Aspek Pengelolaan Keuangan Pada Peguruan Tinggi Negeri yang Berstatus Badan Hukum Pendidikan (BHP)

Aspek Pengelolaan Keuangan Pada Peguruan Tinggi Negeri yang Berstatus Badan Hukum Pendidikan (BHP)

Pendahuluan 

Setelah tertunda kurang-lebih  4 tahun – antara lain karena alotnya pembahasan di DPR -- akhirnya Presiden RI mengesahkan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada 16 Januari 2009 yang lalu. Sejak awal pembahasan RUU sampai setelah ditetapkan menjadi UU, bahkan saat ini pun masih ada kelompok masyarakat yang menentang UU ini. Pada umumnya masyarakat yang mayoritas diwakili mahasiswa itu merasa keberatan dalam hal: 1) khawatir lembaga pendidikan, terutama perguruan tinggi, berpotensi menjadi PT (Perseroan Terbatas) yakni badan usaha berbadan hukum; 2) akan terjadi komersialisasi dunia pendidikan yang berdampak kenaikan biaya pendidikan; dan 3) tujuan lembaga pendidikan  akan menyimpang menjadi profit oriented. 

Dari sudut pandang pemerintah,  keputusan membuat UU tentang BHP ini sebagian karena desakan pimpinan dan penyelenggara pendidikan, terutama para rektor yang tergabung dalam forum rektor PTN,  sejak reformasi selalu mengeluhkan perihal kerumitan sistem keuangan  birokrasi, keterpasungan dalam manajemen pelayanan, dan keterbatasan ruang gerak dalam menggali potensi sumber daya untuk memajukan lembaga pendidikan. ”Ide dasar lahirnya UU BHP tidak terlepas dari kesemrawutan dan prosedur penganggaran di perguruan tinggi negeri,” ujang Fasli Jalal (Dirjen Dikti Depdiknas) dalam diskusi terbatas di kantor Kompas pada 9 Februari 2009 lalu.

 Sebelum ditetapkannya PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang BLU, perguruan tinggi negeri dikekang oleh model kerja birokrasi. Cara penganggaran terpusat. ”Sederhananya, untuk membeli kertas pun yang menentukan harus Bappenas dan dana tidak bisa dalam bentuk blockgrant. Kalau mendadak kebutuhan berubah karena dinamika perguruan tinggi, revisinya berlarut-larut sampai ke pusat,” lanjut Dirjen Dikti yang berpenampilan kalem itu.

Permasalahan lainnya terkait dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang membuat para rektor sakit kepala. Dana PNBP yang berasal dari mahasiswa,  harus disetorkan terlebih dulu ke kas Negara, kemudian perguruan tingi mengajukan permintaan kembali sehingga membutuhkan waktu lama dan proses panjang. Pembayaran honor untuk dosen yang mengajar atau menguji skripsi mahasiswa bisa terlambat tiga bulan. Bahkan karena persoalan administrasi PNBP ini sering pula menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lantaran rektor lebih bersedia menerima resko masuk bui daripada melawan kebutuhan dosen dan mahasiswa.

Tegasnya, penetapan UU tentang BHP ini merupakan upaya pemerintah mencari dasar hukum sehingga penyelenggaraan pendidikan tidak terjerat jalur birokrasi yang rumit dan berbelit-belit. Tetapi secara hukum, keharusan membuat BHP ini atas dasar amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional {Pasal 53, ayat (1 )} yang berbunyi, ”Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”.

Meski sampai sekarang unjuk rasa atau protes sebagian masyarakat masih terdengar mempersoalkan dan bahkan menolak UU Nonor 9 Tahun 2009 tentang BHP, tapi pemerintah nampaknya sudah bertekad untuk menjalankannya. Karena persoalannya sebagian besar mengenai persoalan keuangan, terutama di kalangan perguruan tinggi, kami mencoba mengangkat topik  mengenai “aspek tatakelola keuangan” pada Perguruan Tinggi Negeri yang menjadi  Badan Hukum Pendidikan milik Pemerintah (BHPP). Aspek tatakelola keuangan meliputi pembahasan tentang kekayaan, pendanaan, akuntabilitas dan pengawasan, serta beberapa kritik terhadap aspek pengelolaan keuangan yang diatur dalam UU No.9/2009.

