Apa Kabar Kampus?

Apa Kabar Kampus?

Dalam sebuah diskusi muncul pertanyaan, masih layakkah kampus sebagai pengawal moral bangsa? Pertanyaan tersebut bernada pesimistis juga sebuah gugatan. Sebagai orang kampus, saya tentu menjawab positif dan penuh harapan.

Kalau kampus tidak lagi bisa diharapkan sebagai kekuatan penjaga moral bangsa, lalu kepada siapa harapan terbesar akan dialamatkan? Bukankah kampus tempat berkumpul putra-putri bangsa terbaik sebagai penerus dan pewaris bangsa? Semasa Orde Baru, kampus tidak saja dikenal sebagai supplier teknokrat unggul untuk membantu pemerintah, tapi juga sebagai kekuatan kritik terhadap penguasa karena waktu itu saluran demokrasi tersumbat.

Kala itu parpol yang mestinya tampil sebagai kekuatan kritik dan penyeimbang eksekutif praktis tidak berfungsi, lalu kekuatan kritik diambil alih oleh ormas kemahasiswaan (Kelompok Cipayung) dan kampus, baik jajaran pimpinan, dosen, maupun aktivis mahasiswa. Sekarang situasi sudah berubah. Ruang kebebasan terbuka lebar.

Masyarakat dan parpol serta ormas memiliki kebebasan untuk melakukan kritik terhadap pemerintah sehingga kampus tak lagi dianggap sebagai kekuatan moral dan kekuatan kritik terhadap penyimpangan pemerintah sebagaimana masa Orde Baru. Berbagai kritik yang dilakukan LSM, media massa,parpol, dan lembaga survei jauh lebih berbobot dan memiliki data lebih banyak ketimbang yang dimiliki masyarakat kampus.

Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dengan ramai-ramai turun ke jalan tidak lagi memperoleh dukungan moral seperti masa Orde Baru. Masyarakat bahkan merasa terganggu jika ada demonstrasi massal turun ke jalan. Kritik tajam dan akurat telah diambil alih oleh mimbar televisi dan surat kabar serta majalah.

Persoalannya, ketika atas nama demokrasi kebebasan berbicara semakin terbuka, ternyata moralitas pemerintahan dan bangsa tidak menjadi lebih baik Jika dahulu korupsi berlangsung secara “terpimpin” sementara pembangunan tetap berjalan dengan hasil yang mengesankan, sekarang ini korupsi menyebar hampir ke semua lini dan level sehingga pembangunan tersendat. Praktik korupsi ikut terdesentralisasi.

Sementara itu salah satu konsekuensi dari pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah dan Pilkada, pemerintah pusat tidak memiliki kekuatan kontrol yang efektif terhadap pemda baik di tingkat provinsi maupun tingkat dua karena mereka merasa dipilih oleh rakyat secara langsung, bukan oleh presiden atau gubernur.

Penyebaran praktik korupsi dan rendahnya kualitas pelayanan kepada rakyat membuat mereka yang peduli untuk memperbaiki moral bangsa merasa kewalahan, dari mana hendak dimulai, dan kepada siapa kritik serta marah hendak dialamatkan? Rakyat semakin kecewa dan mengarah pada frustrasi ketika melihat kebangkitan parpol yang awalnya menjanjikan perbaikan moral bangsa, pemberantasan korupsi, pembangunan demokrasi untuk kesejahteraan rakyat tampaknya tidak mampu memenuhi janji-janjinya.

Banyak anggota DPR, mantan menteri, gubernur, dan bupati bahkan masuk bui karena terbukti korupsi. Sebagai orang kampus dan praktisi pendidikan,kita semua dibuat merenung. Apa yang salah dengan kualitas dan produk pendidikan kita sehingga para sarjana kita mudah sekali hanyut tergoda korupsi dan berbagai skandal lain?

Atau, sedemikian bobrokkah sistem dan kultur politik serta birokrasi kita sehingga siapapun yang masuk ke dalamnya tergerus dan hanyut dalam kultur yang busuk? Jadi,persoalan yang lebih serius tidak sebatas moralitas individual, tapi juga moralitas atau etika struktural yang bersifat sistemik, impersonal.Terhadap tantangan ini, tentu saja sekadar gerakan moral berupa demonstrasi dan ceramah-ceramah keagamaan tidak cukup efektif untuk memberantasnya.

Ironisnya lagi, berbagai tokoh-tokoh masyarakat yang semula berdiri tegak sebagai penjaga moral bangsa,di antara mereka tertarik dan terkooptasi parpol dan ormas yang kemudian memiliki akses ke ruang pemerintah untuk memperoleh insentif kekuasaan dan materi.Dengan begitu, semakin sedikit figur penjaga moral masyarakat. Sebagai negara demokrasi, keberadaan parpol sebuah keniscayaan.

Namun,ketika uang mengalahkan gagasan dan moralitas dalam rekrutmen kader dan wakil-wakilnya untuk duduk di parlemen dan kekuasaan, masyarakat semakin kehilangan kepercayaan pada politik. Suasana batin ini juga merembes ke dunia kampus. Kampus tentu saja bukan merupakan civitas politica, melainkan sebagai civitas akademika.

Namun,bagaimanapun komunitas kampus adalah komunitas yang paling sadar bahwa mereka merupakan pembawa harapan orang tua dan masyarakat, dan pada urutannya akan mengisi dan menggerakkan mesin birokrasi pemerintahan, dunia usaha, dan dunia politik.Dalam konteks ini terasa ada kegamangan, strategi dan prioritas apa yang mesti dilakukan jajaran pimpinan kampus serta mahasiswanya.

Ada semacam perasaan, bangsa dan pemerintah ini kehilangan roh atau spirit patriotisme sebagaimana dimiliki para pejuang kemerdekaan. Para elite dan kelas menengah yang ada begitu menonjol agenda self-interest-nya hingga mengalahkan integritas dan semangat pengabdian dan pengorbanannya untuk bangsa. Terjadi penumpulan nurani di kalangan elite yang mengimbas pada masyarakat luas,termasuk masyarakat kampus.

Ada beberapa fungsi utama sebuah universitas yang mesti dikawal.Yaitu sebagai tempat transfer ilmu pengetahuan dari dosen pada mahasiswa,tempat riset untuk memproduksi ilmu pengetahuan baru, tempat melestarikan kebudayaan bangsa, dan universitas adalah tempat mencetak sarjana yang memiliki keahlian khusus serta calon pemimpin bangsa yang berkarakter.
Di era otonomisasi daerah seperti sekarang ini kampus bisa mengambil peran aktif sebagai mitra pembangunan daerah. Kapasitas ilmu serta fasilitas riset yang ada akan sangat bermanfaat jika dikerjasamakan dengan pemda untuk membangun daerah baik secara moral maupun fisik.

Pada tingkat nasional, intelektual kampus mestinya berdiri di atas semua golongan dan menyumbangkan hasil-hasil risetnya untuk membuat kebijakan publik serta melakukan kontrol berdasarkan kaidah ilmiah dan komitmen moralnya.

Â