Motor dan mobil masih banyak terparkir di depan gedung.

Pada 20 September lalu, telah dilaksanakan sebuah kegiatan bertajuk Presentasi Islam Kontemporer di Indonesia dan Australia yang diselenggarakan atas kerjasama Kedutaan Besar Australia untuk RI, PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta, lembaga Australia Global Alumni, serta FISIP UIN Jakarta.

Acara dibuka sejak pagi dengan pameran pendidikan Australia sebagai ajang promosi dan memperkenalkan program-program serta institusi yang bisa diakses untuk studi di Negeri Kanguru tersebut. Kegiatan ini dilanjutkan dengan seminar di sore hari.

Jam menunjukkan pukul 15.00 WIB, dan para hadirin memasuki ruang auditorium FISIP. Hadirin yang sebelumnya mendaftar lewat formulir online, tiket mereka dipindai dahulu dan mendapat cinderamata berupa satu buku kompendium dan paper bag.

Ruangan Auditorium FISIP disulap oleh panitia menjadi semacam ruang pertunjukan teater. Seluruh dinding dipasang tirai hitam, kemudian pencahayaan dengan corak berwarna-warni dipusatkan ke panggung dan layar besar di bagian depan, dipadu musik latar belakang yang dinyalakan sebelum acara dialog dimulai. Kendali pencahayaan dan suara itu rupanya berada di sudut belakang kursi tamu.

Kursi hadirin mulai terisi satu persatu. Dari daftar registrasi, banyak mahasiswa UIN dari berbagai fakultas yang mengikuti even ini.

Musik latar belakang dihentikan. Lampu sorot diarahkan ke panggung. Tak lama kemudian, Oki Setiana Dewi, salah seorang mahasiswi Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang tersohor sebagai aktris, membuka acara.

Mengenakan kerudung merah yang menjuntai hingga pinggang, dipadu dengan busana yang senada, Oki begitu ia biasa disapa, menyambut para hadirin. Ia menyebutkan dirinya juga merupakan bagian dari alumni program pendidikan di Australia.

 “Saya juga alhamdulillah bisa pernah berkesempatan mengikuti program Moslem Exchange Program di Australia, dan menjadi bagian dari Australia Global Alumni. Saya merasakan banyak sekali geliat Islam di Australia yang moderat, yang juga menjadi kontribusi untuk kajian Islam di Indonesia,”

Australia Global Alumni adalah sebuah lembaga internasional untuk para lulusan perguruan tinggi Australia di seluruh dunia. Saat ini, lembaga yang dikelola Pemerintah Australia telah menaungi banyak lulusan di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Para lulusan Australia ini banyak mencapai peran strategis di berbagai organisasi kemasyarakatan.

Tampak di bangku depan, tamu undangan yang hadir meliputi Prof. Dr. Jamhari Makruf, MA. selaku Wakil Rektor Bagian Kerjasama Internasional UIN Jakarta, kemudian Dr. Bradley Amstrong selaku Deputy Ambassador dari Kedutaan Besar Australia untuk RI.

Jamhari Makruf membuka even seminar tersebut mewakili pimpinan UIN Jakarta. Ia sebagai alumni dari Australian National University, menyampaikan kesannya selama berkuliah di sana.

“Saya pernah ditawari oleh seorang bule untuk membawakan tas saya. Saya langsung menolak, karena pengalaman di stasiun-stasiun kita bahwa membawakan barang mesti memberikan tip. Tapi ternyata pria bule ini menjawab, ‘kamu tidak perlu membayar kepada saya. Saya sudah pernah ke Indonesia,” tutur Guru Besar UIN Jakarta bidang Antropologi Islam ini terkekeh.

“Saya nyatakan, kontribusi dan kerjasama Indonesia dan Australia, khususnya juga untuk UIN Jakarta, sangat besar. Banyak lulusan UIN Jakarta yang meneruskan studi di sana dan kembali mengajar di sini. UIN Jakarta berusaha selalu menjadi simbol Islam Indonesia yang moderat lagi toleran,” terang Jamhari, disambut tepuk tangan.