Tujuan dan Prinsip

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) merupakan satuan pendidikan tinggi BHP milik Pemerintah (BHPP) atau milik Pemerintah Daerah (BHPPD), yang dalam pembahasan ini akan digunakan istilah BHP-PTN (Badan Hukum Pendidikan-Perguruan Tinggi Negeri). Dalam konteks Perguruan Tinggi, pembentukan BHP bertujuan memajukan pendidikan tinggi nasional dengan menerapkan otonomi perguruan tinggi (Pasal 3). Pengelolaan pendidikan didasarkan pada prinsip:  otonomi, akuntabiitas, transparansi, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, dan partisipasi atas tanggungjawab Negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. [Pasal 4, ayat (2)]. Sedangkan pengelolaan keuangan dilakukan atas dasar  prinsip nirlaba, yakni kegiatan yang tidak mencari laba/profit, namun jika terjadi sisa hasil kegiatan (saldo) maka harus ditanamkan kembali untuk menjalankan tugas pokok BHP. [Pasal 4, ayat (1) dan Pasal 38, ayat (3)].

Sebelum menjadi BHP, PTN merupakan instansi pemerintah, yang dalam perspektif hukum merupakan badan hukum  publik (publiekrechtelijk). Sebagai badan hukum publik  PTN harus tunduk pada ketentuan tentang pengelolaan keuangan negara, seperti yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU Nomor 15 Tahun 2005 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, dan lain-lain ketentuan yang mengatur keuangan negara. Pertanyaan baru muncul: apakah setelah menjadi BHP-PTN sebagai badan hukum privat (Privaatrechtelijk) tidak terkena peraturan perundang-undangan tentang keuangan negara? Jika tidak, tentu pengelolaan keuangan diatur tersendiri di dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) BHP. Tapi sangat disayangkan hal ini tidak diatur secara jelas dalam UU BHP ini. Yang diatur hanya berkenaan dengan kewenangan audit oleh BPK, BPKP, dan Itjen terhadap dana hibah yang diberikan pemerintah atau pemda kepada BHP [Pasal 52, ayat (3)].

Kekayaan

Pada Pasal 37 ayat (1) UU No.9/2009 ditegaskan bahwa kekayaan awal BHP-PTN berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan. Ini berarti semua kekayaan/aset berupa tanah, bangunan, kendaraan, dan sarana/prasarana lainnya yang dapat dinilai dengan uang, begitu PTN menjadi BHP maka semua aset tersebut beralih status kepemilikannya menjadi kekayaan BHP. Lalu di mana posisi pemerintah dalam hal kepemilikan? Pemerintah berada di dalam organ representasi pemangku kepentingan sebagai pendiri BHP yang salah satu tugasnyanya adalah melakukan pengawasan umum terhadap pengelolaan BHP (Pasal 22, huruf g).

Kekayaan dan pendapatan BHP-PTN dikelola secara mandiri, transparan, dan akuntabel [Pasal 37, ayat (4)]. Yang dimaksud mandiri adalah otonom dalam menjalankan kegiatan baik dalam bidang akademik maupun non-akademik (termasuk keuangan). Pengertian transparan adalah pengelolaan keuangan secara terbuka yang memungkinkan semua pihak terkait dapat mengontrol dan ikut terlibat dalam proses manajemen sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan. Sedangkan pengertian akuntabel adalah kemampuan dan komitmen untuk bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan sesuai ketentuan yang berlaku.               

Seluruh kekayaan dan pendapat BHP-PTN pada dasarnya harus digunakan untuk kepentingan tridharma perguruan tinggi, pelayanan pendidikan, dan penggunaan lain yang sesuai dengan ketenuan perundang-undangan [Pasal 37, ayat (6)].  Ketentuan tentang kekayaan dan pendapatan BHP-PTN ini harus diatur secara jelas di dalam AD/ART BHP.

