At-Tawwab, Allah yang Maha Penerima Taubat

At-Tawwab, Allah yang Maha Penerima Taubat

Salah satu nama terbaik (al-Asma’ al-Husna) Allah SwT adalah at-Tawwab, Maha Penerima taubat. Nama dan sifat ini menunjukkan bahwa Allah itu Maha Pemaaf, Maha Penyayang, dan Maha Pengampun hamba-Nya yang insaf, mengakui dan menyadari kesalahan dan dosanya,  menyesali masa lalu yang kelam, dengan kembali ke jalan yang benar.

Kata at-Tawwab merupakan bentuk shigat mubalaghah (superlatif) yang berasal dari taba-yatubu-taubatan, berarti kembali. Makna kembali menunjukkan adanya perubahan posisi atau kondisi, dari suatu keadaan menuju posisi semula. Dengan kata lain, taubat itu kembali dari perbuatan dosa menuju jalan yang benar, jalan yang diridhai Allah. Dengan demikian, Tawwab berarti Maha Penerima taubat hamba-Nya yang kembali ke jalan-Nya yang benar setelah melakukan kesalahan, dosa, kezaliman, dan kemaksiatan.

At-Tawwab digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 11 kali, dan semua menunjuk kepada  Allah yang Maha Penerima taubat. Bukan hanya penerima, Allah juga sangat menyukai hamba-Nya yang bertaubat. “Sesungguhnya Allah menyukai at-tawwabin (orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (QS al-Baqarah [2]: 222). Dengan kasih sayang-Nya, at-Tawwab selalu memberi kesempatan hamba-Nya untuk bertaubat, agar masa lalu yang “hitam kelam” diganti dengan masa depan yang cerah dan penuh kebaikan.

Agar taubat diterima at-Tawwab, hamba harus menyadari, menginsafi, dan menyesali segala dosanya. Setelah itu, hamba berkomitmen kuat untuk mencabut dan mengganti perbuatan dosanya dengan amal kebajikan. Oleh karena itu, bertaubat kepada Allah harus sungguh-sungguh, genuin, autentik,  tidak main-main dan tidak taubat “sambal”. “Hai orang-orang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai…” (QS at-Tahrim [66]: 8)

Selain itu, taubat hamba juga harus dilakukan dengan segera, tidak menunda-nunda, karena Allah tidak akan menerima taubat orang yang sudah terlambat, ajal sudah di kerongkongan, seperti taubat Fir’aun, ketika nyaris tenggelam di Laut Merah. “Dan tidaklah taubat itu diterima oleh Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. Dan tidak pula diterima taubat orang-orang yang mati sedang mereka dalam kekafiran.” (QS an-Nisa’ [4]: 18)

Taubat merupakan amalan para Nabi dan Rasul, karena mereka menyadari pernah “tergelincir” dalam perbuatan salah dan dosa. Kecuali Nabi Muhammad SAW yang ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa), semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan atau perbuatan dosa. Nabi SAW bersabda: “Semua anak Adam itu pernah berbuat dosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang bertaubat” (HR at-Turmudzi, Ibn Majah, dan al-Hakim).

Orang yang bertaubat adalah orang yang bermasa depan optimis, karena meyakini bahwa Allah itu tidak hanya akan menerima taubatnya, tetapi juga memaafkan segala kesalahannya. “Dan Dialah yang menerima taubat hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan, serta mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS asy-Syura [42]: 25).

Hamba at-Tawwab harus senantiasa mengambil pelajaran dari nama dan sifat Allah yang Maha Penerima taubat ini untuk “sadar diri” bahwa hamba ini pernah berdosa, sedangkan Allah Maha Penerima taubat dan Pengampun. Keinsafan batin untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui taubat ini merupakan penumpuh jalan Tuhan (salik) selalu mendambakan welas asih dan ampunan-Nya.

Oleh karena itu, hamba at-Tawwab harus senantiasa bersegera menuju ampunan Allah dengan beristighfar dan bertaubat kepada-Nya. Peluang taubat dan meraih ampunan Allah itu selalu terbuka, sehingga hamba harus selalu yakin dan optimistis terhadap rahmat Allah, karena Allah selalu menerima taubat hamba-Nya, sekaligus menggerakkan hatinya untuk memperbaiki masa depan dengan amal shalih.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah (Muhammad), wahai Hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun Maha Penyayang. (QS az-Zumar [39]: 53)

Selain itu, hamba at-Tawwab harus terus berbaik sangka kepada Allah, bahwa istighfar dan taubat hamba kepada at-Tawwab tidak akan sia-sia. Allah pasti akan merespon dan menerima taubatnya, selama dia bertaubat dengan sepenuh hati, dibarengi dengan upaya maksimal untuk memperbaiki masa depannya dengan amal kebajikan. “kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan, dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya, dan Akulah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah [2]: 160)

Hamba yang meneladani sifat at-Tawwab penting untuk selalu memohon ampunan-Nya, dan berikhtiar secara optimal untuk meraih kasih sayang dan ridha-Nya. Sebagai uswah hasanah, Nabi SAW yang ma’shum saja setiap harus beristighfar lebih dari 70 kali, bahkan 100 kali, maka sudah semestinya manusia yang tidak ma’shum seperti kita semua harus beristighfar lebih baik lain. Jadi, istighfar dan taubat itu harus menjadi gaya hidup harian umat Islam, agar Allah senantiasa tidak kehilangan momentum ampunan dan rahmat-Nya yang luas dan tak terbatas. Semoga taubat kita diterima Allah dan dosa-dosa kita selalu diampuni oleh-Nya.

Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Wakil Ketua Umum IMLA Indonesia. Sumber: Suara Muhammadiyah 30 Rabiul Awwal-14 Rabiul Akhir 1442 H. (mf)