Sambutan selanjutnya datang dari Bradley Amstrong, selaku perwakilan Duta Besar Australia untuk RI. Dengan bahasa Indonesia yang fasih dan kerap diselipi humor khas Indonesia, ia menyatakan bahwa ia adalah “teman sebangku” dari Jamhari.

“Karena perbedaan postur saya dengan Jamhari itu, jadi jika saya ingin memeluknya, saya harus menunduk,”. Hadirin tergelak. “Indonesia dan Australia sebagai tetangga, memang hubungannya seperti suami dan istri. Kadang rukun, kadang agak panas,” ujarnya diikuti tawa hadirin.

Berdasarkan informasi yang didapat, acara tersebut dihadiri tidak kurang dari 300 orang. Lutfi Azizi, salah satu mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah yang hadir, mengaku baru kali ini mengikuti forum seminar yang inspiratif dan mengasyikkan baginya. “Ya, meskipun di fakultas saya banyak mempelajari bahasa Arab dan studi-studi keislaman, namun mengikuti seminar tentang Australia ini, memberi saya pandangan tentang pendidikan di sana, serta ada hal-hal baru yang saya dengar kali ini tentang Islam kontemporer,” ujarnya.

Kontribusi Islam Kontemporer Indonesia

Forum presentasi Islam Kontemporer ini dibuat interaktif. Formatnya, sebagaimana disebutkan oleh Oki Setiana Dewi, meniru format presentasi Ted Talks, forum presentasi internasional yang berpusat di Amerika.

Pembicara pertama adalah Mohamad Abdalla. Profesor berkewarganegaraan Australia asal Libya ini menyatakan bahwa untuk memahami apa itu Islam kontemporer, seseorang harus memahami fondasi universal dari Islam.

“Umat muslim sebagai citizen of the world, tidak bisa memandang Islam sebagai model masa lalu. Kita harus menemukan nilai universalnya. Islam kontemporer harus berpihak pada perempuan dan mampu mendukung demokrasi. Islam sendiri, tidak menyebutkan model pemerintahan tertentu. Ia hanya menjelaskan nilai universal yang harus ada,” terang Abdalla, dalam bahasa Inggris.

Selanjutnya adalah Fahd Pahdepie. Pria kelahiran Cianjur ini bergaya casual, dengan mengenakan kaus bergambarkan deretan huruf hijaiyah dipadu dengan jas warna abu-abu. Ia menjelaskan bahwa ekstremisme Islam di Indonesia, bisa diselesaikan dengan pendekatan alternatif melalui cerita inspiratif. Fahd menyebutkan kisah Bang Tato, seorang preman yang pernah terlibat gerakan Islam ekstrem, kemudian dengan pendekatan humanis yang dikelolanya, ia bisa menjadi lebih diterima dan berdaya. “Cerita selalu bekerja,” sebutnya.

Pada presentasi selanjutnya, Amelia Fauzia menyampaikan bahwa filantropi Islam, baik melalui infak maupun zakat, memiliki peluang yang sangat besar untuk menggerakkan ekonomi masyarakat. Direktur STF (Social Trust Fund) UIN Jakarta yang meraih gelar S3 dari Melbourne University, Australia ini, menyebutkan bahwa inklusivitas lembaga filantropi, amat penting untuk gerakan-gerakan sosial dan bantuan pendidikan.

Nina Nurmila, dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang pernah menjadi visiting professor bidang Islamic Studies di Universitas of Redlands, Amerika Serikat ini, menjelaskan dalam presentasinya tentang pentingnya perspektif baru untuk memahami kedudukan perempuan dalam Islam, yang selama ini didominasi kaum pria. Salah satu upaya yang ia lakukan bersama perempuan lainnya adalah menyelenggarakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia di Cirebon sebagai kegiatan perempuan ulama pertama di dunia.

“Dari forum itu, kami menghasilkan tiga fatwa tentang masalah perempuan, salah satunya tentang keharaman kekerasan terhadap perempuan, yang selama ini kerap terjadi di negeri kita,” ungkapnya.

Presentasi ditutup oleh penjelasan oleh Noor Huda Ismail, sutradara film dokumenter Jihad Selfie, yang menceritakan tentang peran stigma maskulinitas yang menggerakkan kaum lelaki untuk berjihad ke daerah konflik. (Muhammad Iqbal Syauqi/ZM)