Selain itu pada Pasal 38, ayat (1) dan (2), diatur batasan pendapatan dan sisa hasil kegiatan BHP yang diperoleh dari penggunaan kekayaan dan tanah negara yang kepemilikannya sudah dipisahkan dan diserahkan kepada BHP, bukan lagi termasuk katagori Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sedangkan sisa hasil kegiatan harus digunakan untuk kepentingan pendidikan, tetapi jika tidak, maka sisa hasil kegiatan dimaksud menjadi objek pajak penghasilan [Pasal 38, ayat (3) dan (4)]. Selanjutnya dalam hal pengalihan kekayaannya, pengelola BHP-PTN tidak diperkenankan mengalihkan kekayaan baik berupa uang, barang, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada siapa pun, baik langsung maupun tidak langsung, kecuali untuk kepentingan sebagaimana diatur pada Pasal 37, ayat (6) yakni untuk tridhama perguruan tinggi dan penggunaan lain yang sesuai dengan ketenuan perundang-undangan  (Pasal 39).

Dalam hal batasan pendapat dan sisa hasil kegiatan yang tidak termasuk katagori PNBP, konkritnya batasan itu meliputi pendapatan berupa biaya kuliah dari mahasiswa (seperti SPP, DOP, DM, DP dan lain-lain), sewa gedung/tanah, pendapatan hasil usaha/kerjasama, hibah dari masyarakat, dan sisa hasil kegiatan. Nah, supaya hal ini menjadi lebih jelas, maka perlu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. (Tapi sayangnya hal ini tidak disebutkan dalam UU No.9/2009 ini).

Demikian pula dalam pengaturaan tentang pelarangan pengalihan kekayaan BHP, Pasal 39 tidak secara tegas melakukan pelarangan, karena ada kata “kecuali” yang masih membuka kemungkinan jika dibutuhkan untuk tujuan sesuai Pasal 37 ayat (6). Karena notabene asetnya  dari kekayaan negara yang dipisahkan, maka ketidaktegasan dalam pengaturan bisa membuka peluang dialihkan ke pihak lain apabila pengelola BHP-PTB-nya nakal.

Pendanaan

Sebagaimana disinggung di atas bahwa gagasan utama yang mendorong penyusunan UU tentang BHP ini karena keterbatasan dana pendidikan dan keruwetan dalam pengelolaan keuangan lembaga pendidikan, terutama PTN,  yang pada gilirannya menghambat kreatifitas, inovasi, dan motivasi dalam penyelenggaraan dan pengembangan lembaga pendidikan nasional. Di samping itu pemerintah sampai saat ini belum mampu menanggung biaya pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (4) UUD-1945 (catatan: kebijakan 20% dana pendidikan dari APBN masih dipertanyakan nilai rielnya). Karenanya bentuk BHP ini merupakan solusi “jalan-tengah” bagi persoalan tersebut.

Sebagai solusi “jalan-tengah” maka di dalam Pasal 40 ayat (2) disebutkan pendanaan BHP-PTN “menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemda, dan masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kemudian pada ayat (4) disebutkan, pemerintah dan pemda sesuai dengan kewenangannya bertanggungjawab dalam penyediaan dana pendidikan – yang penyalurannya dalam bentuk hibah. [ayat (5)] .

Lalu untuk pendanaan BHP-PTN disebutkan bahwa pemerintah bersama-sama BHP-PTN menanggung seluruh biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan [Pasal 41, ayat (5)], serta menanggung paling sedikit ½ dari biaya operasional berdasarkan standar pelayanan minimal  untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan  [Pasal 41, ayat (6)]. Dana yang diberikan oleh pemerindah dan pemda untuk BHP-PTN dalam bentuk hibah [Pasal 41, ayat 10)]. Sedangkan mahasiswa atau peserta didik ikut menanggung biaya pendidikan sesuai dengan kemampuan orangtua/wali [Pasal 41, ayat (7)] paling banyak 1/3 dari biaya operasional [Pasal 41, ayat (9)].

Nah, yang perlu digarisbawahi dalam ketentuan pendanaan yang dilakukan pemerintah terhadap BHP-PTN adalah: 1) pemerintah tetap bertanggungjawab mendanai BHP-PTN berupa bantuan untuk investasi, beasiswa dan bantuan pendidikan lainnya; 2) pemerintah masih ikut menanggung biaya operasional bersama dengan BHP-PTN paling sedikit ½ (seperdua), dan mahasiswa ikut menanggung biaya operasional paling banyak 1/3 (sepertiga); 3) dana yang diberikan pemerintah bersifat hibah.

Jika dianalisa lebih jauh, ini berarti pendanaan untuk investasi, beasiswa dan bantuan pendidikan dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan BHP-PTN. Sebagaimana diketahui, kondisi hampir di semua PTN saat ini, jangankan untuk investasi, dana PNBP yang berasal dari masyarakat tidak  mencukupi untuk dana operasional seperti untuk honor/insentif, biaya sarana perkantoran, biaya praktikum, seminar, wokshop/pelatihan, biaya kegiatan mahasiswa, dan sejenisnya. Berdasarkan kenyataan ini, bagaimana mungkin biaya untuk investasi, beasiswa dan bantuan pendidikan juga harus ditanggung PTN? Semestinya biaya untuk investasi, beasiswa dan bantuan pendidikan ditanggung secara penuh oleh pemerintah.

Apalagi kalau kita lihat pula bahwa mahasiswa diwajibkan menanggung biaya pendidikan dibatasi paling banyak 1/3 dari biaya operasional. Berarti Pemerintah dan manajemen BHP-PTN harus menanggung 2/3 biaya operasional. Kalau kita berandai-andai, pemerintah hanya membantu biaya operasional sebesar ½, berarti manajemen BHP-PTN harus menanggung 1/3 biaya operasional. Penulis membayangkan PTN yang selama ini masih bergantung sepenuhnya dari dana pemerintah (karena PNBP-nya kecil), tentu mereka akan sangat kesulitan memperoleh dana untuk menombok pembiayaan operasionalnya, meski  1/3 saja. Apalagi BHP-PTN diwajibkan pula mengalokasikan dana untuk beasiswa atau bantuan pendidikan kepada WNI yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi yang besarnya paling sedikit 20% dari jumlah peserta didik [Pasal 45, ayat (2)].

Selanjutnya yang perlu dikritisi lagi adalah tentang biaya operasional. Dalam penjelasan Pasal 41 ayat (4) dan ayat (6) disebutkan, biaya operasional adalah biaya yang digunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penjelasan ini sangat kabur. Misalnya, selain dari biaya honor, transport, sarana perkantoran dan pembelajaran/praktikum, apakah biaya operasional itu juga termasuk gaji PNS yang selama ini diberikan oleh pemerintah. Karena itu perlu ada petunjuk pelaksanaan yang menjelaskan definisi dan indikator konkrit “biaya operasional”, agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi persepsi yang keliru.

Investasi 

Selain keistimewaan seperti kekayaan awal yang dipisahkan dan penerimaan yang diperoleh dari hasil kegiatan  tidak perlu disetorkan ke kas negara, ada satu lagi privilege bagi BHP-PTN yaitu dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio dan dalam bentuk badan usaha berbadan hukum (misalnya: Perseroan Terbatas). [Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1)]. Bagaimana pelaksanaan hak keistimewaan ini di kemudian hari, tentu masih perlu diatur lebih lanjut dengan Juklak berupa Peraturan Menteri yang berwenang.

Yang pasti dalam Pasal 43 ayat (3) dijelaskan bahwa badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 43,  harus dikelola secara profesional oleh Dewan Komisaris, Dewan Direksi, beserta seluruh jajaran karyawan badan usaha yang tidak berasal dari unsur manajemen BHP-PTN. Keuntungan atau profit  yang dihasilkan oleh  badan usaha ini harus digunakan sesuai ketentuan pada Pasal 37 ayat (6), yakni untuk kepentingan pendidikan. Demikian pula hasil dari investasi dalam bentuk portofolio, sebagian besar harus ditanamkan  kembali untuk penyelenggaraan pendidikan. Adapun Investasi dalam bentuk portofolio adalah keikutsertaan modal dalam bentuk saham di suatu perusahaan, pembelian Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito dan lain sebagainya.

Akuntabilitas dan Pengawasan

Akuntabilitas atau pertanggungjawaban (accountability) merupakan suatu bentuk keharusan seseorang  (pimpinan/pejabat/pelaksana) untuk menjamin bahwa tugas dan kewajiban yang diembannya sudah dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. Akuntabilitas dapat dilihat melalui laporan tertulis yang informatif dan transparan. Sedangkan pengawasan (controlling) merupakan suatu bentuk pengendalian agar kegiatan yang dilakukan dapat dipastikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Akuntabilitas publik  BHP-PTN terdiri atas akuntabilitas akademik dan akuntabilitas non-akademik (manajemen dan keuangan). Akuntablitas keuangan BHP-PTN, baik administrasi maupun laporan keuangan tahunan, berada di tangan pemimpin BHP-PTN bersangkutan [Pasal 53, ayat (1)].

Pengawasan BHP-PTN dilakukan melalui sistem laporan tahunan. Sebagaimana akuntabilitas, laporan BHP-PTN terdiri atas laporan akademik dan laporan non-akademik. Laporan akademik meliputi laporan penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Laporan bidang non-akademik meluputi laporan manajemen dan keuangan. Sistem laporan harus diatur dalam AD/ART. [Pasal 48, ayat (1) s.d.(6)].

Laporan keuangan tahunan BHP-PTN merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan tahunan BHP-PTN dan dibuat sesuai dengan standar akuntansi, serta harus diumumkan kepada publik melalui surat kabar nasional dan papan pengumuman. Apabila menerima dan menggunakan dana dari APBN/APBD, maka BHP-PTN harus melaporkannya kepada pemerintah dan/atau pemda sesuai ketentuan yang berlaku. [Pasal 51, ayat (1) s.d. (5)]. Selain itu laporan keuangan tahunan tersebut harus diaudit oleh akuntan publik. [Pasal 52, ayat (2)].

Dalam hal BHP-PTN menerima hibah dari pemerintah/pemda, maka dana hibah ini menjadi objek pemeriksaan BPK/BPKP/Itjen yang memang memiliki kewenangan mengaudit penggunaan dana pemerintah/pemda. [Pasal 52, ayat (3)]. Dengan demikian berarti PTN yang berstatus BHP akan diperiksa oleh  BPK/BPKP/Itjen hanya terbatas pada bagian dana hibah pemerintah/daerah saja. Sedangkan penerimaan dan penggunaan dana dari masyarakat dan dari hasil kegiatan diperiksa atau diaudit oleh akuntan publik dan organ audit bidang non-akademik sebagaimana dimaksud oleh Pasal  15 ayat (2), Pasal 29  dan 30.

Jika diperhatikan uraian di atas nampaknya ketentuan tentang akuntabilitas dan pengawasan yang diatur dalam UU No.9/2009 tentang BHP ini masih sangat umum. Misalnya tidak ada penjelasan tentang hibah  dari pemerintah/pemda: apakah hibah mengikat atau tidak, dan bagaimana metode penggunaannya? Bahkan juga tidak ada disebutkan tentang  proses pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan dana penghasilan BHP-PTN sendiri:  apakah harus mengikuti ketentuan dalam Keppres No.80 tahun 2003 serta perubahan-perubahannya?

Penutup

Setelah mengikuti uraian aspek keuangan pada BHP-PTN yang diatur dalam UU No.9 tahun 2009 tentang BHP, dapat disimpulkan bahwa untuk mengimplementasikan UU BHP ini secara efektif dan efisien sangat  diperlukan dukungan  beberapa kebijakan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Menteri berwenang serta harus pula diatur secara lebih rinci di dalam AD/ART BHP-PTN masing-masing.***


-----------------------------------------------------
Penulis adalah Kabag Perencanaan, Biro PKSI, UIN Syahid Jakarta.